Mafia
Hukum Itu Ada
Oleh: Moh
Mahfud MD
Meskipun
dulu pernah dicibir sebagai gosip belaka, istilah mafia hukum tiba-tiba mencuat
lagi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution karena (sangkaan) penyuapan.
Terlebih
lagi operasi tangkap tangan (OTT) itu diikuti dengan pencekalan atas Sekretaris
Mahkamah Agung (MA) Nurhadi untuk bepergian ke luar negeri. KPK pun menyita
dokumen perkara dan uang yang terdiri atas berbagai pecahan uang asing senilai
Rp1,7 miliar dari kantor dan rumah Nurhadi yang digeledahnya.
Istilah
mafia hukum atau mafia peradilan pun hampir setiap hari muncul di berbagai
media massa. Ada stasiun televisi yang pada pekan ini menjadikan isu mafia
hukum sebagai berita utama sekaligus topik dialog sampai berkali-kali, mulai
pagi sampai tengah malam dan sampai pagi lagi. Judulnya tak main-main. Edisi
Kamis, 28 April kemarin, misalnya, pada dialog prime time news dibuat judul
”Ada Mafia Hukum di MA?” dan ”Nurhadi Makelar Perkara di MA?”.
Istilah
mafia hukum merupakan persamaan dan perubahan dari istilah mafia peradilan di Indonesia
yang dulu dinisbatkan pada proses paradilan yang sangat koruptif. Istilah mafia
peradilan dikenal luas sejak era Orde Baru meski pemerintah sendiri kerap kali
mempersoalkan penggunaan istilahnya. Oetojo Oesman, misalnya, saat menjadi
menteri kehakiman pada 1990-an mengkritik penggunaan istilah tersebut sebagai
berlebihan. Menurutnya istilah itu tidak tepat karena kalau mafia sebagai
organisasi bandit, ada pimpinan dan pengurusnya yang identitasnya jelas seperti
mafia di Sicilia.
Mafioso
peradilan di Indonesia tidak jelas identitas pemimpinnya sehingga menurut
Oetojo dan kawan-kawan, hal itu hanyalah isu atau gosip yang berlebihan belaka.
Tapi Artidjo Alkostar dalam pidato dies natalis tahun 1996 di Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta memastikan bahwa mafia peradilan itu ada. Artidjo
yang saat itu masih menjadi dosen dan advokat mengatakan, siapa pun yang tidak
percaya adanya mafia peradilan, coba saja beperkara atau mengurus perkara ke
pengadilan.
Di sana,
kata Artidjo, Anda akan langsung tahu bahwa mafia peradilan itu ada, bukan
gosip, tapi fakta. Mafia peradilan adalah kanker ganas yang harus dibasmi.
Pengalaman sebagai advokat yang sering dibuat naik pitam oleh mafia peradilan
itulah yang, kiranya, mendasari sikap-sikap Artidjo ketika menjadi hakim agung
sejak tahun 2000 sampai sekarang. Sikapnya sangat keras terhadap mafia hukum
dan tak mau berkompromi terhadap pelaku korupsi.
Istilah
jual beli dan pengaturan perkara di pengadilan yang dulunya terkenal sebagai
mafia pengadilan itu secara resmi berubah menjadi istilah mafia hukum ketika
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden Republik Indonesia (2004- 2009
dan 2009-2014). SBY-lah yang pertama kali menggunakan istilah mafia hukum yang
sebelumnya disebut mafia peradilan. Itu berarti pengakuan bahwa mafia hukum di
pengadilan itu ada. Di dalam kampanye-kampanye pilpres, begitu juga di dalam
pidato-pidato dan kebijakan kepresidenannya, SBY selalu menyebut mafia hukum
secara resmi sebagai masalah besar bangsa kita.
Bahkan
secara resmi pula SBY membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang
dipimpin Kuntoro Mangkusubroto.
Satgas
ini beranggotakan aktivis-aktivis anti korupsi seperti Denny Indrayana, Yunus
Husein, dan Mas Achmad Santosa (Ota).
Memperkuat
pengakuan resmi oleh negara, adanya mafia hukum, faktanya, terbukti juga secara
cetho welo-welo ketika Mahkamah Konstitusi (MK) di penghujung tahun 2009
membuka rekaman percakapan pengaturan perkara oleh Anggodo Widjojo. Kasus yang
sering disebut sebagai kriminalisasi terhadap Komisioner KPK Chandra Hamzah dan
Bibit Samad itu membuktikan terjadinya pengaturan perkara oleh Anggodo melalui
pembicaraan-pembicaraanyang bernada instruktif terhadap para penegak hukum.
Dalam
kasus Anggodo itu terbukti jelas adanya pembicaraan pengaturan perkara antara
Anggodo dengan pejabat tinggi kejaksaan agung, pejabat Polri, pejabat LPSK,
pengacara, dan sebagainya. Bukti mafia hukum yang terungkap dari rekaman hasil
penyadapan oleh KPK yang disetel di MK itu kemudian menjungkalkan beberapa
pejabat penting dan mengantar Anggodo dan yang lain ke penjara.
Kasus
Gayus Tambunan tak kalah menghebohkan. Pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang
masih sangat yunior itu telah melakukan kejahatan dengan mafia yang melibatkan
polisi (Sumarni), jaksa (Cirus Sinaga), hakim (Ibrahim), pengacara (Haposan),
dan lain-lain. Kasus Gayus dan Anggodo adalah contoh yang cukup sempurna dalam
mafia hukum sehingga istilah mafia hukum lebih mudah didefinisikan.
Mafia
hukum adalah pengaturan perkara secara curang yang melibatkan aparat penegak
hukum dan calo-calo untuk membuat putusan pengadilan menjadi seperti yang
diinginkan oleh penyuap. Tentu saja kurang fair kalau saya membahas mafia hukum
dengan hanya mengambil contoh dari kasuskasus di MA, Polri, kejaksaan, dan
dunia advokat tanpa menyebut juga MK.
Di MK pun
sudah terbukti secara sah dan meyakinkan ada mafia hukum. Penghukuman secara
inkracht terhadap mantan Ketua MK yang melibatkan perantara Mochtar Ependi dan
beberapa kepala daerah yang kemudian juga dihukum karena penyuapan adalah bukti
nyata bahwa di MK pun ada mafia hukum.
Jadi
terlepas dari apa pun hasil penanganan KPK atas OTT terhadap Panitera PN
Jakarta Pusat dan pencekalan serta penggeledahan di kantor dan rumah Sekretaris
MA Nurhadi, terbukti atau tak terbukti, simpulannya, mafia hukum itu ada.
Problem utama bangsa kita ini sebenarnya bersumbu di mafia hukum. Kasus narkoba
atau korupsi dan lain-lain yang dianggap sangat membahayakan itu sebenarnya
bersumbu pada soal penegakan dan mafia hukum. []
KORAN
SINDO, 30 April 2016
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar