Senin, 23 Mei 2016

(Buku of the Day) Masterpiece Islam Nusantara: Sanad & Jejaring Ulama-Santri (1830-1945)



Masterpiece Islam Nusantara


Judul                : Masterpiece Islam Nusantara: Sanad & Jejaring Ulama-Santri (1830-1945)
Penulis             : Zainul Milal Bizawie
Penerbit            : Pustaka Kompass
Cetakan            : Maret
ISBN                 : 978-602-72621-5-7

Islam Nusantara bukanlah suatu hal baru, karena telah mewajah dan merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya, menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya. Dari pijakan sejarah itulah, karakter Islam Nusantara menampilkan  Islam yang ramah, damai, terbuka, penuh sopan santun, tata krama dan penuh toleransi. Karenanya, penting sekali untuk membiarkan para pelaku penyebar Islam di Nusantara bernarasi sendiri dengan tutur sebagai lokal historis yang terus diwariskan sampai sekarang. Mengkomunikasikan dan menjejaringkan narasi mereka dapat memberikan peta yang baik untuk memahami karakteristik dan konstruksi keislaman yang mereka bangun untuk Nusantara.

Buku Masterpiece Islam Nusantara Sanad & Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) karya Zainul Milal Bizawie ini berusaha merangkai memori-memori yang tersebar di masyarakat lokal, yang selama ini seolah-olah terpisah antara satu dengan lainnya. Padahal, mereka terhubung dan saling melengkapi sehingga menjadi suatu perwajahan Islam yang khas di Nusantara. Selain itu, jejaring ulama-santri Nusantara telah berkontribusi penting dalam merawat tradisi Islam di Nusantara. Karya-karya mereka menjadi referensi utama sistem pembelajaran di surau, pesantren dan madrasah hingga saat ini.

Dengan belajar dari kiprah para ulama-santri, kita dapat menyerap karakter Islam Nusantara sebagai Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.

Sebelumnya, Zainul Milal Bizawie telah menghadirkan momentum bersejarah pada Resolusi Jihad. Dengan mengungkap jejaring yang berada di balik munculnya resolusi jihad tersebut serta basis pemahaman tentang suatu bangsa, akan membantu kita memahami konteks perjuangan para Laskar Ulama-Santri. Buku ini juga berusaha menarasikan simpul-simpul dari jejaring yang telah mensinergiskan perjuangan bagi tegaknya Negara Indonesia. Karenanya, kita akan melihat bagaimana simpul-simpul tersebut saling berjejaring dan dengan caranya sendiri mengonsolidasi dan terhubung dari satu titik simpul ke simpul lainnya. Simpul ini hanyalah bagian saja, dan masih banyak lagi yang tidak tercatat dan bergerak di ranah yang lain.

Menyimak wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara sangat dibutuhkan, karena ciri khasnya mengedepankan jalan tengah yang bersifat tawasut (moderat), tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik. Oleh karena itu, sudah selayaknya Islam Nusantara dijadikan alternatif untuk membangun peradaban dunia Islam yang damai dan penuh harmoni di negeri mana pun, meski tidak harus bernama dan berbentuk seperti Islam Nusantara karena dalam Islam Nusantara tidak mengenal menusantarakan Islam atau nusantarasasi budaya lain.

Zainul Milal Bizawie ingin menegaskan bahwa tradisi Islam di Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam.

Karakter Islam di Nusantara adalah proses perwujudan nilai-nilai Islam melalui (bentuk) budaya lokal. Dalam tataran praksisnya, membangun Islam Nusantara adalah menyusupkan nilai Islami di dalam budaya lokal atau mengambil nilai Islami untuk memperkaya budaya lokal atau menyaring budaya agar sesuai nilai Islam. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.

Melalui buku Masterpiece ini, Zainul Milal Bizawie menyusuri dengan plot mundur. Narasi dalam buku ini sengaja menggunakan plot terbalik membujur jejak-jejak waktu mundur agar kita dapat menyelami dengan baik, tidak terputus dan menemukan sejarah kita sendiri.  Hal ini agar tidak terjadi lompatan-lompatan waktu yang berakibat pada keterputusan sanad atau kesalahan memahami sejarah. Dalam jejaring ulama santri yang diungkap dalam buku ini, anti kolonialisme menjadi kegiatan politik yang terus diperjuangkan dan diwariskan dalam jejaring yang telah terbentuk. Anti kolonialisme hanyalah salah satu konteks dari perjuangan yang sesungguhnya, yaitu tafaqquh fiddin, menegakkan ajaran Islam, dan meneruskan perjuangan Rasulullah. Dalam konteks inilah, buku terbitan Pustaka Compass ini menjejaringkan narasi dan menarasikan sejarah jejaring ulama-santri.

Jejaring yang telah terbangun tersebut merupakan bagian dari masterpiece Islam di Nusantara. Para simpul jejaring tersebut juga telah menghasilkan karya-karya besar yang juga telah menjadi masterpiece Islam di Nusantara. Begitupun kemerdekaan RI dan tegaknya NKRI serta wajah Islam di Indonesia yang damai, toleran, terbuka dan moderat adalah bagian dari masterpiece Islam Nusantara yang saat ini dapat kita rasakan. Dan masterpiece tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari rahmat Allah bagi bangsa Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa ini adalah masterpiece Allah yang telah memfirmankan Islam rahmatan lil alamin.

Berpijak pada posisi Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, kita akan melihat begitu kokohnya dan berkelindannya jejaring yang telah dibangun. Jejaring tersebut berdimensi lintas ruang dan waktu, sanad dan nasab serta dalam kesamaan mendambakan suatu bangsa yang berdaulat. Jejaring yang dibangun tersebut selain memperkokoh simpul-simpul pesantren, dayah maupun meunasah yang telah terbangun, juga meluaskan jejaring lebih besar lagi yang disatukan dalam komunitas al Jawiyyun. Selain itu, sinergitas jejaring ulama Hadrami dan pribumi terbangun kembali dan mencoba belajar dari pengalaman sebelumnya yang terbawa permainan kolonial Belanda dalam melemahkan jihad. Habib Ali Kwitang menjadi titik masuk untuk melihat bagaimana ulama keturunan Hadrami terkonsolidasi dan terhubung dengan ulama-ulama pribumi serta menyelaraskan hubungan antara sanad tarekat, tahfidz dan fiqih. Disinilah, kesadaran kebangsaan makin terbangun bahwa perjuangan melawan kolonial Belanda harus bersatu dan memiliki resonansi yang menusantara.

Dalam konteks inilah, peran Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Sholeh Darat, Syekh Tolhah, Syekh Khollil Bangkalan, Syekh Mulabaruk, Syekh Mahfudz Tremas, Syekh Khatib Sambas, Syekh Nahrowi Al Banyumasi, Syekh Ismail Minangkabawi dan lain sebagainya menjadi jejaring utama yang menjadi titik pusat simpul di Nusantara pada abad ke-19. Kehadiran dan kiprah mereka sanggup mentransmisikan keilmuan sekaligus semangat kebangsaan bagi para santri yang belajar di Makkah dan kemudian mentransformasikan dalam kiprahnya di daerahnya masing-masing. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar