Rabu, 18 Mei 2016

Fathul Majid, Karya Ulama Asal Palembang Akhir Abad XIX



KHAZANAH ULAMA NUSANTARA DI TIMUR TENGAH
Fathul Majid, Karya Ulama Asal Palembang Akhir Abad XIX


Satu lagi koleksi langka kitab karangan ulama Nusantara yang ditulis dalam bahasa Arab dan terbit di Timur Tengah pada akhir abad ke-19 M adalah “Fathul-Majid ala Jauharatit-Tauhid”, karangan seorang ulama asal Palembang, Husain ibn Umar al-Falambani. Kitab tersebut berjudul. Kitab ini dicetak di Maktabah al-Syarq, Kairo (tanpa tahun).

“Fathul-Majid” karangan al-Falambani ini merupakan penjelasan (syarh) atas teks (matan) “Jauharatut -Tauhid”. Matan “Jauharatut -Tauhid” sendiri tercatat sebagai salah satu “babon” kitab terpenting dalam kajian teologi madzhab Asy’ari (Ahlu Sunnah wal Jama’ah/Aswaja karangan Burhanudin al-Laqqani al-Maliki (w. 1041 H/ 1632 M), seorang ulama terkemuka asal Mesir yang hidup di abad ke-11 H (17 M).

Siapakah Husain ibn Umar al-Falambani?

Saya tidak mendapatkan informasi dan data lebih terkait sosok Husain ibn Umar al-Falambani ini. Namun dalam kolofon, ia menuliskan telah menyelesaikan syarah-nya ini pada “hari Selasa, akhir bulan Rajab, dua puluh setelah seribu (1020) Hijriah”. Penulisan titimangsa ini tampaknya mengalami kesalahan, karena pada tahun tersebut al-Laqqani masih hidup dan belum wafat.

Asumsi saya, Husain al-Falambani ini hidup satu generasi dengan Syekh Nawawi al-Bantani (abad ke-19 M). Hal ini didasarkan atas beberapa endorsement (taqarizh) yang terdapat di dalam kitab ini, yang ditulis oleh tiga orang tokoh berpengaruh di Mekkah masa itu; yaitu Syaikh Ahmad al-Hadhrawi al-Makki, seorang sastrawan besar Mekkah di paruh pertama abad ke-19 M, termasuk endorsement dari Muhammad Sa’id al-Hadhrawi al-Makki, pengajar di Masjid al-Haram di paruh kedua abad ke-19 M, juga oleh Ahmad Nahawi ibn Imam Raja al-Jawi, seorang ulama Nusantara (Jawi) yang juga mengajar di Mekkah.

Ahmad al-Hadhrawi al-Makki menuliskan endorsement atas “Fathul-Majid” ini dalam bentuk puisi. Al-Hadhrawi menulis:

Bulan perinduku bersenandung
sejak aku membaca syarah (kitab) yang elok dan unik ini

aku telah bertemu dengan al-Falambani
seorang pemilik cahaya, ilmu pengetahuan yang melimpah, dan juga seruan (agama

ia bernama Husain (ibn Umar) karena itulah
siapa saja yang mencari petunjuk (ilmu kalam) dengannya (kitab ini), maka ia akan mendapatkan jalan petunjuk

Orientalis Belanda Snouck Hurgronje yang merekam sejarah Mekkah di akhir abad ke-19 M dalam Mekkanische Sprichwörter und Redensarten (diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Shafahat min Tarikh Makkah, vol. II, hal. 626), menyinggung beberapa kitab karangan ulama Nusantara yang dicetak di Mekkah pada masa itu, salah satunya adalah kitab syarah atas teks Jauharatut-Tauhid. Hurgronje menulis: “di antara kitab yang dicetak di Mekkah adalah syarah yang ditulis oleh salah seorang ulama Jawi atas kitab Jauharatut-Tauhid karangan (Ibrahim) al-Laqqani”.

Saya berasumsi jika apa yang diisyaratkan oleh Hurgronje di atas adalah kitab “Fathul-Majid” karangan al-Falambani.

Sementara itu, sang penulis teks-matan Jauharatut-Tauhid, yaitu al-Laqqani, terkenal sebagai seorang ulama besar abad ke-17 M yang menguasai pelbagai cawangan ilmu pengetahuan. Ia pun mengarang banyak kitab dalam ilmu fikih, ushul fikih, hadits, bahasa, tarajim, dan akidah (teologi). Untuk yang terakhir (teologi), al-Laqqani mengarang “Ta’liqul-Fawaid ‘ala Syarhil-‘Aqaid li as-Sa’d at-Taftazani” dan juga “Nazham Jauharatut-Tauhid”.

Teks “Jauharatut-Tauhid” ini berupa puisi yang terdiri dari 114 bait yang memuat kajian seputar akidah Islam beserta argument-argumennya. Meski berupa teks puisi yang terhitung pendek, namun tampaknya Jauharatut-Tauhid ini memiliki urgensi yang signifikan. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya kitab-kitab syarh (penjelasan) dan hâsyiah (catatan panjang) atas matan-teks tersebut.

Tercatat lebih dari 10 (sepuluh) syarh dan hasyiah yang berkaitan dengan Jauharatut-Tauhid yang ditulis oleh para sarjana Muslim terkemuka. Al-Laqqani sendiri mencatat tiga buah kitab penjelasan (syarah) atas Jauharatut-Tauhid karangannya ini, yaitu ’Umdah al-Murid (Syarh Kabir), Talkhish al-Tajrid (Syarh Wasath), dan Hidayatul-Murid (Syarh Shaghir).

Beberapa syarh lainnya seperti “Fathul-Qarib al-Majid” karangan al-Ajhuri (1070 H), juga “Ithaf al-Murid” karangan ‘Abdus-Salam al-Laqqani yang juga putera pengarang (w. 1078 M). dari Ithaf al-Murid ini muncul beberapa kitab hssyiah (komentar panjang) turunan, seperti Hasyiah ibn al-Amir (w. 1232 H), Hasyiah al-Mazid karangan al-Suhaimi (w. 1178 H), Hasyiah al-‘Adawi (w. 1189 H), Hasyiah al-Mullawi (w. 1181 H), dan Hasyiah al-Syanwani (w. 1233 H).

Salah satu syarah terpenting juga ditulis oleh Ahmad as-Shawi (w. 1241 H), juga oleh Ibrahim al-Baijuri (w. 1276 H), grand-shaikh Al-Azhar yang juga sejawat Nawawi Banten. Al-Baijuri menulis “Tuhfatul-Murid ‘ala Jauharatut-Tauhid”. Syarah “Tuhfah al-Murid” ini pernah dibacakan oleh Ali Jum’ah, grand-mufti Mesir pada tahun 2006-an. Menariknya, sanad (mata rantai keilmuan) Ali Jum’ah dalam kitab ini menyambung kepada Syaikh Yasin Padang.

Para ulama Nusantara pun tak ketinggalan dalam upaya menyarahi teks “Jauharah al-Tahîd” ini. Selain syarh “Fathul-Majid” karangan Husain al-Falambani yang disinggung di muka, terdapat juga “Sabilul-Abid” yang merupakan penjelasan (syarh) “Jauharatut-Tauhid” dalam bahasa Jawa beraksara Arab (pegon), ditulis oleh seorang ulama Nusantara asal Darat, Semarang, yaitu Syaikh Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani al-Jawi (Kiyai Soleh Darat, 1820-1903 M). Naskah “Sabilul-Abid” ini diterbitkan di Bombai, India, di akhir abad ke-19 M.

Di dunia pesantren tradisional (NU) di Nusantara, kitab “Jauharatut-Tauhid” ini pun dijadikan salah satu buku pegangan untuk materi ilmu tauhid, di samping kitab-kitab teologi Asy’ariyah (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) lainnya semisal ‘Aqidatul-Awwam karangan Ahmad al-Marzuqi al-Makki beserta syarahnya Nuruz-Zhalam karangan Nawawi al-Bantani, Tijanud-Durari karangan Ibrahim al-Baijuri, ‘Aqidatul-Ushul karangan al-Laits as-Samarqandi, hingga Umm al-Barahin karangan as-Sanusi.

Inilah luar biasanya pesantren tradisional Nusantara. Ia menyipan harta karun khazanah keilmuan Islam beserta jaringan global ulama Nusantara, Timur Tengah, dan Dunia Islam lainnya yang teruntai berabad-abad lamanya. []

(A. Ginanjar Sya’ban)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar