Senin, 02 Mei 2016

Gus Sholah: Pancasila, Antara Cita dan Fakta (Habis)



Pancasila, Antara Cita dan Fakta (Habis)
Oleh: Salahuddin Wahid

Pada saat Pak Harto memilih calon wakil presiden, tidak ada musyawarah Pak Harto dengan pimpinan MPR dan kelompok utusan daerah. Calon wapres adalah sepenuhnya pilihan Pak Harto.

Demokrasi yang kita jalankan saat ini, apa pun namanya, lebih ditentukan oleh kekuatan dana. Mulai dari memilih ketua umum partai, memengaruhi pemilih untuk memilih caleg, membeli suara di KPUD. Sistem calon dengan suara terbesar yang terpilih, tidak ada unsur musyawarahnya dibanding sistem nomor urut.

Bahkan, sistem seperti itu memunculkan unsur persaingan antarcalon dalam satu partai. Banyak calon anggota DPR yang tidak terpilih mengeluhkan suara mereka dibeli oleh calon satu partai di KPU dan panitia di tingkat lebih rendah.

Di tengah besarnya jumlah kepala daerah yang harus masuk penjara karena korupsi, kita juga harus melihat dampak positif dari sistem pemilihan langsung, yaitu munculnya sejumlah (kecil) kepala daerah yang punya integritas, karakter kuat, visi ke depan yang baik, kemampuan manajerial yang baik. Bisa kita sebut sejumlah nama, antara lain, Jokowi, Ahok, Tri Risma, Abdullah Azwar Anas, Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, dll.

Masa depan Pancasila

Pada akhir 1970-an pemerintah sesuai Tap MPR No II/MPR/1978 mulai menggelar kegiatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Telah berhasil disusun 36 butir pengamalan Pancasila yang lalu berkembang menjadi 45 buah.

Setelah 20 tahun dijalakannya P4, masyarakat tidak melihat ada perbaikan berarti dari keberadaan P4 dan produknya. Masyarakat mulai sinis dan banyak yang ingin program P4 disetop. Pada 1998 MPR mengeluarkan TAP No XVIII/1978 tentang Pemberhentian Program P4.

Pascaera Orde Baru, tidak banyak lagi orang bicara Pancasila. Bahkan, pidato kenegaraan pun tak banyak menyebut Pancasila. Banyak pihak meratapi nasib Pancasila yang terabaikan. Peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila dilakukan di MPR saat Taufik Kiemas menjadi ketua MPR dengan menghadirkan presiden/wapres dan para mantan.

Taufik Kiemas pun memelopori sosialisasi empat pilar bangsa: NKRI, UUD 45, Pancasila, dan Bhinneka Tungggal Ika. Yang menarik, banyak pihak mendukung program itu, tapi mempersoalkan judul empat pilar. MK akhirnya membatalkan istilah empat pilar, tetapi sampai hari ini istilah itu tetap dipakai secara resmi.

Saya sendiri bertanya, apakah sosialisasi empat pilar bangsa itu sudah betul materinya? Kalau tidak banyak berbeda dengan P4, tak akan banyak manfaatnya. Selain itu, siapa yang perlu menjadi sasaran dari sosialisasi itu. Mestinya, juga dilakukan para pejabat tinggi, termasuk presiden, para menteri, gubernur, bupati, anggota DPR/DPRD, bukan hanya masyarakat.

Tujuannya, untuk mencegah kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila Keadilan Sosial. Menurut Joseph Stiglitz dalam buku The Price of Inequality (2005), ketimpangan dalam aset dan pendapatan lebih sering terjadi sebagai akibat keputusan politik ketimbang konsekuensi dari bekerjanya kekuatan pasar (makroekonomi).

MPR juga mengadakan ceramah tentang Pancasila kepada pejabat kedubes luar negeri di Jakarta. Saya tidak tahu apa tujuan kegiatan ini. Kalau pejabat negara maju mendengar ceramah dan lalu memahami Pancasila, tentu mereka akan berkata, Pancasila baik dan kapan RI akan mulai menjalankannya di dalam kehidupan negara? Mereka tentu melihat ada banyak kontradiksi antara nilai Pancasila dan kebijakan negara.

Yudi Latif menulis sejumlah buku amat bagus tentang Pancasila, yaitu Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas; Mata Air Keteladanan Para Pemimpin Kita Masa Lalu; dan Revolusi Pancasila. Kesimpulan saya, Pancasila masih aktual dan kita perlu menyebarluaskan kebajikan berlandaskan Pancasila.

Sebanyak 45 butir pengamalan hasil program P4 perlu dikaji, lalu hasilnya disebarluaskan. Kita juga perlu membuat kajian kebijakan pemerintah atau UU yang layak dianggap tak sejalan dengan Pancasila.

Terlihat bahwa Pancasila hanya ada dalam ucapan dan janji pejabat dan pemimpin, tidak banyak dilihat dalam kehidupan nyata. Kalau mau jujur, nilai-nilai Pancasila lebih banyak tertulis di makalah dibandingkan program pemerintah. Tidak heran bila Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyatakan, negara RI berdasar Pancasila telah gagal memenuhi tujuan proklamasi untuk menyejahterakan rakyat.

Padahal, tidak ada yang salah dengan Pancasila. Namun, sekian banyak Presiden tidak mampu merealisasikannya dalam program untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.

Kalau kegagalan P4 bisa dipelajari untuk kita perbaiki maka di masa depan kita bisa memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan hak rakyat yang dijamin pemerintah secara bertahap. Kalau itu terjadi, akan makin banyak yang yakin bahwa Pancasila adalah dasar negara yang tepat untuk RI, bukan yang lain termasuk Islam.

Dan, rakyat sudah menunggu amat lama, tidak mungkin lagi kita menjanjikan pemenuhan harapan sebagian besar rakyat itu sampai 2045. Kalau kondisi seperti sekarang yang terjadi, Pancasila akan dilupakan pemimpin dan rakyat, hanya akan menjadi semacam mantra. Kalau masa depan Pancasila suram, masa depan kita juga tidak cerah.

Tentu, akan muncul pertanyaan, bagaimana mungkin pemerintah bisa membiayai pemenuhan hak-hak rakyat seperti diuraikan di atas? Tentu, dengan meningkatkan kemampuan daya saing dan produktivitas rakyat.

Singapura yang luasnya hanya sebesar Jakarta dengan penduduk separuh Jakarta bisa menghasilkan PDB hampir 300 miliar dolar dan Indonesia yang luasnya hampir 300 kali dan penduduknya hampir 50 kali hanya mempunyai PDB sekitar tiga kali Singapura.

Kita punya begitu banyak anak bangsa yang pandai beragam keahlian, tapi belum mampu dimanfaatkan untuk mengkaji mengapa alam yang seluas dan sesubur Indonesia tak mampu menyejahterakan rakyat Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa ada produk sumber daya alam yang kita ekspor mula-mula ke Singapura dengan harga rendah, setelah itu perusahaan pembeli di Singapura (yang juga satu grup dengan pengekspor di Indonesia) menjualnya ke perusahaan pembeli sebenarnya dengan harga jauh lebih tinggi. Di sini, potensi pajak banyak hilang.

Dokumen Panama memberi indikasi banyak orang atau perusahaan Indonesia menghindar dari pembayaran pajak secara benar. Diperkirakan, ada Rp 11 ribu triliun dana perusahaan/orang Indonesia yang beredar di luar negeri, hampir tiga kali jumlah uang beredar di Indonesia. Jumlah uang beredar di Indonesia hampir sama dengan jumlah uang beredar di Malaysia.

Kalau PDB kita sudah meningkat maka rasio pajak harus kita tingkatkan. Bayangkan, Belanda yang seluas Jawa Timur dan penduduk 1/15 kita mampu menghasilkan PDB hampir sama dengan kita dan ternyata mampu mencapai revenue (pendapatan) negara hampir tiga kali pendapatan RI.

Kalau kita tidak mampu meningkatkan pajak dan pendapatan negara bukan pajak secara berarti, insya Allah, kita akan betul-betul terjebak dalam midlle income trap. Kita hanya akan meningkat perlahan dan belum tentu pada 2045 mampu melaksanakan cita-cita proklamasi. []

REPUBLIKA, 27 April 2016
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar