Senin, 09 Mei 2016

(Ngaji of the Day) Hukum Penggusuran Tanah oleh Pemerintah



Hukum Penggusuran Tanah oleh Pemerintah

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang terhormat. Di beberapa kota besar kita sering mendengar penggusuran tanah warga yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Dalih yang sering digunakan adalah untuk kepentingan umum. Karena itu saya ingin sekali mendapatkan penjelasan mengenai hukum penggusuran tanah warga untuk kepentingan umum seperti pelebaran jalan dan lain sebagainya.

Yang kedua bagaiamana cara yang baik untuk menentukan ganti rugi penggusuran dalam pandangan Islam? Atas penjelasannya kami ucapkan banyak terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Susanto – Sawangan, Depok

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Ada dua pertanyaan yang diajukan kepada kami. Pertama terkait dengan hukum penggusuran tanah warga yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum. Kedua, lebih terkait dengan cara terbaik untuk menentukan ganti rugi tanahnya.

Penggusuran tanah atau lahan milik warga yang dilakukan pihak pemerintah memang kerap memicu persoalan serius antara pihak warga yang tergusur tanahnya dan pihak pemerintah. Biasanya alasan yang diajukan pemerintah adalah untuk pembangunan dan kepentingan umum. Sedangkan kericuhan tersebut biasa terletak pada soal ganti rugi tanah yang digusur karena dianggap tidak sepadan atau layak.

Pada dasarnya penggusuran tanah warga oleh pemerintah adalah diperbolehkan sepanjang memang benar-benar untuk kemaslahatan publik (al-mashlalah al-‘ammah) yang tidak bertentangan dengan syariat. Tetapi memang harus dengan ganti rugi yang memadai. Hal ini sebagaimana yang telah diputuskan NU dalam Muktamar ke-29 di Pondok Pesantren Cipasung-Tasikmalaya pada tanggal 1 Rajab 1415 H/4 Desember 1994 M.

Salah satu pijakan keputusan tersebut adalah kasus Sayidina Umar bin Al-Khaththab ra yang melakukan penggusuran tanah warga untuk perluasan Masjidil Haram, sebagaimana dituturkan al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah.

Pada saat menjabat sebagai khalifah, Sayidina Umar bin Al-Khaththab ra memiliki ide untuk memperluas Masjidil Haram. Ide perluasan ini muncul karena melihat semakin banyaknya penduduk kota Makkah saat itu.

Kemudian ia membeli tanah warga di sekitar masjid. Namun dalam proses tersebut ada saja warga yang enggan menjual tanahnya. Melihat hal tersebut Khalifah Umar bin Al-Khaththab ra mengambil kebijakan untuk merobohkan bangun milik warga yang enggan menjualnya, dan menawarkan harga tertentu sehingga mereka menerimannya.

فَلَمَّا اسْتُخْلِفَ عُمَرُ وَكَثُرَ النَّاسُ وَسَّعَ الْمَسْجِدَ وَاشْتَرَى دَوْرًا هَدَمَهَا وَزَادَهَا فِيْهِ وَهَدَمَ عَلَى قَوْمٍ مِنْ جِيْرَانِ الْمَسْجِدِ أَبَوْا أَنْ يَبِيْعُوْا وَوَضَعَ لَهُمْ اْلأَثْمَانَ حَتَّى أَخَذُوْهَا بَعْدَ ذَلِكَ وَاتَّخَذَ لِلْمَسْجِدِ جِدَارًا قَصِيْرًا دُوْنَ الْقَامَةِ وَكَانَتْ الْمَصَابِيْحُ تُوْضَعُ عَلَيْهِ وَكَانَ عُمَرُ أَوَّلَ مَنْ يَتَّخِذُ جِدَارًا لِلْمَسْجِدِ.

Artinya, “Ketika diangkat sebagai Khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, Umar ra memperluas masjid dengan membeli rumah dan dirobohkannya. Lalu ia menambah perluasannya dengan merobohkan (bangunan) penduduk sekitar masjid yang enggan menjualnya. Ia lalu memberi harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya. Ia membangun dinding yang pendek kurang dari tinggi manusia, dan memasang lampu-lampu di atasnya. Ia adalah orang yang pertama kali membuat dinding untuk masjid,” (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthaniyyah, Mesir-Musthafa Al-Halabi, cet ke-2, 1966, halaman 162).

Kebolehan menggusur tanah warga oleh pemerintah untuk kepentingan umum dianalogikan dengan kebolehan mengambil tanah warga yang berdampingan dengan masjid secara paksa untuk perluasan masjid ketika mereka enggan menjual tanahnya. Padahal perluasan tersebut sangat mendesak. Namun tidak hanya berhenti sampai titik ini, tetapi harus dibarengani dengan ganti rugi memadai atau sepadan dengan harga tanahnya.

Sedangkan untuk menentukan ganti rugi yang memadai adalah dengan cara musyawarah atas dasar keadilan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Hal ini wajib diperhatikan untuk menghindari konflik berkelanjutan antara warga dan pihak pemerintah.

وَالصُّوْرَةُ الثَّانِيَةُ هِيَ الاسْتِمْلاَكُ لِأَجْلِ مَصَالِحِ الْعَامَّةِ فَقَدْ أَجَازَ الشَّرْعُ اْلإِسْلاَمِيُّ اسْتِمْلاَكَ اْلأَرْضِ الْمُجَاوِرَةِ لِلْمَسْجِدِ جَبْرًا عَلَى أَصْحَابِهَا إِذَا امْتَنَعُوْا عَنْ بَيْعِهَا وَضَاقَ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ وَاحْتَاجَ إِلَيْهَا كَمَا أَجَازُوْا مِثْلَ ذَلِكَ لِأَجْلِ تَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ إِذَا دَعَتْ حَاجَةُ النَّاسِ إِلَى تَوْسِيْعِهِ وَذَلِكَ بِالْقِيْمَةِ الَّتِيْ يُسَاوِيْهَا الْعِقَارُ الْمُسْتَمْلَكُ حَتَّى لَقَدْ نَصَّ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يُؤْخَذَ لِتَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ جَانِبٌ مِنَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ الْحَاجَةِ

Artinya, “Contoh kedua adalah pengambilan hak milik demi kepentingan umum. Agama Islam memperbolehkan pengambilan hak milik tanah yang berdampingan dengan masjid secara paksa jika si pemilik enggan menjualnya. Sementara masjid sudah sempit bagi para jamaahnya dan mereka membutuhkannya. Seperti halnya para ulama memperbolehkan kasus semacam itu untuk perluasan jalan umum ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan memberikan (ganti rugi) harga yang sepadan dengan harga tanah yang diambil hak miliknya. Bahkan para fuqaha juga telah menjelaskan, boleh mengambil satu sisi dari masjid untuk keperluan perluasan jalan umum ketika dibutuhkan,” (Lihat Mustafa Ahmad Az-Zarqa`, Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-‘Amm, Damaskus-Alif Ba Al-Adib, 1968 H, juz I, halaman 248).

Meskipun pemerintah boleh menggusur tanah warga atas nama kepentingan umum, namun pihak pemerintah juga tidak boleh sewenang-wenang dan seenak perutnya sendiri menentukan ganti rugi. Tetapi harus dengan ganti rugi sewajarnya dan mencerminkan rasa keadilan. Yang tak kalah penting adalah harus dipastikan benar-benar untuk kepentingan umum, bukan kepentingan individu tertentu. Di samping itu juga harus dipikirkan bagaimana nasib warga pascapenggusuran tanahnya.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi pemerintah sudah seharusnya memperhatikan nasib warga yang digusur karena memang itu adalah tanggung jawab pemerintah. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.  

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar