Tak Ada
yang Bisa Dibela
Oleh:
Yudi Latif
Unjuk
rasa 4 November itu begitu fantastis, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Jumlah massa yang terlibat sebanding dengan pergelaran kekuatan rakyat pada
peristiwa 1998. Demonstrasi itu juga memperlihatkan sisi-sisi keadaban publik
yang membanggakan: tertib, bersih, dan terkendali.
Memang
ada sedikit kerusuhan di waktu tambahan. Namun, insiden seperti itu, kendati
tak bisa dibenarkan, kerap terjadi dalam demonstrasi. Sekiranya aparat keamanan
bisa terus menempuh cara-cara persuasif ketimbang instrumen pengusiran paksa
mungkin ceritanya bisa berbeda. Sekiranya para pemimpin aksi secara biadab
menyerukan massa untuk bereaksi lewat jalan amuk, ceritanya juga bisa berbeda.
Nyatanya, situasi bisa cepat diatasi; massa pulang dengan tenang. Pidato
Presiden Joko Widodo yang menuding kerusuhan itu ditunggangi aktor politik,
kalaupun benar, tidaklah bijaksana. Ketidakmatangan komunikasi politik seperti
itu bukannya meredakan, malah bisa memanas- manasi api resistensi terhadap
pemerintah.
Tinggal
masalahnya, dengan pengerahan massa sebanyak itu, anak panah demonstrasi itu
mau diarahkan ke mana dan untuk apa? Apakah pengerahan daya upaya raksasa ini
sekadar untuk ”menghukum” seorang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan tuduhan
penistaan agama sehingga terpental dari bursa pemilihan calon gubernur Jakarta?
Ada banyak hal yang tidak terkatakan lewat ekspresi demonstrasi itu.
Pertama,
munculnya isu penistaan agama itu membersitkan kecenderungan yang disebut
Julian Benda ”pengkhianatan intelektual” di ruang publik kita. Banyak orang
cerdik pandai yang terseret dalam arus kepentingan pragmatis dan semangat
partisan yang membuta sehingga tidak punya kelapangan dan kepekaan nurani dalam
mengambil tindakan yang mempertaruhkan keselamatan bangsa. Sekiranya seorang
ilmuwan patuh pada kaidah-kaidah ilmiah dan punya tanggung jawab intelektual,
masalah ini boleh jadi tidak akan pernah ada.
Tentang
isu penistaan agama sendiri, sesungguhnya merupakan tuduhan yang masih bisa
diperdebatkan. Sekiranya ucapan Ahok menyangkut Surat Al-Maidah Ayat 51 itu
dilihat dalam konteks pernyataannya secara utuh, kita tidak bisa menarik
kesimpulan yang tunggal bahwa Ahok telah melakukan penistaan. Dengan kata lain,
jika pengadilan tidak tunduk pada opini mahkamah jalanan, Ahok belum tentu
dinyatakan bersalah.
Kita
harus secara jujur mengakui bahwa tuduhan penistaan agama ini hanyalah
deskripsi tipis dari penjelasan lebih tebal tentang gemulung kecemasan yang
berkecamuk di kegelapan jiwa bangsa. Dalam kaitan ini, Ahok tidaklah berdiri
sendiri, tetapi mewakili komunitas yang dibayangkan kaum ”Pribumi”-Muslim
sebagai ancaman dari ”yang lain” (the significant other). Bahwa Tionghoa itu
secara stereotip diidentifikasikan dengan pengusaha besar, angkuh, dan
eksklusif. Gaya bicara Ahok yang terkesan overconfident, bertutur kasar,
disertai ketegaan menggusur rakyat miskin, serta relasinya dengan pengembang,
secara sempurna mewakili bayangan kecemasan tersebut.
Di sisi
lain, belasan tahun orde demokrasi reformasi, kebebasan sebagai negative rights
(bebas ”dari” segala represi dan pembatasan) mengalami surplus. Bersamaan
dengan arus globalisasi, masuk beberapa paham baru yang ditanam di atas
tanah-tanah yang telah diolah oleh gerakan-gerakan keagamaan sebelumnya. Ketika
ormas-ormas keagamaan mapan gagal menjadi gembala dan pembela rakyat miskin
yang terlempar dari pasar, aktivis-aktivis keagamaan militan mengambil alih
kepemimpinan atas mereka. Dengan memanfaatkan momentum keterbukaan ruang
publik, kaum miskin kota ini diledakkan dalam gairah ”kejahatan kebencian” (hate
crime).
Dalam
pada itu, kebebasan sebagai positive rights (bebas ”untuk” meraih kehidupan
yang lebih baik) gagal dijalankan komunitas politik. Dunia politik mengalami
surplus politikus, defisit negarawan. Negarawan adalah aktor politik yang
menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada negara. Sementara politikus adalah
aktor politik yang menempatkan negara dalam pelayanan pada dirinya. Sedemikian
rupa gairah menjadi politikus itu bahkan tak bersedia naik menjadi pandita
setelah turun dari takhta keprabuan. Di tangan politikus oportunis ini, rakyat
bisa diadu domba, keselamatan negara dan bangsa bisa dikorbankan demi
kepentingan sesaat.
Banyak
politikus dan pemimpin politik naik panggung dengan retorika populisme, tetapi
dalam kenyataannya tetap berkhidmat pada neoliberalisme sebagai cara
mempertahankan kekuasaan. Dengan mengedepankan kepentingan jangka pendek,
setiap pemimpin yang tampil tidak punya komitmen untuk melakukan penataan
mendasar sistem ketatanegaraan kita sebagai cara memperkuat konsepsi negara
kekeluargaan dan negara keadilan. Demokrasi berjalan menurut logika pasar, yang
menempatkan negara sebagai pelayan modal. Akibatnya, kesenjangan sosial makin
lebar, yang kian melambungkan kecemburuan sosial.
Tampak
jelas, dalam kasus Ahok ini semua pihak bersalah. Tak satu pihak pun yang bisa
dibela. Yang bisa menuntun kita keluar dari lorong gelap ini adalah berpihak
pada kebenaran. Jika kita mau jujur, Ahok hanyalah ”korban” kecemasan karena
ketidakmampuan kita menegakkan prinsip-prinsip kehidupan publik yang sehat.
Adalah salah menjegal hak politik setiap warga hanya karena sentimen
etnis-keagamaan.
Namun,
perlu diingat bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subyek
hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya.
Dalam asosiasinya dengan akar sosial ini, stigma superioritas dan eksklusivitas
golongan tertentu harus dijawab dengan usaha-usaha inklusivitas sosial yang
lebih baik. Tugas kenegarawanan harus mampu berdiri di atas dan untuk semua
golongan, dengan mengupayakan persatuan dan keadilan lewat penataan ulang
sistem ketatanegaraan dan demokrasi kita. []
KOMPAS, 8
November 2016
Yudi
Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar