Politik
Kerawanan Sosial
Oleh:
Yudi Latif
Bangsa
ini seakan hidup di sisir pantai, menghadap samudra krisis tak bertepi.
Gelombang datang, susul-menyusul, mendamparkan lapisan-lapisan masalah tak
berkesudahan. Ke mana pun berpaling, yang ditemukan wajah kerawanan.
Politik
berkembang secara teknik, tetapi mundur secara etik; demokrasi melahirkan
perluasan korupsi, kebebasan informasi membawa luberan sensasi dan pornografi.
Perekonomian berkembang tanpa moralitas; memberikan kekayaan tanpa kerja keras,
memperluas kesenjangan dan konsumerisme, kesenangan tanpa nurani. Pendidikan
berkembang tanpa karakter dan budi pekerti; melahirkan generasi robot penghafal
yang miskin hati, sains tanpa humanitas. Agama berkembang tanpa kedalaman
spiritual; melambungkan fanatisme keagamaan tanpa kepekaan etis dan estetis,
memperluas penganut tanpa kepedulian pada kekhusyukan perenungan, kehangatan
kasih-sayang, dan keteladanan akhlakul karimah.
Akar
tunjang dari semua kerawanan sosial itu adalah politik pembangunan yang terlalu
menekankan kemajuan fisik, mengabaikan kemajuan jiwa. Padahal, membangun badan
tanpa jiwa laksana membangun istana pasir yang mudah diempas gelombang. Usaha
”penyembuhan sosial” harus dilakukan dengan memahami secara sosiologis mengapa
krisis multidimensional itu terjadi.
Menurut
teori patologi sosial, penyebab pokok masalah sosial adalah kegagalan
sosialisasi norma-norma moralitas. Banyak individu melakukan pelanggaran
terhadap ekspektasi kepatutan moral. Penegak hukum melindungi penjahat, murid
membunuh guru, guru mencabuli murid, elite politik membela yang bayar. Erosi
moralitas ini disebabkan kegagalan proses belajar sosial akibat kerapuhan
sistem pendidikan dan pranata sosial. Sementara itu, institusi pendidikan dan
pranata masyarakat tak mampu mengantisipasi perkembangan. Dalam perspektif ini,
solusinya adalah penyempurnaan proses belajar sosial dan pendidikan moral.
Menurut
teori disorganisasi sosial, masalah sosial terjadi karena kemacetan sistem
peraturan. Hal itu disebabkan bubrahnya tradisi, konflik antarperaturan, serta
kealpaan dan kelemahan sistem hukum. Dalam pada itu, kelompok-kelompok dominan
terus mempertahankan status quo; sedangkan penegakan hukum lemah, tak memberikan
kepastian hukum. Dalam perspektif ini, solusinya adalah membangun kembali
keseimbangan sistem sosial dengan mereformasi sistem peraturan dan penegakan
hukum.
Menurut
teori konflik nilai, masalah sosial terjadi karena benturan nilai. Kompetisi
budaya dan ideologi serta tipe-tipe kontak antarkelompok dalam masyarakat
menyulut ketegangan sosial. Perebutan pengaruh antarpendukung liberalisme dan
fundamentalisme, antarpemeluk agama, antara nilai-nilai asing dan lokal
menimbulkan polarisasi sosial dan pengerasan identitas kelompok. Dalam
perspektif ini, solusinya adalah ketegasan otoritas terhadap aturan, peneguhan
loyalitas pada nilai dasar kewargaan, disertai upaya tawar-menawar
(bargaining), dan penyediaan mekanisme konsensus.
Menurut
teori penyimpangan perilaku, masalah sosial terjadi karena kegagalan institusi
keluarga (primary group) serta rusaknya keteladanan yang mendorong individu
memilih sosialisasi menyimpang. Konsentrasi perhatian orangtua pada hal-hal di
luar rumah, apresiasi berlebihan terhadap nilai-nilai lahiriah ketimbang
keharmonisan, serta rapuhnya keteladanan tokoh-tokoh masyarakat dan politik,
memalingkan anak lebih mengidolakan tokoh-tokoh fiksional atau anti sosial.
Solusinya adalah membangun kembali pranata keluarga, membatasi kontak anak
terhadap lingkungan pergaulan dan idola-idola menyimpang, seraya memulihkan
kredibilitas moral tokoh publik.
Menurut
teori sosial kritis, masalah sosial harus dipandang sebagai masalah endemik dan
bagian inheren dari masyarakat kapitalis. Sebab, pokok masalah sosial adalah
dominasi dan konflik kelas: kalangan berada terus-menerus mempertahankan dan
memperluas apa yang dimilikinya dengan pengorbanan mereka yang tak punya.
Konflik kelas dipicu oleh sistem dominasi sosial yang melanggengkan ketidakadilan.
Dalam perspektif ini, munculnya gejala fundamentalisme, terorisme, separatisme,
serta bentuk radikalisme lain tak bisa dilepaskan dari struktur-struktur
ketidakadilan. Solusi terhadap masalah sosial adalah penghancuran
struktur-struktur dominasi itu lewat berbagai bentuk perlawanan sosial.
Menurut
teori pemberian label (labeling) dan konstruksionis, masalah sosial pada
akhirnya harus dipandang dari reaksi dan definisi orang terhadap realitas
sosial. Banyak masalah sepele, tetapi karena dipersepsi dan diberi label yang
ampuh, jadilah problem sosial serius. Sebaliknya, banyak masalah serius karena
diberi label yang muluk tiba-tiba menjadi masalah yang wajar.
Mencuri
ayam diganjar keroyokan massa dan hukuman berat karena diberi label ”maling”.
Sebaliknya, pembobol keuangan negara triliunan rupiah dianggap lumrah, bahkan
dilihat kewajaran budaya karena cuma diberi label ”koruptor” yang terkesan
elitis.
Menurut
teori labeling, solusi terhadap masalah sosial bisa dilakukan dengan mengubah
definisi, mengganti label, atau mengeliminasi keuntungan politik dari
pelabelan. Sementara itu, menurut konstruksionisme, usaha penyelesaian masalah
sosial mengharuskan pelibatan diri dalam proses definisi situasi (claims-making
process). Perjuangan simbolis menjadi bagian penting dalam penanganan masalah
sosial. []
KOMPAS,
24 Mei 2016
Yudi Latif | Anggota Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar