Rendah Diri dan Sombong
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Jadi khataman apa tidak sé? Yang bagus ya khataman, untuk
merayakan tuntasnya 41 tulisan, serta untuk syukuran 40 orang bertemu kembali
sesudah berpisah sekian puluh tahun.
Tapi khataman bagaimana? Ketika tulisan ke-41 dibacakan, semua
teman-teman Markesot sudah sepenuhnya tertidur lelap. Khataman dengan siapa,
sedangkan 40 orang itu semua nyenyak dan mengorok.
Lho, jadi tulisan ke-41 tadi siapa yang membaca? Kalau semuanya
tidur, kemungkinan yang membacanya tinggal Markesot, orang ke-41. Jadi
satu-satunya jalan: bertanyalah kepada Markesot.
Tapi apa ada yang tahu Markesot? Memangnya siapa dia itu? Di mana
tempat tinggalnya? Apa identitasnya? Keturunan siapa? Atau tak usah jauh-jauh
cari sejarahnya. Memahami kata-katanya saja susah bagi kebanyakan orang. Mana
mungkin bisa menemukan manusia-Markesot?
Markesot jelas dulu seorang pendongeng. Sekarang jangan-jangan
sesungguhnya ia adalah dongeng itu sendiri. Jangan-jangan Markesot adalah tokoh
di dalam dongeng yang didongengkan oleh si Dongeng itu sendiri.
***
Yang salah memang Markesot sendiri, yang sejak kecil hidup tidak
jelas. Waktu kanak-kanak hingga hampir dewasa di desanya dulu tiap malam
Markesot berada, tinggal, bersembahyang, mengaji dan tidur, di Langgar-nya Wak
Mad.
Sebenarnya tidak persis seperti itu. Markesot tidak pernah tampak
duduk berjajar dengan anak-anak lainnya menghadap dampar atau bangku rendah
menghadap ke Al-Quran. Setiap waktu mengaji, Markesot menghilang. Aslinya ya
cuma melarikan diri. Sembunyi di luar tembok dekat jendela. Kalau ada yang
bertanya Markesot mengaku sedang menyimak anak-anak mengaji dari kejauhan.
Padahal memang pemalas. Atau tidak berbakat mengaji. Atau rendah
diri. Atau tidak berselera. Atau entah apa. Yang jelas kalau semua sudah
selesai ngaji selepas Isya, sesudah anak-anak bermain gobak sodor, jumpritan,
jenthik atau kekehan: baru dia nongol.
Agak aneh bahwa Wak Mad, kiai dusun itu, tatkala semua anak-anak
mengaji nderes, tidak pernah menegur atau menanyakan di mana Markesot. Termasuk
kalau beliau berjalan naik Langgar menuju Imaman, beliau tak pernah peduli ada
Markesot atau tidak. Padahal kata banyak orang, Wak Mad dan Markesot itu
ber-nasab sama, entah di mana posisi antara mereka di susunan pohon anak-turun
dari nenek-moyang mereka.
Mungkin Wak mad diam-diam memperhatikan bahwa Markesot disukai
oleh teman-temannya di Langgar. Terutama karena kebiasaannya untuk mendongeng,
menuturkan dongeng-dongeng, menjelang semua anak-anak tidur berjajar di tikar
dalam Langgar setiap malam. Wak Mad mungkin diam-diam menghargai manfaat
Markesot atas teman-temannya dan semua penghuni Langgar karena
dongeng-dongengnya.
Wak Mad kayaknya tidak tahu bahwa sering-seringnya anak-anak di
Langgar itu semua tertidur sebelum dongeng Markesot selesai.
Padahal inti dongeng adalah ujungnya. Ditambah resonansi berpikir
dan imajinasi sesudahnya. Sebagaimana Wayang Kulit, ujungnya adalah munculnya
Wayang Golek: golekono, golekono, carilah maknanya, carilah nilai dan
hikmahnya.
Mungkin pengalaman anak-anak tertidur sebelum tuntasnya kisah itu
yang menyebabkan Markesot dendam diam-diam. Sehingga sangat suka menyebarkan
teka-teki, melemparkan sesuatu yang tidak jelas, yang posisinya adalah
pertanyaan-pertanyaan, godaan-godaan, yang sama sekali tidak disertai gejala,
pertanda atau pintu untuk menemukan jawabannya.
***
Memang semua kisah yang didongengkan selalu mengandung muatan
keteladanan akhlak yang baik, kemuliaan manusia, contoh daya juang, keindahan
silaturahmi, bercahayanya kebersamaan kemanusiaan dan bermacam-macam lagi.
Dongeng tidak kalah dari pelajaran Sekolah. Dari memori dongeng-dongeng banyak
manusia berkembang menjadi pemimpin yang baik, setidak-tidaknya menjadi manusia
yang memiliki kebijaksanaan dan ilmu hikmah, yang sangat menjadi dasar bagi
setiap langkah dan keputusan yang diambilnya.
Sampai kemudian tiba era modern yang memenjarakan dongeng di dalam
pemahaman yang merendahkannya.
Dongeng dibedakan dengan kenyataan. Di dalam Ilmu Sejarah
misalnya, yang fakta adalah yang diungkapkan oleh orang Sekolahan, dengan
berbagai alasan metodologisnya yang disebut ilmiah. Sedangkan dongeng, Babat,
kisah-kisah yang metodologi modern buta matanya untuk sanggup melihat dan
memahaminya, disebut khayalan atau reka-reka yang sebenarnya tidak pernah ada.
Sejak kanak-kanak Markesot sering tertawa sendiri, “Hahaha,
khayalan yang tidak pernah ada… seolah-olah mereka pernah ada…seakan-akan ada
yang benar-benar ada…”
Ketika mulai dewasa Markesot menjelaskan bahwa direndahkannya
dongeng itu merupakan salah cara untuk memisahkan bangsa kita dari sejarahnya.
Menghapus masa silamnya. Mengubur peradaban yang pernah dicapai oleh para
leluhur. Sehingga bangsa kita menjadi kosong pengetahuan tentang diri mereka
sendiri. Berikutnya bangsa kita menjadi tidak percaya diri. Dengan kata lain,
bangsa kita menjadi tidak percaya bahwa ada sesuatu yang bisa dibanggakan di
dalam sejarah nenek-moyangnya.
Maka dijajahlah bangsa kita dengan semena-mena. Bangsa kita,
melalui kurikulum pendidikan Sekolah dan Universitasnya, melalui media massa,
melalui jalur informasi apa saja, percaya bahwa kebesaran pernah diraih oleh
tiga peradaban besar: Mesir kuno, Yunani kuno dan Cina kuno. Adapun bangsa kita
sendiri sejak dahulu kala adalah budak-budak jajahan bangsa lain.
Bangsa kita dibikinkan Negara, padahal sesungguhnya itu bentuk
penjajahan yang sangat dikendalikan dari luar. Bahkan kaum cerdik pandai sangat
pintar merendahkan bangsanya sendiri, menyimpulkan bahwa Ibu-Bapak mereka
adalah orang-orang bodoh karena tidak pernah bersekolah seperti mereka.
Bangsa kita adalah bangsa yang tidak percaya diri, tetapi sombong
dalam kerendah-diriannya, dan sangat bangga bahwa mereka rendah diri. Bangsa
kita marah kalau ada yang bilang bahwa mereka hebat, karena yang hebat haruslah
bangsa-bangsa yang bukan mereka.
***
Itu kata Markesot. Bahasa jelasnya: dongeng Markesot. Siapa yang
percaya? Markesot selalu bersikap pesimis dan berpikir negatif. Kenapa
teman-temannya itu setia kepadanya? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar