Memahami
Bahasa Agama
Oleh:
Nasaruddin Umar
SUATU
ketika Nabi akan memimpin salat magrib. Tiba-tiba salah seorang makmum kentut.
Baunya sangat menusuk hidung. Nabi menunda takbir ihram lalu berbalik meminta
sahabat yang kentut supaya segera keluar mengambil air wudu. Berkali-kali Nabi
mengulangi perintahnya tetapi tidak juga ada yang keluar. Nabi tentu bisa saja
mengetahui siapa di antara sahabatnya yang kentut, tetapi ia tidak ingin
mempermalukan sahabatnya di depan umum.
Bau
kentut itu seperti bau daging unta karena memang sorenya ada pesta di rumah
salah seorang sahabat yang menyuguhkan daging unta. Waktu magrib sangat
singkat, sementara belum ada yang mau keluar berwudu, akhirnya Nabi menggunakan
bahasa diplomasi, "Siapa yang makan daging unta silakan keluar
berwudu." Maka semua jemaah yang hadir dalam undangan pesta makan daging
unta tadi ramai-ramai keluar berwudu.
Kalau
hadis itu dipegang hanya teksnya, 'Siapa yang makan daging unta harus mengambil
air wudu', tidak dihubungkan dengan konteksnya, maknanya bisa berarti unta
najis karena membatalkan wudu. Malapetaka bagi masyarakat padang pasir ketika
itu jika unta dinyatakan najis. Satu-satunya alat transportasi efektif ketika
itu ialah unta. Jika dinyatakan najis atau membatalkan wudu bagi yang memakan
atau menyentuhnya, sama dengan anjing atau babi, tentu itu merugikan umat.
Di
sinilah pentingnya mengkritisi sebuah dalil. Apakah teks dalil agama itu
memiliki historical background atau tidak? Apakah menggunakan lafaz umum atau
khusus? Kalau hadis, apakah tidak bertentangan dengan ayat-ayat Alquran? Apakah
teks dalil agama itu sudah di-mansukh atau dihapus hukumnya lalu digantikan
hukum lain dalam dalil lain? Bagaimana kualitas kesahihan dalil agama (hadis)
itu? Hal yang tak kalah penting ialah apa konteks munasabah dalil agama itu?
Setelah mamahami ini semua, baru kita mendeklarasikan maksud dalil agama itu
kepada publik.
Dalam
Alquran, selalu kita diingatkan untuk menggunakan bahasa santun, bijaksana, dan
penuh kearifan. Bahasa yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik.
Sebaliknya, bahasa yang buruk akan melahirkan masyarakat yang buruk. Itulah
sebabnya tidak kurang dari delapan tempat di dalam Alquran mengingatkan kita
agar menggunakan bahasa yang santun, jelas, proporsional, dan terukur.
Terhadap
kedua orang tua atau yang kita anggap sebagai senior kita, Alquran mengingatkan
kita untuk menggunakan bahasa yang mulia (qaulan kariman), '... ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia' (QS al-Isra'/17:23). Terhadap anak-anak dan
para junior, kita menggunakan bahasa yang baik dan populer (qaulan ma'rufan),
'... ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik' (QS al-Nisa'/4:5). Untuk
pengungkapan data dan fakta, kita diminta untuk menggunakan bahasa yang tepat
dan valid (qaulan sadidan): '... hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar' (QS al-Nisa'/4:9).
Terhadap
kelompok oposisi atau kaum munafik, kita diminta menggunakan bahasa yang
komunikatif (qaulan baligan), '... katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas
pada jiwa mereka' (QS al-Nisa'/463). Terhadap orang yang kasar dan jahat, tetap
kita diminta menggunakan bahasa lemah lembut (qaulan layyinan), '... maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut' (QS
Thaha/20:44).
Terhadap
kelompok yang dianggap musuh pun, kita tetap diminta untuk menggunakan bahasa
yang pantas (qaulan maisuran), '... katakanlah kepada mereka ucapan yang
pantas' (QS al-Isra'/17:28). Tuhan meminta kita untuk menghindari bahasa yang
keras (qaulan ‘adhiman), '... Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan
kata-kata yang besar (dosanya)' (QS al-Isra'/17:40). Hanya Tuhan yang berhak
menggunakan bahasa yang berat (qaulan tsaqilan), '... Sesungguhnya Kami akan
menurunkan kepadamu perkataan yang berat' (QS al-Muzzammil/73:5).
Jika
petunjuk Alquran ini diindahkan kita semua, baik sebagai pribadi, anggota
keluarga, anggota masyarakat, warga bangsa, apalagi pemimpin, ketenangan dan
ketenteraman serta kenyamanan dalam hidup kita akan terasa. Akan tetapi, jika
sebaliknya, bila semua orang sudah terbiasa dengan bahasa yang tidak santun,
bahkan cenderung kasar, mengadili, menghakimi, kurang ajar, menghina, dan
memfitnah, atmosfer kehidupan bermasyarakat akan terasa sumpek dan membosankan.
Seolah-olah tidak ada lagi space yang tenang bagi kita karena di mana-mana
sudah terjangkau oleh alat komunikasi. Di sini perlunya pengaturan bahasa di
dalam kehidupan masyarakat yang berbasis teknologi.
Sungguh
sangat menyedihkan, katanya kita bangsa yang beragama, bangsa yang santun,
bangsa yang beradab, tetapi bahasa komunikasi kita sedemikian kasarnya,
sedemikian menyakitkannya, dan sedemikian vulgarnya. Seolah-olah kita sudah
kehilangan kosakata santun, beradab, indah, dan bijaksana. Kosakata kasar jauh
lebih laris daripada kosakata santun. Apa yang salah di dalam masyarakat kita?
Mengapa di negeri yang mayoritas beragama Islam, tuntunan berbahasa di dalam
ayat-ayat Alquran yang sedemikian rigid tidak diindahkan?
Bahasa
agama mempunyai power luar biasa untuk pengembangan warga bangsa. Bahasa agama
mampu membangkitkan andrenalin yang memungkinkan seseorang bisa mengoptimalkan
kekuatan kerja yang dimilikinya. Akan tetapi, bahasa agama juga berpotensi
menjadi pemicu yang amat dahsyat di dalam masyarakat, terutama jika salah mengutip
atau mendiskreditkan dalil-dalil agama. Tentu lebih berbahaya lagi jika orang
menyudutkan ayat-ayat suatu kitab suci yang bukan pegangan agamanya. Apa yang
terjadi baru-baru ini semoga menjadi pelajaran bagi semua pihak.
Kita
harus berhati-hati menyinggung kitab suci, apalagi kitab sucinya orang lain,
demi merawat kerukunan antarumat beragama. Kita berharap kejadian yang baru
lalu itulah peristiwa pertama dan terakhir di negeri ini. Jika seandainya ada
kejadian serupa, sebaiknya pemerintah tidak boleh terlambat menanganinya dan
masyarakat juga perlu mengendalikan diri dan mempersilakan pemerintah untuk
mengambil langkah antisipasi. Masyarakat agar tetap menahan diri serta
menyerahkan sepenuhnya kasus itu kepada pihak berwajib. Inilah arti sekaligus ciri
sebuah masyarakat modern. []
MEDIA
INDONESIA, 9 November 2016
Nasaruddin
Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar