Senin, 16 Mei 2016

Cak Nun: Si Brutal dan Si Pendamai



Si Brutal dan Si Pendamai
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Salah seorang saudaraku, sepulang dia dari merantau beberapa tahun di dalam dan luar negeri, perilakunya agak merepotkan kami sekeluarga. Baik benturan-benturannya dengan kami sekeluarga, juga dalam kaitannya pergaulan dengan para tetangga dan penduduk sekampung.

Kalau kuingat-ingat, problem saudaraku itu bukan berasal dari rumah kemudian di bawa keluar rumah. Melainkan bersumber dari keadaan kampung, lantas dibawa masuk ke rumah.

Saudaraku pertama cuma mengeluh soal-soal kepemimpinan desa, ketidak-adilan kepemerintahannya, kekacauan sosial dan budayanya, pembodohan dalam pendidikan, serta kelunturan akhlak masyarakatnya. Tahap berikutnya bukan hanya mengeluh sebatas di dalam keluarga. Ia juga protes, bahkan terkadang sampai tingkat melawan dan memberontak dalam susunan pengelolaan desa.

Hal itu membuat semacam pertentangan antara pemerintah dan masyarakat desa dengan keluarga kami. Saudara saya itu sering dengan geram mengatakan bahwa penduduk kampung ini ditimpa ketidakadilan dan kelaliman dalam waktu yang terlalu panjang tanpa pernah ada solusinya.

Tentu saja pemerintah desa dan tokoh-tokoh lainnya tidak melihat keadaan sebagaimana saudara saya simpulkan. Bagi mereka semua ini baik-baik saja. Tidak ada yang perlu diubah, tidak perlu ada perombakan di bidang apapun. Rakyatpun umumnya kalau diajak bicara soal perlunya perubahan, tersimpulkan bahwa perubahan yang mereka kehendaki sangatlah sederhana: bagaimana bisa ikut kaya dan sejahtera sebagaimana pemimpin-pemimpin mereka.

***

Kalau aku melihat saudaraku itu dari sisi keharusan kami sekeluarga untuk terlebih dulu menemukan kesalahan dan kekurangan kami sendiri, maka rasanya perkembangan sikap dan perilaku saudaraku itu semakin lama memang semakin tidak bisa kami tolong.

Di luar soal-soal ketidakadilan dan runtuhnya moral sosial itu, entah ia belajar apa, bergaul dengan siapa, dipengaruhi oleh aliran nilai apa, aku kurang mengerti. Ia berubah, sangat berubah, bahkan hampir terbalik dari yang aku kenal padanya dulu. Ibadahnya meningkat pesat, tapi perilakunya sungguh tidak kami pahami.

Sebenarnya saudaraku itu cerdas, tetapi mungkin karena semacam kegugupan sosial, ia punya kecenderungan untuk lebih memilih berpikir sempit dan dangkal di dalam memandang kehidupan. Ia pandai, tetapi mungkin karena rendah hati maka ia lebih sering memilih ketidak-pandaiannya di dalam bersikap dan berperilaku.

Ibarat perang, saudaraku itu hampir selalu salah merumuskan siapa musuhnya, atau pada wilayah apa sasaran pemberontakannya.

Sepak terjangnya sangat dipengaruhi, dan anehnya dipersempit, oleh rasa ke-beragama-an dan kebiasaan ibadahnya yang tekun dan khusyu. Mungkin karena itu Tuhan menjadi sangat primer di dalam kesadarannya, sehingga manusia dan semua yang selain Tuhan menjadi sekunder.

Tampak jelas ia sangat mencintai Tuhan, para Malaikat dan Nabi-Nabi serta Rasul-Rasul. Sampai sering tak tersisa cinta di hatinya untuk sesama manusia. Kepada Tuhan saudaraku itu sangat lembut, sedangkan kepada manusia yang tersisa adalah kekerasan dan kekasaran.

Di samping kecerdasan intelektual dan ketinggian spiritualnya, ia juga bermental tangguh. Penuh keberanian. Kadar keberaniannya sedemikian rupa sampai bisa mencapai tingkat kebrutalan. Tidak hanya kepada orang lain, para tetangga dan penduduk sekampung, tapi juga kepada kami keluarganya sendiri ia sangat berani, keras, kasar dan terkadang brutal.

Munculnya keberanian saudaraku itu sehari-hari berupa sikap marah-marah, mengutuk-ngutuk, bahkan dengan berteriak-teriak, selalu menyalah-nyalahkan tanpa bisa mendengarkan suara apapun selain suara dari dalam kemarahannya dirinya sendiri.

Ia menghabiskan, menumpahkan dan melampiaskan semua kemarahan, kebrutalan dan segala yang buruk-buruk dan menyakitkan itu kepada kami sekeluarga, kepada masyarakat sekampung terutama para penggedenya, bahkan seakan-akan kepada semua penghuni dunia.

Adapun yang tersisa padanya berupa kelembutan dan ketakutan, ia persembahkan kepada Tuhan.

***

Sering aku berkesimpulan bahwa saudaraku itu punya cinta dan benci. Cintanya kepada Tuhan, bencinya untuk kami semua. Andaikan aku ini paham Agama, tentu aku bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tapi jelas bahwa semua penduduk kampung, lebih dari aku sendiri, tahu bahwa aku tidak paham Agama.

Dan saya sungguh menyesal kenapa aku tidak pernah benar-benar belajar Agama. Sebab di dalam seluruh bangunan sikap saudaraku itu bercampur aduk tema kedhaliman sosial, ketidakadilan pemerintahan, ketuhanan dan ibadah. Meskipun terus terang terkadang berpikir sebaliknya: jangan-jangan kalau aku lebih mempelajari Agama dan lebih tekun beribadah, lantas aku menjadi seperti saudaraku ini?

Benar-benar aku kebingungan. Dulu ada salah satu saudara kami yang lain, yang cenderung punya kedekatan dengan saudaraku yang brutal ini. Tetapi beliau meninggal beberapa waktu yang lalu.

Beliau dijunjung orang sekampung sebagai tokoh perdamaian dan kebebasan, karena bukan sekedar beliau selalu akrab bergaul sangat dekat dengan semua tetangga dan penduduk di kampung. Tetapi juga beliaulah jembatan antara masyarakat dengan keluarga kami. Demikian kesimpulan masyarakat atas peranan beliau. Kalau saudaraku itu Si Brutal, saudara kami yang almarhum adalah Si Pendamai.

Akan tetapi terus terang di luar itu aku punya pandangan yang agak berbeda. Beliau almarhum ini sebenarnya justru kurang dekat dengan kami sekeluarga. Kalau sesekali beliau pulang, beliau selalu membuka pintu lebar-lebar kepada perilaku saudaraku itu. Beliau selalu memanjakannya, sehingga ia merasa benar dengan sikapnya. Sesungguhnya diam-diam aku tidak pernah benar-benar merasa aman dengan pola sikap saudara kami itu: di rumah ia selalu membela si brutal, tetapi di luar beliau suka ngobrol di rumah para tetangga atau di gardu-gardu menceritakan kelemahan dan kekurangan saudara brutal kami itu. Sering aku mengalami sendiri betapa mereka semua sampai tertawa terbahak-bahak memperbincangkan saudaraku.

Sebagaimana almarhum selalu memanjakan dan memaklumi perilaku saudara kami, beliau juga selalu membuka pintu lebar-lebar bagi segala kecenderungan masyarakat dan pemerintahan di kampung. Beliau disukai dan dipuji oleh saudaraku, beliau juga disenangi dan dijunjung oleh orang sekampung. Penempatan diri semacam itu sebenarnya hanya mengulur waktu dan memperparah keadaan. Tidak ada perbaikan pada saudaraku, tak ada pula di masyarakat dan pemerintahan. Tidak ada perubahan di dalam rumah kami, tak ada pula di dalam kehidupan penduduk dan pemerintahan kampung kami.

Yang ingin kubisikkan ke telingamu adalah kenyataanku hari ini. Bahwa aku tak bisa mengakselerasi pengambilan sikap almarhum Si Pendamai, malahan aku cemas jangan-jangan akan tergeser diriku ini ke kecenderungan Si Brutal. []

Dari CN kepada anak-cucu dan JM
3 Pebruari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar