Kiai Abbas Buntet:
Kiai Sufi Pejuang Negeri
Salah satu kiai yang
menjadi pejuang pada masa revolusi ialah Kiai Abbas bin Abdul Jamil, Buntet
Cirebon. Kiai Abbas merupakan kiai kharismatik, yang dikenal karena pengetahuan
keislaman, keteduhan spiritual dan kekuatan ilmu kanuragan yang menjadikan beliau
sebagai rujukan dalam perang kemerdekaan. Kiai Abbas, dikenal sebagai Angkatan
Udara Nahdlatul Ulama, yang menghancurkan beberapa pesawat tempur tentara NICA,
dalam perang kemerdekaan di Surabaya, November 1945. Uniknya, Kiai Abbas
menggunakan bakiak, tasbih dan butiran pasir sebagai senjata untuk merontokkan
pesawat tempur musuh. Bagaimana kisahnya?
Kiai Abbas merupakan
putra sulung dari Kiai Abdul Jamil, pengasuh pesantren Buntet, Cirebon. Beliau
lahir pada 24 Dzulhijjah 1300 H/1879 M, di Cirebon, Jawa Barat. Pada masa
kecilnya, Kiai Abbas belajar mengaji dengan Kiai Nasuha Plered Cirebon dan Kiai
Hasan, Jatisari. Setelah itu, Abbas kecil berkelana untuk mengaji ke Tegal, di
bawah asuhan Kiai Ubaedah. Setelah itu, menuju Jombang, Jawa Timur untuk mengaji
kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Pada kisaran tahun
1900an, Kiai Abbas datang untuk belajar ke pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Beliau datang bersama saudaranya, yakni Kiai Sholeh Zamzam, Kiai Abdullah
Pengurangan, dan Kiai Syamsuri Wanatar. Pada waktu itu, pesantren Tebu Ireng
masih sering diganggu oleh musuh, yakni berandal-berandal lokal di sekitar
Pabrik Gula Cukir. Bersama santri-santri lainnya, Kiai Abbas membantu Hadratus
Syaikh Hasyim Asy’ari melawan bandit lokal yang mengganggu pesantren. Akhirnya,
para berandal lokal dan bandit-bandit kecil kalah dalam adu ilmu kanuragan
(Masyamul Huda, 2014). PesantrenTebu Ireng menjadi aman, serta jadi rujukan
santri untuk mengaji.
Ketika belajar di
pesantren, bakat sebagai pemimpin, ahli ilmu, ahli strategi dan watak periang
sudah terlihat dalam diri Kiai Abbas. Beliau berkawan karib dengan Kiai Wahab
Chasbullah, putra Kiai Chasbullah Said, Tambakberas, Jombang. Setelah melalang
buana di pesantren Jawa, Kiai Abbas kemudian menikah dan berangkat haji ke tanah
suci. Di tanah Arab, Kiai Abbas bertemu dengan banyak kawan asal Nusantara yang
belajar di Hijaz. Ia banyak diskusi dengan mereka, untuk memperdalam
pengetahuan agama dan wawasan global.
Kemudian, Kiai Abbas
pulang sebentar ke tanah air, dan kembali lagi ke tanah suci untuk belajar. Di
Makkah, Kiai Abbas menjadi santri Syekh Ahmad Zubaidi. Kiai Abbas juga belajar
kepada Syekh Mahfudh at-Termasi dan Syaikh Chatib al-Minangkabawi. Di tanah
suci, Kiai Abbas dengan tekun belajar, diskusi dan menggelar pelbagai majlis
ilmu bersama kawan-kawannya. Pada usia 40 tahun, Kiai Abbas mendapatkan tugas
sebagai pengajar.
Mengembangkan
Pesantren Buntet
Sekembali ke tanah
air, Kiai Abbas kemudian mengembangkan pesantren Buntet, yang menjadi
peninggalan ayahandanya. Di bawah asuhan Kiain Abbas, pesantren Buntet menjadi
ramai oleh santri dan terkenal sebagai salah satu rujukan dalam mengaji serta
memperdalam ilmu Islam. Bagi Kiai Abbas, siapa saja boleh datang untuk mengaji
di pesantren, untuk belajar berbagai macam ilmu. Pengetahuan dan wawasan yang
diperoleh Kiai Abbas ketika belajar di pesantren dan mengaji di tanah suci,
digunakan untuk menguatkan model pendidikan pesantren Buntet. Di pesantren ini,
pada masa Kiai Abbas, bermacam ilmu diajarkan, dari ilmu al-Qur’an, ilmu
Qiroat, Hadist, Tauhid hingga kanuragan menjadi bagian dari tradisi
pembelajaran santri.
Kiai Abbas, selain
mengasuh santri, juga menjadi _mursyid_ tarekat Syattariyah dan _muqoddam_
tarekat Tijaniyyah. Dalam catatan Muhaimin AG, Kiai Abbas termasuk sosok kiai
dengan pikiran yang terbuka. Ketika beberapa Kiai menolak tarekat Tijaniyyah,
Kiai Abbas menerima sebagai salah satu alternatif dalam laku batin. Di Cirebon,
dalam perkembangannya, tarekat Tijaniyah berkembang, dengan Kiai Abbas dan Kiai
Annas sebagai muqoddamnya. Kiai Annas kemudian melahirkan beberapa kiai yang
menjadi penerus muqoddam dalam praktik tarekat Tijaniyyah: Kiai Muhammad
(Brebes), Kiai Bakri (Kasepuhan, Cirebon), Kiai Muhammad Rais (Cirebon), Kiai
Murtadho (Buntet), Kiai Abdul Khair, Kiai Hawi (Buntet), serta Kiai Soleh
(Pesawahan). Sedangkan, Kiai Abbas mencetak beberapa penerus dalam tarekat ini,
yakni: Kiai Badruzzaman (Garut), Kiai Ustman Dlomiri (Cimahi, Bandung), serta
Kiai Saleh dan Kiai Hawi (Buntet) (Muhaimin, 2006: 264).
Kiai Abbas menjadikan
pesantren Buntet sebagai rujukan santri. Beliau menambah staf pengajar untuk
mengakomodasi kebutuhan santri-santri dalam belajar berbagai macam ilmu. Kiai
Abbas juga mendirikan madrasah yang dipadukan dengan pendidikan sekolah. Madrasah
inilah yang dinamakan Abna’oel Wathan, yang menegaskan visi perjuangan Kiai
Abbas dalam membangun fondasi negara.
Pejuang Revolusi
Kiai Abbas Buntet
merupakan murid dari ulama Nusantara yang menjadi penyambung sanad para kiai:
Kiai Nawawi al Bantani dan Syech Mahfudh at-Tirmasi. Selain Kiai Nawawi, ada
beberapa murid lain yang juga menjadi kiai-kiai penting di Jawa, sebagai
jaringan penggerak Nahdlatul Ulama. Di antaranya: Kiai Wahab Chasbullah, Kiai
Muhammad Bakri bin Nur, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Muammar bin Baidlawi Lasem,
Kiai Ma’shum bin Muhammad Lasem, Haji Ilyas (Serang), Tubagus Muhammad Asnawi
dan Abdul Ghaffar dari Caringin (Burhanuddin, 116).
Kiai Abbas, adalah
sosok pejuang yang mencintai tanah air, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beliau menggembleng santri agar semangat memperjuangkan agama dan negara.
Bahkan, pesantren Buntet juga menjadi markas latihan laskar Hizbullah,
Sabilillah, dan pasukan PETA. Kiai Abbas juga membentuk dua regu laskar santri,
yang dinamakan Asybal dan Athfal.
Dikisahkan, dalam
pertempuran 10 November 1945, Kiai Abbas menggenggam pasir yang ditaburkan ke
arah musuh. Aksi ini membuat musuh kocar-kacir, karena seakan-akan pasir yang
ditaburkan menjadi meriam dan bom yang menghancurkan.
Sebelum pertempuran
ini, Kiai Abbas juga ikut andil dalam keputusan Resolusi Jihad, yang merupakan
keputusan para Kiai dalam rapat Nahdlatul Ulama di Bubutan, Surabaya, pada
21-22 Oktober 1945. Beberapa kiai, di antaranya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari,
Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Abbas Buntet, Kiai Wahid
Hasyim, dan beberapa kiai lainnya berkumpul dalam sebuah majlis untuk membahas
penyerbuan tentara NICA (_Netherlands Indies Civil Administration_). Fatwa
Jihad yang digelorakan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari akhirnya menjadi catatan
sejarah, sebagi pengobar semangat kaum santri untuk berjuang mempetahankan
negeri.
Pada pertempuran 10
November 1945, Kiai Abbas ikut membaur dengan pejuang dari kalangan Kiai yang
berpusat di Markas Ulama, di rumah Kiai Yasin Blauran Surabaya. Di rumah ini,
para kiai berkumpul untuk merancang strategi, menyusun komando serta memberikan
suwuk/doa kepada para santri pejuang yang bertempur melawan penjajah (Amin,
2008: 72)
Setelah masa
perjuangan kemerdekaan, Kiai Abbas mendapat amanah sebagai anggota KNIP (Komite
Nasional Indonesia Pusat)—yang kedudukannya sebagai DPR sementara. Kiai Abbas
mewakili area Jawa Barat, dalam kedudukannya sebagai anggota KNIP.
Kiai Abbas dikenal
sebagai kiai yang memiliki ilmu kedigdayaan yang tinggi pada masa hidupnya.
Beliau tak hanya berilmu agama mendalam, namun juga dikenal digdaya dan ampuh.
Kemampuan Kiai Abbas dalam bidang _psychokinesys_—yang berangkat dari Cirebon
menuju Surabaya dalam sekejap hentakan kaki, merupakan karomah yang diberikan
Allah kepada beliau (Amin, 2008: 72). Inilah potret Kiai Abbas yang berjuang
dengan ikhlas dan rela untuk menjaga negeri dari tangan penjajah. Sudah
selayaknya, perjuangan Kiai Abbas menjadi referensi pewaris negeri, sebagai
pahlawan dari kaum santri. []
Referensi:
1.
Abdul Ghoffir Muhaimin, The Islamic
Tradition of Cirebon: Ibadat and Adat among Javanese Muslim, Canberra: ANU
Press, 2006.
2.
_____________________________. Pesantren
and Tarekat in the Modern Era: An Account of the Transmission of Traditional
Islam in Java, Jakarta, Studia Islamika, 1997.
3.
Abdul Wahid, Peranan Pondok
Pesantren Buntet Cirebon bagi Kemajuan Lingkungan Pendidikan di Lingkungan
Sekitar 1958-2009, Universitas Negeri Semarang, 2012.
4.
Hasan AZ, Perlawanan dari Tanah Pengasingan:
Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara, Yogyakarta: LKIS. 2014.
5.
Jajat Burhanuddin, Ulama dan
Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan,
2012.
6.
Samsul Munir Amin, Karomah Para
Kiai, Yogyakarta: LKIS. 2008.
Munawir Aziz,
Koordinator Teraju Indonesia, Wakil Sekretaris LTN PBNU, (@MunawirAziz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar