Dinamika
Muhammadiyah Kontemporer (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Peluncuran
12 buku tentang Muhammadiyah (4/11/2016) memperlihatkan organisasi ini
merupakan salah satu dari sedikit subjek kajian yang paling banyak dikaji, baik
oleh kalangan dalam maupun luar negeri. Tapi berbeda dengan kajian-kajian
terdahulu, khususnya dilakukan sarjana asing yang terutama menyoroti aspek
sejarah, paradigma pemikiran dan praksis pembaharuan dan elan vitalnya, 12
karya ini lebih banyak terkait dengan perkembangan mutakhir, terutama dari
perspektif ‘orang dalam’ (from within).
Dalam konteks
terakhir, orang bisa teringat pada argumen Bernard Lewis dalam jawaban kepada
Edward Said; kajian dan pembahasan from within dapat terjerumus ke dalam
subyektivitas yang cenderung defensif dan apologetik. Said memang menekankan
pentingnya kajian yang dilakukan orang dalam, karena jika dilakukan orang luar
(from without), boleh jadi kajiannya tidak objektif.
Keduabelas
buku ini—berbeda dengan substansi kajian terdahulu tentang
Muhammadiyah—menampilkan berbagai dinamika kontemporer salah satu dari dua ormas
Islam terbesar di negeri ini. Dinamika itu bisa tidak sinkron satu sama lain
atau bahkan kontradiktif. Fenomena ini mengindikasikan lingkungan luar
Muhammadiyah yang berubah baik pada tingkatan nasional maupun internasional.
Pada
level nasional, perubahan politik sejak 1998 dengan penerapan demokrasi liberal
multi-partai kompetitif menimbulkan banyak ekses yang tidak diharapkan.
Demokrasi itu sendiri sudah kompatibel dengan paradigma dan praksis politik
Muhammadiyah sejak waktu sangat lama, tetapi eksesseperti merosotnya budaya
kewargaan (civic culture) dan keadaban (civility); kian meluasnya
korupsi; berlanjutnya politik kekuatan massa (mobocracy) membuat
Muhammadiyah harus memberikan respons berupa pemikiran dan juga program aksi.
Dalam
perubahan lingkungan, Muhammadiyah masih terlibat pergumulan dalam dirinya,
misalnya dalam kaitan dengan budaya lokal semacam budaya Jawa. Dengan pretensi
permurnian Islam dari ‘TBC’ yang cukup lazim dalam kepercayaan dan praktek
keagamaan serta budaya lokal, Muhammadiyah cenderung tidak akrab. Karya
Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa secara analitik dan komprehensif menggambarkan
pergulatan Muhammadiyah dengan budaya lokal Jawa.
Menyorot
kritis pergulatan ormas ini, Burhani berkesimpulan, Muhammadiyah ambigu
terhadap budaya Jawa: “Muhammadiyah …punya agenda memperbaharui adat-istiadat
sinkretik dan menyerang struktur sosil feudal-aristoratik yang mendominasi
masyarakat Jawa dan keraton menjadi porosnya”
Ambigu
itu seperti diungkapkan Burhani, terlihat misalnya dalam kenyataan Ahmad
Dahlan, sang pendiri…menjadi abdi dalem yang patuh pada Keratoon Yogyakarta
hingga akhir hayatnya. “Meskipun ia pemimpin organisasi moderen, ia tetap
mengamalkan nilai-nilai Jawa seperti menunjukkan kerendahan hati dan takzim
kepada orang yang berstatus lebih tinggi, terutama Sultan”, tulisnya.
Secara
nasional Muhammadiyah kontemporer menyaksikan peningkatan arus pemahaman
dan praksis keislaman yang cenderung kian literal, defensif dan reaksioner,
dengan kiprah ‘tanpa kompromi’, dan radikal. Pemahaman dan kiprah seperti ini
mengakibatkan pergumulan di dalam Muhammadiyah sendiri, berupa peningkatan
upaya meminggirkan kalangan yang dianggap ‘terlalu’ moderen, progresif, dan
bahkan ‘liberal’. Tarik menarik dan pergumulan ini tidak hanya terjadi di dalam
tubuh organisasi induk Muhammadiyah, juga merambah ke dalam institusi milik
Perserikatan seperti sekolah, perguruan tinggi dan sebagainya.
Selain
itu, dinamika internal dan eksternal menimbulkan riak-riak di kalangan
Muhammadiyah sendiri, khususnya para pemikir dan aktivis muda atau sudah lewat
usia muda. Riak-riak itu mendorong terjadinya semacam ‘soul
searching’—pencarian identitas Muhammadiyah atau dalam bahasa judul buku,
Becoming Muhammadiyah.
Proses
‘menjadi Muhammadiyah’ secara teoritis tidak bakal pernah selesai karena
perubahan yang terus terjadi di lingkungan dalam dan luar Muhammadiyah, baik
domestik maupun internasional. Hajriyanto Y. Thohari dalam hal ini menegaskan
Muhammadiyah telah ‘menjadi legasi emblematik gerakan massa yang mencatat
sukses. Tidak saja secara sosial-keagamaan; legasi itu mewujud dalam jangkar
sejarah dan laku politik nasional semenjak sebelum kemerdekaan hingga sekarang
ini’.
Dalam
perjalanannya, generasi demi generasi, lapisan tokoh dan akitivis Muhammadiyah
‘masing-masing memiliki karakter dan pesona’. Generasi Muhammadiyah kontemporer
memiliki alasan masing-masing ‘mengapa mereka terpesona, bergabung, dan menjadi
penggerak Persyerikatan Muhammadiyah.
Maka,
seperti dicatat Tohari, “Menjadi Muhammadiyah/Becoming Muhammadiyah menandai
sebuah proses panjang dan kadang berliku. Ia merupakan ‘kata kerja’ yang selalu
bergerak melalui ‘jeram’ dan ‘zaman’, ‘saat’, dan ‘tempat’, ‘puak’ dan ‘lapak’.
Karena itulah, proses ‘menjadi’ tidak bisa dihukumi secara final sebagai sebuah
‘benda mati’ atau hasil akhir”. []
REPUBLIKA,
03 November 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar