Sekolah
Gratis untuk Zaqia
Oleh:
Yenny Wahid
VITA
Kristiana tampak menahan tangis ketika membacakan surat yang ditulis siswi
kelas VII-F SMP Negeri 24 Surabaya Zaqia Audiya untuk Presiden Jokowi (Jawa
Pos, 27/3). Isinya, sebuah permintaan sederhana: agar bisa meneruskan sekolah
tanpa biaya.
Gadis
lugu itu punya cita-cita menjadi seorang penulis dan dia rajin menulis untuk
majalah dinding sekolahnya. Saat ini, Zaqia dapat bersekolah dengan lancar
karena semua biaya sekolah ditanggung Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Pemkot
Surabaya yang dikomandani Tri Rismaharini mengalokasikan lebih dari 30 persen
anggaran untuk membiayai sektor pendidikan selama 12 tahun. Namun, semua itu terancam
berubah karena adanya rencana pemindahalihan pengelolaan SMA/SMK –yang awalnya
dikelola pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot)– ke pemerintah provinsi
(pemprov).
Rencana
pemerintah tersebut berlaku nasional karena merupakan amanat Undang-Undang (UU)
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). UU itulah, antara
lain, yang mengatur pemindahalihan pengelolaan SMA/SMK ke pemprov.
Kewenangan
pemkab/pemkot dipangkas hanya menangani sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah
pertama (SMP). Konsekuensi dari pemindahalihan tersebut adalah dalam hal
alokasi anggaran. Pemprov Jawa Timur (Jatim) berencana mengucurkan dana sekitar
Rp 400 miliar untuk keperluan SMA/SMK seluruh provinsi.
Tentu
sangat minim bila dibandingkan dengan dana yang dikeluarkan Kota Surabaya
sebesar Rp 1,3 triliun setahun, khusus untuk Surabaya saja! Inilah yang
memungkinkan pendidikan di Surabaya bisa diakses secara gratis selama 12 tahun.
Lebih
dari 30 ribu surat dilayangkan ke kantor Wali Kota Risma (sapaan Tri
Rismaharini). Semuanya berisi curahan hati para siswa yang takut tidak lagi
bisa meneruskan sekolahnya.
Zaqia
termasuk di antaranya. Yatim sejak bayi, Zaqia tinggal bersama neneknya karena
ibunya menikah lagi dan ikut suami barunya ke Kalimantan.
Neneknya
hanyalah seorang penjahit tirai dan harus menafkahi tiga cucu yang diasuhnya
seorang diri. Yang lebih tragis, saat ini neneknya terkena penyakit kanker
sehingga harus bolak-balik berobat ke dokter.
Dengan
kondisi ekonomi yang begitu pas-pasan, harapan Zaqia untuk bersekolah hanyalah
apabila ada pendidikan gratis di daerahnya. Kebijakan baru yang rencananya
diberlakukan serentak per 1 Januari 2017 tersebut memang memantik polemik.
Ada
kekhawatiran kolektif jika pengelolaan SMA/SMK ditarik ke provinsi, kebijakan
sekolah gratis yang sudah dinikmati para siswa di Surabaya akan dianulir.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan.
Pertama,
kebijakan tersebut merupakan perintah UU. Dengan demikian, secara hukum, setiap
aparatur negara –tidak terkecuali wali kota Surabaya– harus mematuhi dan
mengamankan pelaksanaannya.
Kedua,
pejabat Pemprov Jatim sendiri sudah melemparkan isyarat bahwa kebijakan sekolah
gratis hingga 12 tahun sangat mungkin dihapus. Para pejabat Pemprov Jatim
mendasarkan pada dalil yang menyebut pemindahalihan pengelolaan SMA/SMK ke
provinsi itu dialasi visi bersama untuk mengatasi kesenjangan pendidikan
antardaerah.
Dan
dimaksudkan sebagai upaya melakukan pemerataan pendidikan di semua daerah.
Polemik akhirnya berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Itu
terjadi setelah pada awal Maret lalu empat wali murid asal Surabaya mengajukan
permohonan uji materi terhadap UU 23/2014 ke MK.
Uji
materi yang sama diajukan Pemkab Blitar. Dalam permohonannya, mereka menyoal
ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf A, yang mereka sebut
berpotensi memberikan kerugian konstitusional bagi pemohon.
Pasal
tersebut akan menghilangkan kewenangan pemkab/pemkot yang secara mandiri telah
dan mampu melaksanakan pengelolaan pendidikan tingkat menengah yang diterapkan
di daerahnya. Kalau dicari akarnya, problem pendidikan ini sebenarnya bersumber
dari wacana lama seputar urgensi program wajib belajar (wajar) 12 tahun.
Program
wajar 9 tahun dalam kenyataannya sudah tidak mampu melindungi hak atas
pendidikan. Sebab, terbukti banyak anak usia sekolah menengah yang tidak mampu
melanjutkan ke jenjang pendidikan tersebut.
Sementara
itu, tamatan SMP sudah sulit mendapatkan lapangan pekerjaan. Karena itu, masuk
akal jika muncul tuntutan kepada pemerintah untuk meningkatkan wajar dari 9
tahun menjadi 12 tahun.
Konsekuensinya,
pemerintah harus siap mengakomodasi tuntutan tersebut dalam politik anggaran.
Revisi UU Sisdiknas pun menjadi keniscayaan.
Dalam
praktiknya, mengimplementasikan program wajar 12 tahun memang tidak semudah
melontarkannya sebagai janji politik di musim pemilu. Diperlukan peta jalan (road
map) yang mencakup ketersediaan perangkat hukum.
Berikut
penyediaan sarana dan prasarana berupa guru, unit sekolah baru, ruang kelas
baru, di samping –tentu saja– anggarannya.
Jadi?
Sambil menunggu ujung dari proses uji materi yang bergulir di MK, patut
dipikirkan memberikan diskresi kepada Pemkot Surabaya –juga kabupaten/kota lain
yang sudah dan mampu melaksanakan wajar 12 tahun secara gratis– untuk tetap
melanjutkan programnya. Tanpa harus melanggar ketentuan.
Banyak
alternatif cara yang sudah diwacanakan. Mulai peluang mencantumkan ”aturan
pengecualian” dalam peraturan pemerintah yang sedang disiapkan sebagai turunan
dari UU 23/2014.
Juga
kemungkinan pemkab/pemkot (yang mampu) memberikan dukungan anggaran kepada
pemprov untuk melaksanakan wajar 12 tahun. Atau memberikan beasiswa hingga
tetap menyalurkan subsidi melalui bantuan operasional pendidikan daerah (bopda)
dan bantuan operasional sekolah (BOS) meskipun mekanismenya perlu diatur lebih
lanjut.
Yang
pasti, wajar belaka jika kita berharap implementasi UU 23/2014, khususnya yang
berkaitan dengan pembagian urusan pemerintahan di bidang pendidikan, tidak
malah membuat gadis pintar seperti Zaqia terpaksa menghapus mimpinya. Jangan
sampai dia kehilangan akses terhadap pendidikan gratis yang telah didapatkannya
selama ini. []
JAWA POS,
21 Mei 2016
Yenny Wahid ; Aktivis Sosial; Direktur Wahid
Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar