Rokok Cerutu Iringi Pejuang Kemerdekaan di
Parakan
Sejarah tutur (sebagaimana istilahnya Gus
Dur) keberadaannya dapat membantu memperkaya perspektif pembaca dalam memahami
suatu peristiwa sejarah. Utamanya ialah bahwa sejarah tutur sering dapat
mengeksplorasi suasana sebuah peristiwa dan sisi lain dari suatu sejarah yang
kerap tidak tersorot dalam dokumentasi sejarah resmi.
Buku berjudul Cuplikan Sejarah Bambu Runcing
karya KH. Muhaiminan Gunardho Parakan yang diterbitkan Kota Kembang, Yogyakarta
(hanya untuk kalangan sendiri) itu barangkali dapat dikelompokkan ke dalam
kategori sejarah tutur dimaksud. Walaupun hanya kumpulan cuplikan sejarah yang
sudah tentu masing-masing fragmen cerita ditulis tidak secara
komprehensif-holistik, bahkan satu sama lain di antara fragmen peristiwa di
dalamnya terkesan kurang terkait secara padu. Namun cukup mengilustrasikan
bagaimana sejarah singkat Bambu Runcing dan kota Parakan dalam konteks masa
perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
KH. Muhaiminan Gunardho dalam salah satu
fragmen dalam buku ini menggambarkan suasana kota Parakan. Tidak terhitung lagi
banyaknya orang-orang yang datang ke Parakan siang malam, pagi sore
berbondong-bondong tanpa henti-hentinya bagaikan barisan semut. Mulai dari
stasiun, karena waktu itu diadakan kereta istimewa sampai Jetis, jembatan Galeh
sampai jembatan Brangkongan, penuh pemuda beriringan memanggul Bambu Runcing,
kelewang, sujen, dan botol-botol tempat air.
“Kereta api memuat penumpang bergelantungan
sampai di atas atap. Dari stasiun para pemuda dengan beratur berbaris
empat-empat menuju gedung Barisan Muslimin Temanggung (BMT). Tidak sedikit
rombongan yang berjalan kaki dari jalan Kedu, jalan Bulu, jalan Wonosobo, jalan
Ngadirejo, semuanya menuju satu tujuan yaitu gedung BMT Kauman Parakan, tempat
menyepuh Bambu Runcing,” tulis Kiai yang dulu cukup dekat dengan Gus Dur itu.
Masyarakat dan rakyat Parakan menyambut para
pemuda pejuang tersebut dengan sangat ramah dan penuh suka cita. Mereka
dianggap tak ubahnya saudara mereka sendiri. Pada saat seperti ini banyak
masyarakat Parakan yang memberikan kemudahan kepada pengunjung, yaitu dengan
menjual berbagai dagangan, seperti makanan dan minuman, juga Bambu Runcing,
kenthes, angklek keris, botol, tambang, dan tutup botol.
Bila ada rombongan datang sore atau malam
hari, selain menawarkan dagangan warga Parakan juga menawarkan penginapan
secara rombongan. Sebab tidak semua rombongan yang datang sudah lengkap
peralatannya. Ada yang sudah membawa perlengkapan dari daerah asalnya seperti
Bambu Runcing, botol dan lainnya, tetapi tidak sedikit pula yang datang belum
membawa perlengkapan apa-apa.
Para penjaja barang-barang ini berjajar
memenuhi jalan menuju Masjid Kauman dan gedung BMT. Bambu Runcing dan kenthes
yang dijual kebanyakan berasal dari pring gading (bambu kuning) yang sering
juga dibuat sebagai gagang sapu.
Penjual sepatu juga ada, kebanyakan ukurannya
besar sebab sepatu rampasan dari Belanda. Tidak ketinggalan pedagang rokok pun
ikut menawarkan produk rokoknya. Yang unik serta mengesankan adalah ada
pedagang rokok pada waktu itu yang tidak pernah lupa menjual rokok cerutu raksasa,
panjang rokok ini sampai 1,5 meter.
Pada siang hari mulai pukul 08.00 sampai
16.00 di jalan Kauman gedung BMT dipenuhi orang, terdengar dari gedung itu
sangat nyaring suara orang memanjatkan doa bersama-sama malafalkan:
بِسْمِ اللهِ بِعَوْنِ
اللهِ٣× (Basmalah 3x)
الله ُيَا حَفِيْظُ ٣× (Allahu Ya Hafidz 3x)
اَلله ُاَكْـبَرُ ٣× (Allahu Akbar 3x)
إلهنا يا سيدنا أنت
مولنا وانصرنا على القوم الكافرين ٣×
Begitu pula di antara rombongan pejuang yang
sudah tiba di Parakan pun terjadi kesibukan berbeda-beda di antara mereka. Ada
yang mencari masjid, mencari warung, mencari penginapan, ada yang
langsung mendaftar ke kantor BMT dan ada juga yang langsung menyepuhkan bambu
runcingnya. Untuk menampung pendatang malam hari, tidak sedikit rumah-rumah
pribadi dijadikan penginapan sementara. Bagi mereka soal di mana tidurnya tidak
masalah. Asal ada dipan bahkan dengan menggelar tikar lantaipun mereka tidur
pulas. Langgar dan masjidpun selalu penuh.
Keramaian Parakan, dengan sepuh Bambu
Runcingnya, akhirnya tercium juga oleh penjajah yang merasa sangat tidak senang
dengan kegiatan tersebut karena dianggap membahayakan posisinya. Maka mulailah
mereka menyebar mata-mata. Akhirnya sejak itu untuk mengantisipasi dari segala
kemungkinan yang tidak diinginkan, pengurus BMT mengeluarkan ketentuan siapapun
yang akan bertemu atau rombongan penting yang akan masuk ke BMT, harus
mendaftar terlebih dahulu. Beruntung Hubungan antara BMT dengan kepolisian
Parakan waktu itu sangat erat. []
(M. Haromain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar