Sekularisme
Turki
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Istilah
sekuler dan sekularisasi memiliki banyak dimensi. Dalam politik, artinya
terjadinya pemisahan antara negara dan agama. Agama adalah urusan pribadi,
simbol-simbol agama tidak boleh masuk ke ruang negara. Tetapi dalam praktiknya
tidak semudah itu. Misalnya Amerika atau Eropa yang menganut paham sekularisme
politik, penguasanya tidak bisa netral terhadap sentimen dan sikap
keberagamaannya. Terlebih masyarakat dan pemerintah Turki yang masih kuat
tradisi keislamannya, maka kita sering salah paham terhadap konsep dan praktik
sekularisme Turki.
Ada lagi
istilah secularization of consciousness. Yaitu sebuah sekularisasi kesadaran,
di mana rasa dan komitmen kebertuhanan semakin menghilang, terlepas apakah
seseorang hidup di negara sekuler atau bukan. Sebuah penelitian menyebutkan,
masyarakat Amerika lebih religius dibandingkan masyarakat Eropa, sekalipun
secara politik AS lebih konsekuen menerapkan sistem sekuler.
Selama
ini sosok Mustofa Kemal, tokoh sentral pendiri dan presiden pertama Republik
Turki, diposisikan sebagai anti-Islam setelah menggulingkan Imperium Usmani
(Ottoman Empire), lalu mendirikan republik sekuler Turki. Tentu saja
berakhirnya Imperium Usmani ini tidak semata kehebatan Mustofa Kemal. Sekitar
enam abad Usmani berjaya malang melintang, kekuasaan dan pengaruhnya menjangkau
seluruh dunia Islam, termasuk Aceh, bahkan sampai Eropa. Jadi terlalu hebat
menempatkan Mustofa Kemal sebagai sosok sentral yang mengakhiri eksistensi
Imperium Usmani.
Jika
disebut Imperium Usmani, di dalamnya terkandung tiga ideologi, yaitu satu,
paham dinastisme yang berpusat pada keturunan Usman. Dua, ideologi Turkisme
yang berakar pada semangat dan solidaritas bangsa Turk yang berasal dari Asia
Tengah. Tiga, ideologi Islamisme yang dianut oleh sultan keturunan keluarga
Usman. Benih-benih kerapuhan Kaisar Usmani sesungguhnya sudah muncul jauh
sebelum Perang Dunia Pertama, yang puncaknya ketika Kesultanan Usmani bersama
Jerman dikalahkan oleh Inggris dan sekutunya.
Pada awal
abad ke-19 ekonomi dan teknologi Eropa mulai bangkit, dunia Islam masih terlalu
yakin dirinya tak tertandingi karena selalu melihat kehebatan masa lalunya dan
yakin sekali Allah berada di pihaknya. Inggris dan Prancis dengan kecerdikannya
berusaha meracuni tokoh-tokoh kabilah Arab untuk melakukan pembangkangan
terhadap kekuasaan Istanbul, dengan janji mau diberi wilayah sendiri sebagai
sultan.
Makanya
ketika meletus PD I, Jerman telah melakukan salah kalkulasi. Semula dia
bayangkan Kesultanan Usmani sangat perkasa dan mampu mengerahkan dunia Islam
untuk ikut melawan sekutu, tetapi ternyata dugaan dan harapan Jerman meleset.
Bersama Jerman, Kesultanan Usmani kalah. Wilayah Arab yang semula di bawah
kekuasaan Istanbul beralih tangan ke Inggris dan Prancis yang pada urutannya
bermunculanlah kesultanan-kesultanan Arab dalam bayang-bayang Inggris, Prancis,
dan Amerika.
Namun,
sebagian lalu mendekat ke poros blok Uni Soviet. Jadi, jika di Indonesia dulu
banyak kesultanan yang ikut berperang melawan penjajah dan setelah merdeka lalu
melebur ke pangkuan republik, maka genealogi kesultanan di Arab ceritanya
sangat berbeda.
Melihat
kekuatan Usmani sudah rapuh tak mampu menguasai dunia Islam dan menghadapi
kekuatan Barat, Mustofa Kemal tampil mengobarkan semangat
nasionalisme-Turkisme. Dia yakin bahwa hanya ideologi nasionalisme Turkisme
yang bisa menyelamatkan bangsa Turki di tengah gencarnya
agresivisme-imperialisme Barat. Di saat Kesultanan Usmani runtuh tak berdaya
menghadapi serangan sekutu, Mustofa Kemal tampil memimpin gerakan nasionalisme
Turkisme dan menggusur Islam politik, lalu menggantinya dengan ideologi
sekuler.
Ideologi
Kemalisme ini merupakan antitesis terhadap kekuatan Sultanisme Islamisme yang
dianggap tak mampu menyelamatkan bangsa Turki, lalu dimunculkanlah ideologi
republikanisme. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa Mustofa Kemal sesungguhnya
merupakan eksekutor dari pemikiran Ziya Gokalp yang merupakan pengagum Emile
Durkheim.
Gokalp
mengatakan bahwa Islam tetap diperlukan bangsa dan negara Turki sebagai
identitas dan kekuatan pengikat sosial, namun sistem kesultanan dan
kekhalifahan mesti diganti dengan ideologi nasionalisme yang lebih powerful
untuk membangun Turki ke depan. Oleh karena itu, pada awal-awal pendirian
Republik Turki terjadi perpecahan di kalangan ulama, ada yang pro dan
antirepublikanisme. Dan ternyata Mustofa Kemal menang.
Sejarah
mencatat, Mustofa Kemal jelas-jelas anti-Kesultanan Usmani.
Tapi ada
yang melihat dari sisi lain, kalau waktu itu tak ada gerakan republikanisme di
bawah Mustofa Kemal mungkin sekali Istanbul hari ini sudah menjadi wilayahnya
Eropa. Kritik yang sering dialamatkan kepada Kemal Attaturk adalah terlalu
drastis melakukan de-Arabisasi yang pada urutannya menggusur tradisi dan
khasanah intelektual Islam, mengingat kala itu Islam dan budaya Arab sulit
dipisahkan. Attaturk artinya bapak bangsaTurki, sebuah nama yang melekat pada
Mustofa Kemal.
Turki
hari ini tengah membangun keseimbangan baru dengan menghubungkan dan menghargai
khasanah Islam semasa kejayaan Usmani dengan spirit kemodernan dalam sistem
republik sekuler. Sebuah negara dengan mayoritas warganya 99% muslim. Mereka
menyadari bahwa dirinya bukan Arab dan bukan pula Barat. Namun anehnya, bagi
dunia Islam, Turki dianggap saudara yang nakal karena terlalu berorientasi ke
Barat, sementara di mata Barat, Turki adalah negara muslim dengan tradisi
Islamnya yang kental dan kekuatan militernya yang disegani.
Hari-hari
ini Turki sedang memainkan posisi strategisnya dengan menampung eksodus korban
perang Suriah sebagai kekuatan tawar agar Turki bisa masuk menjadi anggota MEE
(Masyarakat Ekonomi Eropa). []
KORAN
SINDO, 20 Mei 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar