Kamis, 12 Mei 2016

Mahfud MD: Sekretaris Mahkamah



Sekretaris Mahkamah
Oleh: Moh Mahfud MD

Pada 23 Agustus 2008, dua hari setelah terpilih sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK), saya bersama Wakil Ketua MK terpilih Prof Mukthie Fajar memanggil Janedjri M Gaffar (Janed) untuk memberi tahu kepada Janed bahwa dirinya akan diangkat kembali menjadi sekretaris jenderal (sekjen) MK.

”Setelah mendengar banyak masukan dan mempertimbangkan track record Saudara, kami memutuskan untuk memperpanjang tugas Saudara sebagai sekjen,” kata saya. Kepadanya, saya menjelaskan bahwa sekretaris adalah jantung organisasi. Bagus sekretaris, baguslah organisasi; rusak sekretaris, rusaklah organisasi.

Agar organisasi bagus dan bersih bukan hanya keterampilan teknis dan urusan birokrasi yang harus dikuasai, melainkan lebih dari itu, adalah integritas moral dan kejujuran. Saya masih ingat ketika saya menekankan tiga hal kepada Janed. Pertama, Saudara adalah pelayan administratif tugas-tugas hakim, tidak boleh ikut mengurus perkara, bahkan juga tidak boleh tahu soal perkara.

Kedudukan Saudara adalah pejabat birokrasi pemerintahan di sini, sedangkan hakim adalah pejabat negara. Jadi secara ketatanegaraan, sekretaris itu lebih rendah daripada hakim, dan karenanya tidak boleh mengatur-atur hakim. Kalau ada orang mau berkonsultasi, apalagi meminta tolong tentang perkara kepada Saudara, katakan bahwa Saudara tidak tahu karena bukan tugas Saudara.

Kedua, Saudara tidak boleh mencarikan apalagi memberikan uang untuk keperluan saya di luar batas yang telah ditentukan oleh peraturan perundang- undangan. Saya adalah ketua di sini, saya tak perlu diservis dengan cara mencari-cari atau memaksakan ada anggaran aneh untuk ketua.

Saya hanya mau menerima uang yang sah dan disediakan oleh negara. Ini penting, karena yang saya dengar banyak sekjen atau dirjen selalu mencarikan anggaran ekstra untuk pimpinan lembaga, bahkan untuk keluarga pimpinannya. Ketiga, yang Saudara layani di sini adalah hakim, bukan istri hakim atau suami hakim.

Oleh sebab itu, Saudara tidak boleh menerima perintah dari istri saya atau istri dan suami para hakim. Fasilitas yang disediakan oleh negara untuk para hakim dan keluarganya harus sesuai dengan porsi yang sudah disediakan oleh negara. Tidak boleh mencari-carikan dana untuk keperluan keluarga hakim.

Ini penting karena yang saya dengar banyak sekjen dan dirjen sering diperintah-perintah oleh istri pejabat. Dengan menyampaikan itu kepada sekjen waktu itu, saya berharap agar saya dan sekjen sama-sama nyaman dalam bekerja. Saya juga ingin memberi kekuatan kepada sekjen agar dia bertindak lurus dan tegas, tidak usah pusing-pusing mencaricari dana untuk menyervis hakim dan keluarganya.

Saya tekankan bahwa dia adalah pelayan hakim, tetapi juga tidak boleh mencari-cari jalan sesat hanya untuk melayani hakim, termasuk ketuanya. Dia juga tidak boleh bersikap jemawa kepada hakim karena posisinya sebagai pejabat pengguna anggaran.

Dia tidak boleh menjalin hubungan sesat dengan orang luar seperti politisi, pengacara, atau pejabat negara untuk membicarakan perkara yang sedang ditangani MK, karena prinsipnya sekretaris Mahkamah tidak boleh mengetahui tentang penanganan perkara. Sekretaris tidak bisa memengaruhi, tidak punya akses terhadap perkara, dan karenanya tidak boleh memegang berkas perkara.

Saya meyakini, apa-apa yang saya pesankan kepada Janed itu dilaksanakan sesuai dengan keinginan saya, minimal dalam hal-hal yang terkait dengan tugas para hakim. Itulah sebabnya saya merasa aman dan nyaman, tidak dihantui oleh masalah apa pun sampai sekarang ini.

Itu pulalah sebabnya saya merasa masygul ketika Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dicegah bepergian ke luar negeri dan rumah serta kantornya digeledah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menyusul penangkapan tangan terhadap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution.

Pencekalan dan penggeledahannya itu sendiri menurut saya merupakan hal yang biasa saja untuk keperluan penyidikan bagi tersangka Eddy. Yang mengherankan adalah beritaberita saat penggeledahan dan setelah pencegahannya. Diberitakan secara meluas bahwa saat digeledah di rumah Nurhadi ditemukan berkas perkara yang seharusnya bukan wilayah kewenangannya sama sekali.

Diberitakan juga bahwa gaya hidup Nurhadi begitu borjuis dengan dalih punya kekayaan melimpah dari usahanya sendiri. Diberitakan bahwa Nurhadi begitu mudah memfasilitasi dan membantu kegiatan-kegiatan ekstra para hakim dan atau keluarganya.

Diberitakan secara meluas bahwa jika Nurhadi berkunjung ke daerah mendapat sambutan protokoler dari ketua-ketua pengadilan dan jajarannya melebihi sambutan yang diterima oleh para hakim agung, padahal sebenarnya dia hanyalah pelayan hakim agung.

Diberitakan secara meluas bahwa Nurhadi di MA ibarat godfather yang sangat berkuasa, berpengaruh, dan menentukan. Yang sangat membuat miris diberitakan bahwa saat digeledah, di rumah Nurhadi ditemukan uang sebesar Rp1,7 miliar yang tercecer di laci, mobil, bahkan di kloset kakus.

Diberitakan juga, saat digeledah, keluarga Nurhadi berusaha menghilangkan dokumen dengan cara merobek-robek dan menceburkannya ke lobang kloset maupun yang kemudian ditemukan di tubuh istri Nurhadi yang semula menolak dengan alasan tidak memakai pakaian dalam.

Saya sependapat dengan Hakim Gayus Lumbuun, ”MA harus dibenahi total dari dalam”. Sekretaris Mahkamah haruslah orang yang bisa dikendalikan, bukan orang yang mengendalikan. Pimpinan Mahkamah dan para hakim mempunyai landasan konstitusional dan martabat moral untuk melakukan itu. []

KORAN SINDO, 07 Mei 2016
Moh Mahfud MD ;   Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK-RI 2008-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar