Mempertegas
Arah Reformasi
Oleh:
Bambang Soesatyo
SETELAH
18 tahun reformasi Indonesia menjalani prosesnya, sebagian masyarakat masih
memendam kecewa karena reformasi belum menyejahterakan. Proses reformasi pun
terkesan kurang produktif, karena masih banyak yang belum terwujud. Kebebasan
berserikat dan berbicara justru sering menghadirkan ekses yang meresahkan.
Dalam
beberapa pekan terakhir, penegak hukum di sejumlah daerah merazia simbol-simbol
berbau komunis. Pemutaran film yang membangkitkan semangat komunisme
dibubarkan. Kaus bergambar palu arit, lambang Partai Komunis Indonesia (PKI),
disita. Bukubuku tentang komunis atau gerakan kiri, pun ikut disita.
Itulah
ekses kebebasan berbicara atau berekspresi. Mereka yang coba mengingatkan
kembali tentang paham komunisme gagal paham bahwa bangsa Indonesia masih trauma
oleh kekejaman PKI di masa lalu. Kalau sekarang ini ada segelintir orang
memanfaatkan kebebasan berekspresi untuk menyosialisasikan lagi komunisme
berikut atributnya, orang-orang itu tidak respek terhadap bagian terbesar
rakyat Indonesia yang masih trauma itu. Karena itu, aktivitas penyebarluasan
paham komunisme di Indonesia harus dihentikan.
Selain
isu komunisme, maraknya kegiatan sejumlah kelompok masyarakat yang anti-NKRI
dan Pancasila akhir-akhir ini sudah meresahkan masyarakat di berbagai daerah.
Merespons kecenderungan, Polri pun harus memprioritaskan pembubaran organisasi
masyarakat (ormas) radikal dan anti-Pancasila. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti
bahkan memastikan pembubaran organisasi radikal dan anti-Pancasila sudah
tertuang dalam Program quick wins yang dirancang Polri.
Nantinya,
Polri akan memberikan rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
perihal ormasormas yang masuk dalam kriteria itu. Kemendagri pun sudah
berkomunikasi dengan Kejagung, Polri, dan TNI untuk segera memutuskan dan
mengumumkan pembubaran ormas yang menentang NKRI dan Pancasila.
Itulah
dua contoh paling faktual tentang ekses dari salah tanggap sekelompok orang
terhadap hakikat reformasi Indonesia. Ketika reformasi mulai berproses 18 tahun
lalu, tujuannya sangat jelas. Di bidang politik mendorong demokratisasi; bidang
ekonomi mewujudkan kesejahteraan rakyat; reformasi hukum bertujuan mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat, dan reformasi sosial bertujuan mewujudkan
integrasi bangsa.
Perbaikan
Sistem
Tentang
kebebasan berekspresi, mungkin pemerintah gagal kelola sehingga terjadi ekses
di sana-sini. Gagal kelola itu terjadi karena keterlambatan atau keinginan
memberi toleransi. Contoh kelambanan ketika menyikapi munculnya ormas yang
anti-NKRI dan Pancasila. Masyarakat sudah menyuarakan kegelisahan, tetapi
pemerintah di masa sebelumnya justru memberi ruang gerak.
Rupanya,
belajar dari keterlambatan merespons itu, pemerintah dan penegak hukum bergerak
cepat menanggapi muncul upaya-upaya menyebarkan kembali komunisme, sebagaimana
tercermin dari program quick wins Polri itu.
Kecepatan
menanggapi problem seperti itu sangat diperlukan generasi muda. Kalau sepak
terjang ormas anti- Pancasila tidak dihentikan, dan upaya penyegaran komunisme
dibiarkan, generasi muda Indonesia akan kehilangan roh kebangsaannya. Harus ada
keprihatinan bersama menyikapi beberapa kasus yang menggambarkan sejumlah orang
muda melecehkan lambang negara dan pahlawan.
Mengacu
pada beberapa contoh kasus tadi, pemerintah, DPR dan MPR perlu mempertegas lagi
arah reformasi. Penegasan arah reformasi harus dituangkan dalam sejumlah
kebijakan politik dan undang-undang (UU) yang tidak bebas tafsir, tetapi
tegas-lugas.
Kebijakan
politik dan UU tentang arah reformasi itu harus bermuara pada semangat menjaga
keutuhan NKRI dan memperkokoh fungsi dan peran Pancasila.
Untuk
itu, pemerintah, DPR dan MPR harus berani menghidupkan kembali institusi
semacam BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) serta program serupa P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan
Pancasila). Tak ada salahnya untuk menyadari bahwa mengeliminasi BP7 dan P4
adalah sebuah kesalahan. Dan, oleh karena BP7 dan P4 itu dirasakan betul
urgensinya saat ini, tak perlu ragu untuk meng-copy paste keduanya.
Ekses
lain yang cukup menonjol adalah kelemahan pada sistem perekrutan pemimpin
publik, baik pada tingkat pusat maupun daerah, serta kelemahan dalam perekrutan
anggota parlemen di pusat maupun daerah. Pada area ini, praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) masih sangat menonjol. Pada beberapa daerah ditemukan adanya
upaya membangun dinasti politik.
Begitu
juga pada perekrutan anggota parlemen. Banyak orang dengan latar belakang
tercela bisa terpilih menjadi wakil rakyat. Kalau kecenderungan ini tidak
segera diakhiri, kualitas dan kredibilitas lembaga perwakilan rakyat akan tetap
buruk di mata masyarakat. Reformasi seharusnya bisa menghadirkan lembaga
perwakil yang kredibel serta bisa diandalkan rakyat.
Perbaikan
sistem pemerintahan dari sebelumnya tersentralisasi di Jakarta dan kini
didesentralisasikan hingga ke level desa harus diakui sebagai progres reformasi
yang cukup signifikan. Tetapi, di banyak daerah, desentralisasi sering
melahirkan persoalan baru karena ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM).
Ketidaksiapan
SDM itu sering melahirkan ekses seperti korupsi atau mubazirnya pemanfaatan
anggaran akibat lemahnya perencanaan. Dalam kondisi seperti itu, masyarakat
setempat yang paling tersakiti, sehingga seringkali menilai reformasi sistem
pemerintahan sekarang ini sebagai pepesan kosong.
Tujuan
besar sebuah reformasi adalah perbaikan sistem, dan pada saat bersamaan
mengurangi ketergantungan pada peran individu. Masih banyak pekerjaan yang
harus diselesaikan dalam perbaikan sistem. []
SUARA
MERDEKA, 28 Mei 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, dan presidium nasional
KAHMI 2012-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar