Kuliah
Sambil Kerja
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Bisa
studi lanjut ke luar negeri itu menjadi idaman bagi banyak mahasiswa. Orang
membayangkan betapa enak dan kerennya kalau bisa memperoleh beasiswa ke negara
maju.
Tentu
saja bayangan itu tidak salah, namun bagi mereka yang menjalani akan memiliki
pengalaman dan cerita lain. Adalah hal yang lumrah, kuliah sambil bekerja untuk
mencari tambahan biaya. Terlebih jika mengambil program pascasarjana dengan
disertai istri dan anak, beban psikologis dan ekonomis cukup berat dirasakan
yang berimplikasi pada kelancaran dan prestasi studinya. Secara intelektual,
para penerima beasiswa ke perguruan tinggi di Barat, misalnya, mesti melewati
persaingan yang berat dan ketat.
Oleh
karenanya, mereka yang telah lolos ujian seleksi bahasa dan potensi intelektual
pasti bagus kualitasnya. Jadi, sesungguhnya masalah yang lebih berat berakar
pada masalah nonakademis. Banyak tantangan dan hambatan yang mesti dihadapi
oleh mahasiswa di luar negeri. Tradisi belajar di Timur Tengah berbeda dari
perguruan tinggi di Barat. Di samping iklim, ada pula faktor makanan.
Orang
Indonesia sulit berpisah dari makan nasi. Juga kecenderungan untuk selalu
berkumpul dengan teman sedaerah. Kebiasaan ini akan menghambat proses
sosialisasi memasuki pergaulan internasional. Akibatnya, sekalipun tinggal di
luar negeri, mayoritas waktunya diisi dengan berpikir dan berbicara dalam
bahasa Indonesia. Makanya ada beberapa mahasiswa yang memilih berkawan dekat
dengan orang asing agar lebih terasa belajar di luar negeri dan juga untuk
memperlancar bahasa.
Mahasiswa
yang membawa keluarga, istri dan anak misalnya, umumnya istri mencari pekerjaan
untuk mendapatkan uang tambahan karena dana beasiswa yang diterima suami tidak
cukup. Ada yang jadi baby sitter, kerja di restoran, jualan makanan, dan
sebagainya. Tidak jarang ketika datang libur musim panas selama tiga bulan
suami juga bekerja musiman. Saya sendiri pernah kerja pada KBRI di Jeddah Arab
Saudi selama musim haji.
Lama
kerja 40 hari di bagian informasi haji. Tugas saya mencatat jamaah haji yang
sakit dan meninggal lalu tiap malam mengirim berita ke Jakarta. Selama kuliah
di Turki saya tiga kali menjadi tenaga musim haji, dengan honor 50 riyal per
hari. Jumlah yang lumayan untuk tambahan biaya hidup dan membeli buku serta
keperluan lain. Beruntunglah mereka yang memperoleh beasiswa cukup sehingga
waktunya hanya diisi untuk studi.
Sekali
lagi, problem belajar di luar negeri cukup beragam. Ada teman yang studi di
Belanda dan gagal di tengah jalan karena bermasalah dengan profesornya yang
menurutnya kaku, sulit diajak berdiskusi, memandang rendah mahasiswa Indonesia
sebagai inlander. Profesor pembimbing disertasi pada umumnya memang demanding,
ingin perfeksionis karena kalau mahasiswa bimbingannya tidak bagus hasilnya,
yang menjadi taruhan nama baik dirinya.
Ini
berbeda dari profesor pembimbing di Indonesia yang kurang serius dan kurang
fokus karena sambil mencari kerja sampingan. Kembali ke soal kerja, setiap datang
musim haji KBRI di Arab Saudi selalu membuka lowongan kerja bagi mahasiswa
Indonesia khususnya di Timur Tengah mengingat dibutuhkan tenaga kerja untuk
membantu melayani jamaah haji. Keuntungan bagi mahasiswa, di samping memperoleh
honor, juga dapat menunaikan ibadah haji.
Bagi KBRI
juga diuntungkan karena mahasiswa menguasai bahasa Arab dan memahami tata cara
ibadah haji serta lingkungan sosial Arab. Umumnya mahasiswa di Timur Tengah
pernah bekerja sebagai temus haji. Sebuah istilah yang sangat akrab, maksudnya
tenaga musim haji. Peminat menjadi temus haji ini juga menarik mahasiswa
Indonesia yang tengah belajar di India dan Eropa. Mungkin juga sekarang sudah
merembet ke Amerika.
Banyak
cerita suka dan duka kuliah di luar negeri. Terutama ketika keluarga sakit,
bersamaan tugas kuliah yang menuntut kerja keras, sementara uang beasiswa tidak
mencukupi. Lebih stres lagi ketika sudah diperingatkan batas waktu beasiswa
mendekati berakhir, padahal tugas riset dan penulisan disertasi belum selesai.
Bagi kita yang di Indonesia selalu membayangkan kuliah di luar negeri itu
serbamewah dan menyenangkan. Ini bisa dipahami karena setelah tamat dan kembali
ke Indonesia jarang yang mau bercerita pengalaman pahitnya. Bahkan ada yang
sengaja menutupinya.
Saya merasa
beruntung karena sejak kuliah strata satu di Jakarta memang sambil bekerja.
Jadi, sudah punya tabungan mental bagaimana rasanya menjadi mahasiswa miskin,
yang kemudian justru saya jadikan cambuk untuk menaklukkan berbagai rintangan
yang menghadang. []
KORAN
SINDO, 13 Mei 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar