Meneladani Spirit
Spiritual Gus Dur
Penulis
: Dr. Abdul Wahid Hasan
Penerbit
: Diva Press
Tebal
: 252 Halaman
Cetakan
: I, Agustus 2015
ISBN
: 978-602-255-956-6
Peresensi
: Moh. Tamimi, Mahasiswa Instika Guluk-guluk Sumenep, Madura, Jawa Timur,
Indonesia
Bicara masalah Gus
Dur, tentu tidak asing di telinga kita. Banyak media cetak maupun online yang
memuat tentang Gus Dur. Mulai Gus Dur sebagai politisi ulung sampai guru
spiritual yang berpengaruh. Namun demikian, dalam buku ini disajikan sesuatu
yang khas mengenai Gus Dur. Tidak hanya sebatas kelihaian dalam menghadapi
masalah, melainkan Gus Dur sebagai guru spiritual. Walaupun, pada bab terakhir,
pembahasan mengenai "Postwacana; Mengecap Pendidikan Spiritual Gus
Dur" kurang dibahas secara mendalam. Hanya bagian besarnya saja, sekitar
dua sampai tiga alinea. Barangkali hal inilah yang menjadi kekurangsempurnaan
buku ini atau kelebihan buku ini karena pembaca langsung dapat menemukan titik
temu pendidikan spiritual Gus Dur.
Dalam buku ini,
dijelaskan kelihaian Gus Dur dalam mengatasi berbagai masalah dalam rangka
memberikan pendidikan terhadap rakyat Indonesia. Ketika banyak orang menghujat
Gus Dur karena membela Inul Daratista, Ahmad Dhani, kaum minoritas Kong Hu Chu
dan lain sebagainya, Gus Dur tampil sebagai pembela. Walaupun hujatan sana-sini
mengenai tindakan Gus Dur yang nyleneh ini.Tetapi, dalam kenylenahan Gus Dur
yang telah berlalu itu, justru menjadi pembelajaran berarti bagi kita semua
yang tak ternilai harganya. Dalam pembelaan Gus Dur terhadap kaum minoritas,
Gus Dur mengatakan, "Perasaan keagamaan seorang pelacur belum tentu kalah
dengan seorang yang bersembahyang di masjid. Sebab, intensitas pengalaman
beragama itu ada dua ekspresinya. Ada ekspresi implisit, ada ekspresi
eksplisit. Yang implisit lebih ke dalam, sedangkan yang eksplisit mengikuti
ajaran agama secara tuntas. Dua-duanya ini menurut saya punya hak yang sama
untuk diekspresikan dan sama-sama Islam." (hlm. 213-214)
Tampaknya, Gus Dur
memang benar-benar memikirkan kesejahteraan dan ketentraman rakyat secara
tuntas, bukan sekedar mementingkan diri sendiri. Mungkin inilah bentuk mahabbah
Gus Dur. Biasanya, banyak tokoh-tokoh sufi jika sudah sampai kepada maqom
tertinggi cenderung tidak kembali menjadi manusia, mereka hanyut dalam
instrumen ketuhanan masing-masing. Tapi, tidak dengan Gus Dur. Meskipun beliau
adalah kiai besar dan ada kalangan menganggapnya wali, Gus Dur tetap menjadi
manusia. Maksudnya, ia tetap bertindak humanis. Sebagaimana pendapat Prof Dr H
Abd. A'la, MA. Dalam pengantar buku ini, "Tuhan tidak turun langsung
mengurus manusia, tapi diperlukan wakil Allah.” (hlm. 12) Dikatakan pula bahwa
Gus Dur memilih pahala yang lebih besar dari sekedar wiridan di masjid, dengan
cara menyebarkan kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Sehingga, kerap kali
beliau diminta oleh luar negeri untuk melakukan perdamaian.
Begitu banyak
khazanah spiritual Gus Dur untuk kemudian kita teladani dan diterapkan dalam
kehidupan demi terciptanya kehidupan yang memanusiakan manusia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar