Berhukum
Harus Bersabar
Oleh:
Moh. Mahfud MD
JUDUL tulisan di atas timbul dari, dan sengaja saya kaitkan dengan masalah penegakan hukum dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kini menjadi tersangka dalam tindak pidana penistaan agama.
Seperti diketahui, pada saat ini sedang menggemuruh suara dan gerakan agar, setelah dua pekan lalu dinyatakan tersangka, Ahok segera ditahan. Bahkan ada yang mengancam akan menggerakan demo yang lebih besar daripada demo 4 November 2016 (411) jika Ahok tidak segera ditahan.
Upaya mengawal tegaknya hukum memang menjadi kewajiban kita untuk melakukannya, lebih-lebih jika karena suatu keadaan, misalnya karena permainan politik, hukum sulit ditegakkan. Tetapi tetaplah harus diingat bahwa menegakkan hukum itu harus bersabar dan tidak boleh terburu-buru.
Menegakkan hukum harus sabar mengikuti prosesnya yang mungkin memerlukan waktu dan harus berhati-hati agar tidak salah dan menyebabkan terjadinya kedzaliman. Ini berlaku bagi semua kasus, termasuk kasus Ahok yang kini sdang menyedot perhatian kita.
Jika dilihat dari perkembangannya sejak terjadi demo 411 itu maka penanganganan terhadap kasus Ahok waktunya sudah cukup cepat dan kinerja polisi sendiri sudah cukup proporsional. Ketika menerima pimpinan demo 411, Pemerintah yang dipimpin Wapres jusuf Kalla, menjanjikan bahwa kasus Ahok akan diselesaikan dalam dua minggu oleh dan di kepolisian. Janji itu sudah ditepati, bahkan belum sampai dua minggu setelah itu Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Setelah menetapkan status Ahok sebagai tersangka, pada Jumat tanggal 25 November 2016 kemarin, pihak kepolisian pun telah melimpahkan kasus tersebut ke kejaksaan agar segera bisa diajukan ke pengadilan.
Terlepas dari tekanan situasi yang mungkin ada, maka faktanya kita melihat bahwa pihak kepolisian sudah bekerja dengan cepat. Oleh sebab itu demo yang lebih besar daripada demo 411 tidak diperlukan lagi karena tidak ada relevansinya. Apalagi pihak kejaksaan telah menjanjikan, perkara Ahok akan dilimpahkan ke pengadilan dalam 14 hari ke depan.
Dalam berhukum kita harus bersabar mengkuti urut-urutan proses yang diatur oleh hukum itu sendiri, yakni hukum acara. Jangan sampai terjadi aparat penegak hukum menersangkakan dan menggiring seseorang ke pengadilan karena tekanan dari luar, sebab kalau kita membiarkan apalagi mendorong cara itu, maka kita pun bisa menjadi korban dari cara-cara seperti itu.
Kalau sekarang Anda mampu menggerakkan begitu banyak orang untuk menekan aparat agar mengelandang orang ke pengadilan, maka bukan tidak mungkin suatu saat ada orang yang mampu menggerakkan dan menekan aparat untuk menggelandang Anda ke pengadilan melalui apa yang biasa disebut kriminalisasi.
Itulah
relevansi seruan, kita harus bersabar dan berhati-hati dalam berhukum. Tetapi
aparat penegak hukum pun tidak boleh bermain-main dalam tugas untuk menegakkan
hukum. Mereka tidak boleh tunduk pada tekanan politik dari arah mana pun dalam
menegakkan hukum.
Aparat penegak hukum harus cekatan dan profesional dalam menangani kasus. Aparat hukum tidak bisa memanipulasi dalil, “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak bersalah” untuk melindungi seseorang. Yang bersalah, meskipun hanya satu orang, harus dicari dan ditemukan.
Penegak hukum tidak boleh juga memanipulasi dalil agama yang menyatakan, “Janganlah kebencianmu pada seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil”. Sebab dalil itu pun bisa dibalik dengan metode mafhum mekhalafah sehingga berbunyi, “Janganlah kesukaanmu atau ketakutanmu terhadap tekanan seseorang menyebabkan kamu tidak berlaku adil”. Ini sangat penting ditekankan karena kenyataan kita dalam berhukum seringkali dihantui oleh permainan hukum antara aparat, politisi, dan cukong.
Permainan hukum oleh aparat penegak hukum memang kerapkali terjadi di Indonesia. Buktinya, banyak penegak hukum yakni hakim, jaksa, polisi, pengacara, bahkan pegawai adminisrasi pengadilan yang digelandang ke pengadilan karena tertangkap memperjualbelikan kasus. Itu pun banyak yang meyakini bahwa tertangkapnya mereka hanya karena “apes” sebab selain yang tertangkap itu masih banyak penjual dan pembeli kasus yang berkeliaran dan tidak atau belum tertangkap.
Dengan demikian, bersabar dalam menegakkan hukum bisa diartikan, minimal, dalam dua hal. Pertama, kita harus bersabar mengkuti urut-urutan penanganan sebuah kasus agar dilakukan secara berhati-hati dan tidak menimbulkan kedzaliman bagi seseorang yang diduga telah melakukan kesalahan.
Kedua, penegak hukum harus bersikap profesional dan berani menghadapi tekanan dari arah mana pun, dari penguasa politik meupun pemilik uang suap.
Aparat tidak boleh ditekan oleh kekuatan politik dari atas dan oleh cukong-cukong penyuap dari samping. Aparat juga tidak bleh dipaksa-paksa oleh kekuatan massa yang mengepung untuk memaksakan kehendaknya. Aparat harus berani menolak, kalau perlu melawan, tekanan-tekanan yang mendorong dirinya untuk berlaku tidak profesional dan tidak adil. Itulah wujud kesabaran yang harus ditunjukkan oleh aparat dalam menegakkan hukum.
Berhukum mencakup pembuatan aturan hukum dan penegakan aturan hukum itu sendiri. Maka itu para pembuat aturan hukum juga harus bersabar dalam arti tekun dan berhati-hati serta tangguh menolak dan melawan tekanan, termasuk menolak suap, yang akan menyesatkannya dari tugas pembuatan aturan hukum yang benar dan baik. []
KORAN
SINDO, 26 November 2016
Moh.
Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar