Sekretaris
Mahkamah
Oleh: Moh
Mahfud MD
Pada 23
Agustus 2008, dua hari setelah terpilih sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK),
saya bersama Wakil Ketua MK terpilih Prof Mukthie Fajar memanggil Janedjri M
Gaffar (Janed) untuk memberi tahu kepada Janed bahwa dirinya akan diangkat
kembali menjadi sekretaris jenderal (sekjen) MK.
”Setelah
mendengar banyak masukan dan mempertimbangkan track record Saudara, kami
memutuskan untuk memperpanjang tugas Saudara sebagai sekjen,” kata saya.
Kepadanya, saya menjelaskan bahwa sekretaris adalah jantung organisasi. Bagus
sekretaris, baguslah organisasi; rusak sekretaris, rusaklah organisasi.
Agar
organisasi bagus dan bersih bukan hanya keterampilan teknis dan urusan
birokrasi yang harus dikuasai, melainkan lebih dari itu, adalah integritas
moral dan kejujuran. Saya masih ingat ketika saya menekankan tiga hal kepada
Janed. Pertama, Saudara adalah pelayan administratif tugas-tugas hakim, tidak
boleh ikut mengurus perkara, bahkan juga tidak boleh tahu soal perkara.
Kedudukan
Saudara adalah pejabat birokrasi pemerintahan di sini, sedangkan hakim adalah
pejabat negara. Jadi secara ketatanegaraan, sekretaris itu lebih rendah
daripada hakim, dan karenanya tidak boleh mengatur-atur hakim. Kalau ada orang
mau berkonsultasi, apalagi meminta tolong tentang perkara kepada Saudara,
katakan bahwa Saudara tidak tahu karena bukan tugas Saudara.
Kedua,
Saudara tidak boleh mencarikan apalagi memberikan uang untuk keperluan saya di
luar batas yang telah ditentukan oleh peraturan perundang- undangan. Saya
adalah ketua di sini, saya tak perlu diservis dengan cara mencari-cari atau memaksakan
ada anggaran aneh untuk ketua.
Saya
hanya mau menerima uang yang sah dan disediakan oleh negara. Ini penting,
karena yang saya dengar banyak sekjen atau dirjen selalu mencarikan anggaran
ekstra untuk pimpinan lembaga, bahkan untuk keluarga pimpinannya. Ketiga, yang
Saudara layani di sini adalah hakim, bukan istri hakim atau suami hakim.
Oleh
sebab itu, Saudara tidak boleh menerima perintah dari istri saya atau istri dan
suami para hakim. Fasilitas yang disediakan oleh negara untuk para hakim dan
keluarganya harus sesuai dengan porsi yang sudah disediakan oleh negara. Tidak
boleh mencari-carikan dana untuk keperluan keluarga hakim.
Ini
penting karena yang saya dengar banyak sekjen dan dirjen sering
diperintah-perintah oleh istri pejabat. Dengan menyampaikan itu kepada sekjen
waktu itu, saya berharap agar saya dan sekjen sama-sama nyaman dalam bekerja.
Saya juga ingin memberi kekuatan kepada sekjen agar dia bertindak lurus dan
tegas, tidak usah pusing-pusing mencaricari dana untuk menyervis hakim dan
keluarganya.
Saya
tekankan bahwa dia adalah pelayan hakim, tetapi juga tidak boleh mencari-cari
jalan sesat hanya untuk melayani hakim, termasuk ketuanya. Dia juga tidak boleh
bersikap jemawa kepada hakim karena posisinya sebagai pejabat pengguna
anggaran.
Dia tidak
boleh menjalin hubungan sesat dengan orang luar seperti politisi, pengacara,
atau pejabat negara untuk membicarakan perkara yang sedang ditangani MK, karena
prinsipnya sekretaris Mahkamah tidak boleh mengetahui tentang penanganan
perkara. Sekretaris tidak bisa memengaruhi, tidak punya akses terhadap perkara,
dan karenanya tidak boleh memegang berkas perkara.
Saya
meyakini, apa-apa yang saya pesankan kepada Janed itu dilaksanakan sesuai
dengan keinginan saya, minimal dalam hal-hal yang terkait dengan tugas para
hakim. Itulah sebabnya saya merasa aman dan nyaman, tidak dihantui oleh masalah
apa pun sampai sekarang ini.
Itu
pulalah sebabnya saya merasa masygul ketika Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi
dicegah bepergian ke luar negeri dan rumah serta kantornya digeledah oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi menyusul penangkapan tangan terhadap Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution.
Pencekalan
dan penggeledahannya itu sendiri menurut saya merupakan hal yang biasa saja
untuk keperluan penyidikan bagi tersangka Eddy. Yang mengherankan adalah
beritaberita saat penggeledahan dan setelah pencegahannya. Diberitakan secara
meluas bahwa saat digeledah di rumah Nurhadi ditemukan berkas perkara yang
seharusnya bukan wilayah kewenangannya sama sekali.
Diberitakan
juga bahwa gaya hidup Nurhadi begitu borjuis dengan dalih punya kekayaan
melimpah dari usahanya sendiri. Diberitakan bahwa Nurhadi begitu mudah
memfasilitasi dan membantu kegiatan-kegiatan ekstra para hakim dan atau
keluarganya.
Diberitakan
secara meluas bahwa jika Nurhadi berkunjung ke daerah mendapat sambutan
protokoler dari ketua-ketua pengadilan dan jajarannya melebihi sambutan yang
diterima oleh para hakim agung, padahal sebenarnya dia hanyalah pelayan hakim
agung.
Diberitakan
secara meluas bahwa Nurhadi di MA ibarat godfather yang sangat berkuasa,
berpengaruh, dan menentukan. Yang sangat membuat miris diberitakan bahwa saat
digeledah, di rumah Nurhadi ditemukan uang sebesar Rp1,7 miliar yang tercecer
di laci, mobil, bahkan di kloset kakus.
Diberitakan
juga, saat digeledah, keluarga Nurhadi berusaha menghilangkan dokumen dengan
cara merobek-robek dan menceburkannya ke lobang kloset maupun yang kemudian
ditemukan di tubuh istri Nurhadi yang semula menolak dengan alasan tidak
memakai pakaian dalam.
Saya
sependapat dengan Hakim Gayus Lumbuun, ”MA harus dibenahi total dari dalam”.
Sekretaris Mahkamah haruslah orang yang bisa dikendalikan, bukan orang yang
mengendalikan. Pimpinan Mahkamah dan para hakim mempunyai landasan
konstitusional dan martabat moral untuk melakukan itu. []
KORAN
SINDO, 07 Mei 2016
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar