Rabu, 04 Mei 2016

Buya Syafii: Bejo, Perawat Lingkungan



Bejo, Perawat Lingkungan
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Hatinya putih bak kapas, sikapnya lurus, polos tanpa minta dikasihi. Dia sudah difabel sejak bayi, tetapi masih bisa berjalan tanpa tongkat dan lihai bersepeda. Entah berapa puluh halaman rumah warga di Nogotirto Elok 2 yang disapunya saban hari di samping membersihkan keliling masjid YAMP (Yayasan Amal-Bhakti Muslim Pancasila) kami yang makmur.

Bejo merawat lingkungan dari pukul 05.00 sampai pukul 09.00 pagi. Jika ada pekerjaan tambahan dari warga, dia bisa bekerja sampai siang, nyaris tanpa istirahat.

Dengan bangunan fisiknya yang kurang sempurna, Bejo bekerja dengan penuh disiplin. Sama sekali tidak perlu pengawasan. Beri dia tugas, akan ditandanginya sampai rampung, tanpa menanyakan berapa upahnya. Alangkah bahagianya hidup manusia serbasederhana ini, sebuah suasana yang belum tentu saya miliki.

Nama kecilnya Bejo Sudarsono. “Setelah bersuami [mestinya beristri] oleh Kiai Mlangi diberi nama baru Muhammad Nur Salim,” katanya suatu ketika baru-baru ini kepada saya. Setiap berjumpa saya langsung menyapanya “Jo,” langsung disahut, “Ya Pak, ya Pak.”

Dia paham bahasa Indonesia. Tidak ada kesulitan untuk berkomunikasi dengannya. Gerobak dan sepeda dengan dua keranjang adalah sahabat setianya untuk menopang kehidupan keluarganya.

Tugasnya bukan hanya sebatas menyapu, juga menggarap sawah. Daun-daun pepohonan pekarangan perumahan tidak disia-siakannya: diangkutnya dengan gerobak yang ditariknya sendiri untuk jadi rabuk padi. Kadang-kadang dedaunan itu dibawanya dengan dua keranjang belakang sepedanya.

Saya belum bertanya, apakah sawah yang digarapnya milik dia atau bukan. Juga, belum saya tanyakan tentang apa pekerjaan utamanya sebelum di kawasan ini berdiri perumahan warga pendatang.

Sekarang semakin banyak saja rakyat kecil yang menjual sawah miliknya sehingga jadilah dia sebagai buruh tani dengan menggarap sawah orang lain, bisa jadi bekas miliknya. Tragedi akuisisi lahan ini semakin masif di Jawa, tidak saja di kawasan perdesaan, juga di perkotaan. Wong cilik semakin tersingkir dalam suatu negara berdasarkan Pancasila dengan sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Penghasilannya per bulan sudah di atas UMR, belum pemberian tak terjadwal dari warga. Jika diberi, tidak pernah minta tambahan, sebagai simbol dari ketulusannya. Yang mengagumkan lagi, sahabat kita ini pernah pula turut berkurban seekor kambing pada Hari Raya Idul Qurban beberapa tahun yang lalu melalui cara arisan.

Putranya empat, dua sudah wafat, dan punya dua cucu. Tempat tinggalnya dalam lingkungan Dusun Kayengan, Pedukuhan Ponowaren, berjarak sangat dekat dengan perumahan kami.

Ketika ditanya berapa usianya, dijawab dia kelahiran tahun 1957 atau 1958. Jadi, sudah mendekati kepala enam. Keceriaannya tidak memudar, fisiknya tahan panas, kadang-kadang saat gerimis dia tidak beristirahat. Tetap saja ia tekun menunaikan tugasnya tanpa mengeluh. Pernah ia ditabrak honda, sampai beberapa bulan tidak bisa bekerja.

Sekarang kondisinya sudah pulih seperti sediakala. Bejo atau Nur Salim adalah di antara warga bangsa yang tidak mau menggantungkan nasibnya kepada orang lain. Dia bekerja, menyapu, kadang-kadang memangkas tanaman jika diminta warga.

Sebelum berkeluarga, Bejo pernah pula menyantri di Pondok Mlangi selama setahun, sebuah kawasan santri yang cukup dikenal di Yogyakarta, sekitar satu kilometer ke arah barat dari perumahan kami. Karena keburu menikah, pesantren terpaksa ditinggalkannya. Mlangi juga dikenal sebagai pusat industri pembuatan kok bulu tangkis.

Sebagai seorang yang pernah di pesantren, Bejo bisa membaca Alquran dan tentu mengerti dasar-dasar agama. Di mushala dekat rumahnya, perannya cukup penting. Sekali-sekali Bejo ikut salat berjamaah di Masjid Nogotirto dengan pakaian yang rapi, lengkap dengan sarung dan kopiah hitamnya yang lancip.

Jika Tuan dan Puan berkunjung ke perumahan Nogotirto Elok 2 di kala pagi, hampir dapat dipastikan akan berjumpa dengan sahabat kita yang baik hati ini: Bejo Sudarsono atau Muhammad Nur Salim. []

REPUBLIKA, 03 Mei 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar