Kamis, 26 Mei 2016

(Ngaji of the Day) Mengenal Macam-macam Pujian: Manfaat dan Bahayanya



Mengenal Macam-macam Pujian: Manfaat dan Bahayanya

Pujian adalah pernyataan rasa kagum dan penghargaan kepada sesuatu yang dianggap baik, indah dan sebagainya. Memang wajar jika kita memuji kepada seseorang atas prestasinya atau kebaikan-kebaikanya. Apalagi jika orang tersebut punya hubungan dekat dengan kita, misalnya sahabat, kerabat, orang tua, anak dan sebagainya. Pujian jika dilihat dari objeknya ada dua macam. Pertama untuk diri sendiri kedua untuk orang lain.

Pertama, pujian untuk diri sendiri. dalam hal ini Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Adzkar membagi dua macam hukum memuji diri sendiri:

1.     Madzmum (tercela) jika dilakukan untuk membanggakan diri sendiri, menunjukkan keluhuran diri sendiri, serta membedakan dari orang lain dan semacamnya. Allah berfirman dalam Surat An-Najm ayat 31:

فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ (النجم 31)

Dalam tafsir Al-Wajiz potongan ayat tersebut ditafsiri dengan:

 فلا تمدحوا انفسكم ولا تبرئوها من الذنوب

“Maka janganlah kalian memuji diri kalian dan jangan merasa bersih dari dosa.”

Begitu pula dalam Surat An-Nisa’ 49:

الم تر الى الذين يزكون أنفسهم بل الله يزكى من يشاء ولا يظلمون فتيلا (النساء 49)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakinya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (QS. An-nisa’ 49).

Ayat tersebut menggambarkan orang-orang yang memuji terhadap diri dan amal perbuatanya serta merasa diriya suci dan jauh dari kejelekan, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani, bahkan mereka sangat kelewat dalam memuji dirinya sendiri dengan ucapan mereka نحن ابناء الله واحباؤه (kita adalah anak-anak Allah dan para kekasihnya)Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.

2.  Mahbub (terpuji) jika demi kemaslahatan. seperti amar makruf nahi munkar, mendamaikan antara dua orang yang bertikai, memberikan nasihat, mendidik, dan sebagainya. Dalam hal ini boleh memuji diri sendiri dengan menuturkan kebaikan diri sendiri disertai dengan adanya tujuan kemaslahatan tersebut. Sehingga dengan menutur kebaikan diri sendiri, ucapan atau nasihatnya akan lebih mudah diterima serta lebih meyakinkan orang lain, sebagaimana ucapan nabi Yusuf As terhadap penguasa saat itu yang terekam dalam Al-Qur’an surat  yusuf 55:

قال اجعلنى خزائن الارض انى حفيظ عليم

“Yusuf berkata: jadikanlah aku bendaharawan Negara (mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”

Nabi Yusuf menyebut kebaikan dirinya di hadapan penguasa agar penguasa tersebut mau mengangkatnya sebagai bendaharawan negara, sehingga Nabi Yusuf bisa menegakkan hukum-hukum Allah serta menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada yang mampu melakukan semua itu melainkan hanya beliau.

Begitu pula kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau membagikan ghanimah (harta rampasan perang), di antara orang munafik ada yang menganggap Rasulullah tidak adil dalam membaginya sehingga Rasulullah berkata:

والله إني لأمين في السماء أمين في الأرض

Demi Allah sesungguhnya aku adalah sejujur-jujurnya orang di langit dan di bumi.

Di antara sahabat Nabi yang pernah memuji dirinya sendiri dalam rangka ta’lim (pendidikan) adalah Abu hamid al-Sa’idi. Saat menyampaikan bagaimana shalat Rasulullah kepada para sahabat lain, ia berkata:

 أنا أعلمكم بصلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Saya adalah orang yang paling tahu mengenai shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua pujian untuk orang lain. Imam Al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa di antara malapetaka yang disebabkan lisan adalah sebuah pujian. Oleh karena itu memuji kepada orang lain tidak sepenuhnya dianjurkan, bahkan terkadang pujian tersebut dilarang karena bisa menimbulkan dampak negatif yang sangat membahayakan, baik bagi orang yang memuji maupun orang yang menerima pujian. Malapetaka tersebut menurutnya ada enam, yang empat bisa membahayakan orang yang memuji dan yang dua membahayakan orang yang menerima pujian.

Bagi orang yang memuji, bahaya atau petaka itu antara lain sebagai berikut:

Pertamaterkadang dia berlebihan (lebay) dalam memuji orang lain, sehingga ia terjerumus dalam kedustaan. Kholid bin Ma’dan berkata:

من مدح إماما أو أحدا بما ليس فيه على رؤوس الأشهاد بعثه الله يوم القيامة يتعثر بلسانه

Barangsiapa memuji seorang pemimpin atau seseorang di muka orang banyak dengan sesuatu yang tidak ada padanya, niscaya dibhari kiamat Allah akan membangkitkanya dengan tergelincir disebabkan lisannya.

Kedua dia memuji dengan berpura-pura menampakkan rasa cinta atau simpati yang tinggi, padahal sesungguhnya di dalam hatinya tidak. Dalam hal ini dia berbuat hipokrit (munafiq) serta mencari muka (riya).

Ketiga dia menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan realita. Sehingga pernyataanya adalah sebuah kebohongan atau bualan belaka.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أن رجلا ذكر عِنْدَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم – فاثنى عليه رجل خيرا فَقَالَ النبي صلى الله عليه وسلم « وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ ، ». يقوله مِرَارًا - « ان كان احدكم مادحا لا مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ كذا وكذا ، ان كان يرى انه كذالك وحسيبه الله ولا يزكى على الله احدا » رواه البخاري

Dari Abdirrahman bin Abi Bakroh dari ayahnya berkata sesungguhnya seorang lelaki disebut di dekat Rasulullah SAW. lalu lelaki yang lain memujinya maka Rasulullah berkata (berulang-ulang),“Celaka, kamu telah menebas leher temanmu.” “Jika salah satu di antara kalian harus (terpaksa) memuji maka hendaklah ia berkata, “Saya kira si fulan demikian kondisinya, jika dia menganggapnya demikian, dan yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah menyucikan seseorang di hadapan Allah.. HR. Bukhori.

Begitu pula Sayyidina Umar suatu saat pernah mendengar seorang lelaki melontarkan pujian pada orang lain, lalu beliau berkata pada orang tersebut:

Apakah kamu pernah bepergian dengannya?

Lelaki tersebut menjawabnya, “Tidak.

“Apakah kamu pernah berinteraksi denganya dalam masalah jual beli dan mu’amalah lainya?

Tidak.”

“Apakah kamu bertetangga denganya di waktu pagi dan sore?” Tanya Umar lagi.

“Tidak.”

Sayyidina Umar berkata, “Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya kamu tidak mengenal orang tersebut.

Keempat, kadang-kadang dengan pujiannya, dia menyenangkan orang yang dipuji, padahal orang yang dipuji tersebut adalah orang dzalim atau fasik. sedangkan memuji orang dzalim atau orang fasik tidak diperbolehkan. Sebagaimana sabda Rasulullah:

إن الله تعالى يغضب اذا مدح الفاسق (رواه ابن ابى الدنيا والبيهقي)

Sesungguhnya Allah SWT murka apabila ada orang fasik dipuji. (HR. Ibnu Abiddunya dan Al Baihaqi.)

Adapun dua bahaya atau petaka yang bisa menimpa orang yang dipuji akibat pujian adalah:

Pertama: menculnya sifat takabbur (sombong) dan u’jub (bangga diri) pada orang yang di puji, sehingga memandang orang lain berada di bawahnya. Keduanya adalah sifat yang bisa membinasakan. Al-Hasan radliyallahu ‘anh berkata, Suatu saat Sayyidina Umar radliyallahu ‘anh duduk bersama orang-orang, dan beliau memegang sebuah cemeti, lalu tiba-tiba datanglah Jarud bin Al-Mundzir dan salah seorang dari mereka mengatakan, “Orang ini adalah kepala suku Rabi’ah.”

Perkataan tersebut didengar oleh Sayyidina Umar ra dan orang-orang disekitarnya termasuk Al Jarud bin Al-mundzir, ketika Al-Jarud mendekati Sayyidina Umar ra beliau memukulnya dengan cemeti. Al-Jarud pun berkata, “Apa yang terjadi antara saya dan engkau wahai Amirul Mukminin? Sayyidina Umar pun menjawab, “Apa yang terjadi antara saya dan kamu? Bukankah kamu mendengar ucapan tadi?” Al-Jarud menjawab, “Iya saya mendengarnya. Lalu Sayyidina Umar berkata, saya khawatir perkataan tadi bercampur dengan hatimu, lalu aku ingin menundukkan kepalamu.

Kedua, dengan dipuji kebaikanya, maka dia akan merasa senang, puas dan bangga akan kebaikan tersebut, sedangkan orang yang membanggakan dirinya (atas kebaikanya) maka dia akan lengah atau teledor dalam beribadah kepada Allah, karena hanya orang yang memandang dirinya masih kurang amal kebaikanyalah yang selalu waspada dan bergegas dalam beribadah kepada Allah.

Namun jika pujian tersebut tidak membahayakan baik bagi pelaku maupun penerima pujian, maka pujian semacam itu tidaklah dilarang, bahkan terkadang dianjurkan. Karena itulah Rasulullah Saw pernah memuji sahabatnya antara lain sahabat Abu Bakar dengan ucapanya, “Jikalau iman Abu Bakar dan iman manusia seluruh alam ditimbang niscaya akan lebih berat iman Abu bakar.” Begitu pula pujian yang lain kepada para sahabat lainya.

Adapun bagi orang yang dipuji, Imam Al-Ghazali juga mengingatkan agar selalu waspada terhadap pujian dengan menjaga dirinya dari sifat sombong, membanggakan diri, serta menjaga dirinya agar tidak teledor terhadap amal-amal ibadahnya. Dan semua itu tidak dapat tercapai melainkan dengan cara memandang dirinya dengan pandangan hina dan lemah serta merenungkan akibat yang akan timbul seperti lembutnya riya dan bahaya yang lain, sesungguhnya dialah yang mengetahui pada dirinya tentang apa-apa yang tidak diketahui oleh orang yang memujinya. Dan hendaknya orang yang dipuji juga menampakkan ketidaksukaanya saat ia dipuji (kepada orang yang memujinya) jika pujian tersebut tidak sesuai dengan apa yang ada pada dirinya, Rasulullah bersabda:

احثوا التراب فى وجوه المداحين

“Taburkanlah debu pada wajah orang yang berlebihan dalam memuji.” (HR. Abu Dawud)

Serta hendaknya merasa malu terhadap pujian tersebut. sebagaimana dikatakan pula oleh Imam Atha’illah:

المؤمن إذا مدح استحيا من الله أن يثنى عليه بوصف لا يشهده من نفسه

Orang mukmin sejati adalah apabila mendapatkan pujian dia merasa malu terhadap Allah atas pujian yang diterimanya, jika sifat tersebut tidak dimilikinya sama sekali.

Begitu pula jika dia mendapat pujian yang telah terlontar dari mulut orang yang memuji hendaknya pula dia mengucapkan ucapan sebagaimana diucapkan Sayyidina Ali ketika menerima pujian:

اللهم اغفر لى ما لا يعلمون ولا تؤاخذنى بما يقولون واجعلنى خيرا مما يظنون

“Ya Allah ampunilah diriku karena sesuatu yang tidak mereka ketahui, dan janganlah Engkau menyiksa diriku karena apa yang mereka katakana dan jadikanlah diriku lebih baik dari apa yang mereka sangka.”

Dari uraian di atas bisa kita pahami bahwa suatu pujian bagaikan pedang bermata dua, yang bisa membahayakan, baik bagi pelaku maupun penerima pujian. Oleh karena itu kita harus bijak dan selektif ketika akan melontarkan pujian dan tidak terlalu murah mengobralnya, karena bisa saja kita sebagai orang yang melontarkan pujian bisa terhindar dari bahaya tersebut di atas, namun belum tentu bagi orang yang kita puji, sehingga maksud hati kita akan mengutarakan penghormatan atau penghargaan pada orang lain tapi justru kenyataanya kita malah menebas lehernya. Wallahu a’lam.[]

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar