KH Masykur: Komandan
Sabilillah dari Bumi Arema
Periode perjuangan
yang menjadi bagian penting dalam narasi kemerdekaan Indonesia, adalah
peristiwa Surabaya, November 1945. Perjuangan untuk mengawal kemerdekan ini,
menjadi catatan penting dalam sejarah bangsa, yang kemudian diabadikan sebagai
Hari Pahlawan Nasional. Akan tetapi, dalam narasi besar sejarah perjuangan
bangsa, peran para kiai dan santri yang ikut berjuang mengomando perjuangan
hanya sayup-sayup terdengar. Bagaimana kisahnya?
Pada kurun revolusi,
salah satu nama penting dalam perjuangan kebangsaan yang perlu dicatat adalah
Kiai Masykur. Bersama para kiai lain, Kiai Masykur menjadi komando laskar kiai,
yakni Laskar Sabilillah. Dalam catatan militer dan perjuangan bangsa, Laskar Sabilillah
dan Laskar Hizbullah memiliki sumbangsih besar untuk mengawal kemerdekan
Indonesia.
Siapakah Kiai
Masykur, pemimpin Laskar Sabilillah? Bagaimana sumbangsih dan pengabdiannya
untuk perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia?
Kiai Masykur lahir di
Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1902. Pada usia sembilan tahun,
Masykur kecil diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Sekembali dari Makkah-Madinah, ia disekolahkan di Pondok Pesantren Bungkuk,
pimpinan KH. Thahir. Kemudian, ia melanjutkan nyantri di Pesantren Sono,
Buduran, Sidoarjo. Di pesantren ini, Masykur kecil mempelajari ilmu nahwu
sharaf. Selang empat tahun kemudian, ia mengaji di pesantren Siwalan, Panji,
Sidoarjo untuk mendalami ilmu fiqh.
Setelah berpetualang
di beberapa pesantren, Masykur muda kemudian mendekat ke Hadratus Syaikh Hasyim
Asy'ari (1875-1947). Di pesantren Tebu Ireng, Jombang, ia belajar ilmu tafsir
dan hadits. Setelah merampungkan mengaji di Tebu Ireng, Kiai Masykur kemudian
melanjutkan tabarrukan ke pesantren Bangkalan, Madura, untuk mengaji Qiraat
al-Qur'an kepada Syaichona Cholil.
Minat belajar Kiai
Masykur tidak berhenti di tanah Madura. Setelah suntuk belajar di bawah asuhan
Syaichona Cholil, Kiai Masykur kemudian meneruskan mengaji di pesantren
Jamsaren Solo, Jawa Tengah. Selepas merampungkan mengaji di Jamsaren,
Kiai Masykur kemudian memantabkan kaki untuk mengabdi di tanah kelahirannya, di
Singosari Malang. Di Singosari, Kiai Masykuri mendirikan madrasah bernama
Mishbahul Wathan atau Pelita Tanah Air.
Kiai Masykur menikah
pada 1923, dengan cucu KH. Tahir, gurunya di pesantren Bungkuk, Malang. Di usia
16 tahun pernikahan mereka, sang istri meninggal dan belum dikaruniai
keturunan. Atas saran Kiai Khalil Genteng, Kiai Masykur kemudian menikahi adik
istrinya, bernama Fatimah. Sejak saat itulah, pasangan dari keluarga pesantren
inilah, kemudian bersama-sama mengabdi dan berjuang untuk syiar Islam.
Berorganisasi,
Mengabdi pada Kiai
Karir organisasi Kiai
Masykur dimulai sejak ia menetap di Singosari Malang. Meski, selama mengaji di
pesantren bakat organisasinya sudah terasah, namun kepemimpinan dan
pengabdiannya pada masyarakat dan agama tersemai ketika menggerakkan pendidikan
di Singosari Malang. Kiai Masykur juga menjadi Ketua Nahdlatul Ulama Cabang
Malang.
Kiai Masykur juga
merupakan salah satu tokoh penting dalam jaringan paramiliter santri. Ia
mengomando Laskar Sabilillah, yang merupakan titik jaringan pejuang pesantren
dari level kiai dan pengasuh pesantren. Laskar Sabilillah, berkoordinasi dengan
Laskar Hibzullah pimpinan Kiai Zainul Arifin (1909-1963) untuk berjuang
menjemput kemerdekaan. Dalam catatan sejarah pesantren, peran Laskar Sabilillah
dan Hizbullah sangat besar untuk menggerakkan semangat perjuangan kebangsaan.
Ketika meletus perlawanan Arek Suroboyo pada November 1945, perjuangan Laskar
Sabilillah dan Hizbullah mengobarkan semangat kaum santri. Terlebih, setelah
Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Kepemimpinan Kiai
Masykur dalam menggerakkan Laskar Sabilillah menjadi catatan penting. Beliau
juga dikenal dekat dengan kiai-kiai yang mendirikan Nahdlatul Ulama, semisal
Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Chasbullah,
Kiai Wahid Hasyim dan beberapa kiai pesantren di penjuru Jawa. Kiai Masykur
juga dekat Panglima Sudirman, ketika bersama-sama menggerakkan pemuda untuk
berjuang pada periode revolusi kemerdekaan.
Laskar Sabilillah,
Berjuang untuk Merdeka
Meski Indonesia telah
merdeka pada 17 Agustus 1945, akan tetapi pemerintah Hindia Belanda tidak rela
bahwa negara Indonesia menyatakan kemerdekaan. Pada 15 September 1945, tentara
Inggris mendarat di Jakarta, kemudian disusul tentara berikutnya mendarat di
Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentu, situasi ini sangat mencekam, karena
intimidasi, propaganda dan trik militer yang dilancarkan oleh tentara sekutu
dilancarkan secara periodik. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung
dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), yang bertugas melucuti senjata
tentara Jepang.
Akan tetapi, misi
tentara Sekutu dalam AFNEI, ditunggangi kepentingan NICA (Netherlands Indies
Civil Administration). Tentara NICA bertujuan untuk mengembalikan Indonesia
kepada administrasi pemerintahan Belanda, sebagai jajahan Hindia Belanda. Tentu
saja, hal ini mengobarkan kemarahan penduduk Indonesia, terutama mereka yang
berdiam di kawasan Jawa Timur. Para kiai pesantren yang selama ini berjuang
untuk kemerdekaan, merapatkan barisan. Di antaranya, KH. Wahid Hasyim
(1914-1953), Kiai Wahab Chasbullah (1888-1971), Kiai Mas Mansyur, Bung Tomo
(1920-1981) serta pejuang nasiolis Roeslan Abdul Ghani (1914-2005), dan Dul
Arnowo, seorang arek Suroboyo. Laskar Sabilillah di bawah komando Kiai Masykur
segera merapatkan barisan, juga laskar Hizbullah pimpinan Kiai Zainul Arifin.
Kiai Wahab Chasbullah mengonsolidasi barisan pemuda santri dalam Laskar
Mujahidin (Bizawie, 2014).
Ketika menjelang
pertemupuran 10 November 1945, barisan laskar dari Malang bergerak cepat menuju
Surabaya. Pasukan dari Malang, terutama TKR Resimen 38 Kompi Sochifuddin dan
Kompi III dengan kapten M. Bakri, bergerak bersama-sama penduduk yang berjuang
dengan api semangat menyala. Laskar Hizbullah berangkat ke medan perang, di
bawah komando KH. Nawawi Thohir dan Abbas Sato dengan jumlah 168 pasukan.
Laskar Sabilillah dari Malang juga mengonsolidasi barisan. Para Kiai ikut
berjuang di bawah pimpinan Panglima Divisi Untung Suropati, Jenderal Imam
Soedjai (Dimyati, 2014: 50-52).
Pada pertempuran
Surabaya, strategi militer digunakan oleh para komando laskar. Pertempuran
terbagi dalam beberapa sektor. Daerah pertahanan Laskar Sabilillah berada di
sektor tengah garis kedua, yang berada di depan Stasiun Gubeng dan Jalan
Pemuda. Kawasan ini, dipertahankan oleh Laskar Sabilillah bersama Laskar
Hizbullah dan TKR Malang.
Di tengah deru
pertempuran di Surabaya, KH. Masykur dengan gigih mengomando barisan Laskar
Hizbullah. Para laskar yang ikut berjuang pada perang Surabaya, bertekad bulat dengan
niat: isy kariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid). Api semangat
para santri dan laskar-laskar pemuda inilah, yang kemudian membakar perjuangan
rakyat di Surabaya hingga kemudian—atas izin Allah—berhasil mengalahkan tentara
sekutu yang ingin merampas kemerdekaan negeri. Di panggung perjuangan rakyat
inilah, Kiai Masykur mencatatkan pengabdiannya bersama para kiai-santri lainnya
untuk mengawal kemerdekaan negeri.
Ketika Indonesia
merdeka, Kiai Masykur termasuk salah satu dari sekian kader santri yang ikut
membantu perjuangan di pemerintahan. Pada November 1947, Kiai diberi amanah
oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Agama, pada akhir masa Kabinet
Amir Syarifuddin ke-2. Pada Kabinet Hatta II, Kiai Masykur juga terpilih
sebagai Menteri Agama. Pada 1949, ketika terbentuk Kabinet Peralihan, Kiai
Masykur juga mendapat amanah sebagai Menteri Agama. Latar belakang pesantren,
pejuang kemerdekaan, afiliasi Nahdlatul Ulama, serta kedekatan komunikasinya
dengan beberapa pendiri bangsa dan kiai pesantren, menjadikan Kiai Masykur
sangat layak berada di jajaran tertinggi dalam komando kebijakan negara tentang
agama. Kemudian, pada Kabinet Ali Wongso Arifin, Kiai Masykur juga mengemban
amanah sebagai Menteri Agama. Jelaslah, bahwa Kiai Masykur sangat legendaris
sebagai Menteri Agama, yang menjabat selama empat kali periode kabinet.
Ketika menjadi
Menteri Agama, salah satu prestasi penting yang menjadi catatan sejarah adalah
prakarsanya atas Konferensi Ulama yang diadakan di Cipanas, Jawa Barat, pada
1954. Pada waktu, para kiai menetapkan Soekarno dengan gelar: "Waliyyul
amri dlaluri bis-syaukah (pemegang pemerintah dalam keadaan darurat dengan
kekuasaan penuh). Pada waktu itu, negara sedang dalam keadaan genting, karena
terjadi perdebatan sengit dan pergolakan yang disulut oleh gerakan DI/TII
pimpinan Kartosoewirjo. Para kiai dan ulama yang tergabung dalam barisan
Nahdlatul Ulama, mendukung Soekarno—meski dengan status pemimpin darurat—agar
kepemimpinan negara tidak oleng.
Pada tahun 1952, Kiai
Masykur juga terpilih sebagai Ketua Dewan Presidium Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama. Ia kemudian ditetapkan sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama.
Dalam menggerakkan organisasi PBNU, Kiai Masykur juga menjadi salah satu tokoh
pengawal lahirnya Sarbumusi (Serikat Buruh Muslimin Indonesia). Bahkan,
di bawah komando Kiai Masykur, Sarbumusi melakukan lawatan ke Uni Sovyet untuk
kunjungan organisasi sekaligus melihat perkembangan Islam di negeri tersebut.
Kiai Masykur juga
pernah menjadi anggota Syou Sangkai (DPRD), ketika masa pendudukan Jepang. Ia
juga terpilih sebagai anggota PPKI dan Konstituante, yang berjasa penting untuk
merumuskan dasar negara, bersama tokoh-tokoh pejuang lainnya. Pada 1978-1983,
Kiai Masykur ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPR RI.
Perjalanan panjangnya
dalam berjuang untuk kemerdekaan dan pengabdiannya pada negara menjadi teladan
bagi lintas generasi. Di usia senjanya, Kiai Masykur menjadi penggagas
sekaligus pendiri Universitas Islam Malang (Unisma). Kiai Masykur menghembuskan
nafas terakhirnya pada 19 Desember 1992.
Referensi:
-
MA Dimyati. KH. Masjkur dalam
Laskar Sabilillah (1945-1949). Thesis UIN Surabaya. 2014.
-
Subagiyo Ilham Notodijoyo. KH.
Masjkur: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung. 1982.
-
Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama
RI: Biografi Sosial Politik. Jakarta: Balitbang Kementrian Agama. 1998.
-
Zainul Milal Bizawie. Laskar
Ulama-Santri & Resolusi JIhad. Jakarta: Pustaka Compass. 2014.
[]
Munawir Aziz,
Dosen dan Peneliti, Wakil Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr PBNU. Saat ini,
sedang merampungkan buku "Pahlawan Santri". Email: moena.aziz@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar