Selasa, 31 Mei 2016

BamSoet: Mempertegas Arah Reformasi



Mempertegas Arah Reformasi
Oleh: Bambang Soesatyo

SETELAH 18 tahun reformasi Indonesia menjalani prosesnya, sebagian masyarakat masih memendam kecewa karena reformasi belum menyejahterakan. Proses reformasi pun terkesan kurang produktif, karena masih banyak yang belum terwujud. Kebebasan berserikat dan berbicara justru sering menghadirkan ekses yang meresahkan.

Dalam beberapa pekan terakhir, penegak hukum di sejumlah daerah merazia simbol-simbol berbau komunis. Pemutaran film yang membangkitkan semangat komunisme dibubarkan. Kaus bergambar palu arit, lambang Partai Komunis Indonesia (PKI), disita. Bukubuku tentang komunis atau gerakan kiri, pun ikut disita.

Itulah ekses kebebasan berbicara atau berekspresi. Mereka yang coba mengingatkan kembali tentang paham komunisme gagal paham bahwa bangsa Indonesia masih trauma oleh kekejaman PKI di masa lalu. Kalau sekarang ini ada segelintir orang memanfaatkan kebebasan berekspresi untuk menyosialisasikan lagi komunisme berikut atributnya, orang-orang itu tidak respek terhadap bagian terbesar rakyat Indonesia yang masih trauma itu. Karena itu, aktivitas penyebarluasan paham komunisme di Indonesia harus dihentikan.

Selain isu komunisme, maraknya kegiatan sejumlah kelompok masyarakat yang anti-NKRI dan Pancasila akhir-akhir ini sudah meresahkan masyarakat di berbagai daerah. Merespons kecenderungan, Polri pun harus memprioritaskan pembubaran organisasi masyarakat (ormas) radikal dan anti-Pancasila. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti bahkan memastikan pembubaran organisasi radikal dan anti-Pancasila sudah tertuang dalam Program quick wins yang dirancang Polri.

Nantinya, Polri akan memberikan rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) perihal ormasormas yang masuk dalam kriteria itu. Kemendagri pun sudah berkomunikasi dengan Kejagung, Polri, dan TNI untuk segera memutuskan dan mengumumkan pembubaran ormas yang menentang NKRI dan Pancasila.

Itulah dua contoh paling faktual tentang ekses dari salah tanggap sekelompok orang terhadap hakikat reformasi Indonesia. Ketika reformasi mulai berproses 18 tahun lalu, tujuannya sangat jelas. Di bidang politik mendorong demokratisasi; bidang ekonomi mewujudkan kesejahteraan rakyat; reformasi hukum bertujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat, dan reformasi sosial bertujuan mewujudkan integrasi bangsa.

Perbaikan Sistem

Tentang kebebasan berekspresi, mungkin pemerintah gagal kelola sehingga terjadi ekses di sana-sini. Gagal kelola itu terjadi karena keterlambatan atau keinginan memberi toleransi. Contoh kelambanan ketika menyikapi munculnya ormas yang anti-NKRI dan Pancasila. Masyarakat sudah menyuarakan kegelisahan, tetapi pemerintah di masa sebelumnya justru memberi ruang gerak.

Rupanya, belajar dari keterlambatan merespons itu, pemerintah dan penegak hukum bergerak cepat menanggapi muncul upaya-upaya menyebarkan kembali komunisme, sebagaimana tercermin dari program quick wins Polri itu.

Kecepatan menanggapi problem seperti itu sangat diperlukan generasi muda. Kalau sepak terjang ormas anti- Pancasila tidak dihentikan, dan upaya penyegaran komunisme dibiarkan, generasi muda Indonesia akan kehilangan roh kebangsaannya. Harus ada keprihatinan bersama menyikapi beberapa kasus yang menggambarkan sejumlah orang muda melecehkan lambang negara dan pahlawan.

Mengacu pada beberapa contoh kasus tadi, pemerintah, DPR dan MPR perlu mempertegas lagi arah reformasi. Penegasan arah reformasi harus dituangkan dalam sejumlah kebijakan politik dan undang-undang (UU) yang tidak bebas tafsir, tetapi tegas-lugas.

Kebijakan politik dan UU tentang arah reformasi itu harus bermuara pada semangat menjaga keutuhan NKRI dan memperkokoh fungsi dan peran Pancasila.

Untuk itu, pemerintah, DPR dan MPR harus berani menghidupkan kembali institusi semacam BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) serta program serupa P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila). Tak ada salahnya untuk menyadari bahwa mengeliminasi BP7 dan P4 adalah sebuah kesalahan. Dan, oleh karena BP7 dan P4 itu dirasakan betul urgensinya saat ini, tak perlu ragu untuk meng-copy paste keduanya.

Ekses lain yang cukup menonjol adalah kelemahan pada sistem perekrutan pemimpin publik, baik pada tingkat pusat maupun daerah, serta kelemahan dalam perekrutan anggota parlemen di pusat maupun daerah. Pada area ini, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih sangat menonjol. Pada beberapa daerah ditemukan adanya upaya membangun dinasti politik.

Begitu juga pada perekrutan anggota parlemen. Banyak orang dengan latar belakang tercela bisa terpilih menjadi wakil rakyat. Kalau kecenderungan ini tidak segera diakhiri, kualitas dan kredibilitas lembaga perwakilan rakyat akan tetap buruk di mata masyarakat. Reformasi seharusnya bisa menghadirkan lembaga perwakil yang kredibel serta bisa diandalkan rakyat.

Perbaikan sistem pemerintahan dari sebelumnya tersentralisasi di Jakarta dan kini didesentralisasikan hingga ke level desa harus diakui sebagai progres reformasi yang cukup signifikan. Tetapi, di banyak daerah, desentralisasi sering melahirkan persoalan baru karena ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM).

Ketidaksiapan SDM itu sering melahirkan ekses seperti korupsi atau mubazirnya pemanfaatan anggaran akibat lemahnya perencanaan. Dalam kondisi seperti itu, masyarakat setempat yang paling tersakiti, sehingga seringkali menilai reformasi sistem pemerintahan sekarang ini sebagai pepesan kosong.

Tujuan besar sebuah reformasi adalah perbaikan sistem, dan pada saat bersamaan mengurangi ketergantungan pada peran individu. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam perbaikan sistem. []

SUARA MERDEKA, 28 Mei 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, dan presidium nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar