Tunisia,
Indonesia, dan Demokrasi
Oleh:
Azyumardi Azra
Tunisia
dan Indonesia memiliki sejumlah kesamaan sekaligus perbedaan. Keduanya
merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim; dan kedua negara juga
sama-sama mengalami transisi dari otoritarianisme menjadi demokrasi.
Namun,
juga segera jelas, transisi Indonesia berjalan relatif lebih damai dan lebih
damai. Sementara itu, Tunisia masih terus bergulat dengan transisi yang sulit
secara politik dan ekonomi sejak 2011.
Kemunculan
gelombang demokrasi di negara-negara Muslim, khususnya sejak Indonesia
mengalaminya pada 1998, masih menjadi salah satu subjek pokok dan penting di
kalangan para ahli, baik di dunia Muslim sendiri maupun di Barat. Pergolakan
politik yang terus berlanjut di banyak negara Muslim di Timur Tengah dan Asia
Selatan membuat kajian dan pembahasan tentang berbagai faktor yang dapat
mendorong atau sebaliknya menghalangi pertumbuhan demokrasi di dunia Muslim
kembali membuat para ahli memberikan perhatian khusus.
Indonesia
dan Tunisia sejauh ini merupakan pengecualian di tengah gejala umum di banyak
negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang tidak menunjukkan tanda
meyakinkan bagi terkonsolidasinya demokrasi. Banyak negara di dunia Muslim
sejak dari Libya, Mesir, Yaman, Suriah, Irak, Afghanistan, atau Pakistan masih
terus dilanda konflik politik dan kekerasan.
Secara
komparatif, Indonesia berada paling depan dalam pertumbuhan demokrasi di antara
negara-negara lain di dunia Muslim. Sedangkan, Tunisia walaupun menghadapi
banyak masalah dalam konsolidasi politik dan ekonomi dalam konsolidasi
demokrasinya, tetap dipandang banyak ahli sebagai satu-satunya harapan di dunia
Arab.
Perspektif
komparatif tentang transisi kedua negara menjadi demokrasi menjadi pembahasan
konferensi tentang Islam dan demokrasi yang diselenggarakan Institut Tunisien
de Etudes Strategiques (ITES) di Tunis, medio April lalu (14/4). ITES yang
merupakan lembaga think tank negara, menghadirkan penulis “Resonansi” ini
sebagai pembicara tunggal dengan audiens yang mencakup para pemikir dari kampus,
tokoh LSM, dan pimpinan partai politik.
Menyampaikan
presentasi yang sudah lazim tentang pengalaman Indonesia dengan demokrasi,
seorang tokoh partai politik yang menyampaikan tanggapannya berpendapat,
Indonesia memang dapat dikatakan sebagai model bagi demokrasi yang dapat
berjalan seiring dengan Islam. “Tetapi, pengalaman Indonesia dalam demokrasi
belum tentu dapat diterapkan di Tunisia atau dunia Arab secara keseluruhan.
Bagaimana caranya?”
Naguib,
seorang audiens lain menyatakan, Indonesia memang berhasil dalam mengikuti
sistem politik demokrasi. Namun, pada saat yang sama, kekuatan politik Islam
menjadi terpecah belah, seperti juga di Tunisia.
Pertanyaan
lain dari seorang dosen perempuan, “Dibandingkan dengan Indonesia, Tunisia
lebih homogen. Hanya belakangan ini saja, masyarakat Tunisia menemukan
heterogenitasnya. Apa yang bisa kami pelajari dari Indonesia dalam rangka
mempertahankan kesatuan?”
Menjawab
komentar dan pertanyaan itu, penulis “Resonansi” ini menyatakan, Indonesia
jelas mengadopsi berbagi prinsip universal demokrasi terkait sistem, lembaga,
dan proses politik. Namun, dalam batas tertentu memiliki distingsinya sendiri.
Distingsi itu terkait banyak dengan realitas agama, masyarakat, dan
sosial-budaya yang ada.
Karena
itulah, dalam konsolidasi demokrasi, perlu kontekstualisasi dan indigenisasi
demokrasi. Dengan begitu, demokrasi menjadi kontekstual dan relevan dengan
masyarakat negara tertentu. Jika tidak, demokrasi dianggap sebagai sesuatu yang
asing, yang diimpor dari Barat, sehingga tidak sesuai dengan realitas
sosial-budaya dan agama masyarakat setempat. Akibatnya, demokrasi dipandang
sebagai tidak kompatibel dengan Islam.
Demokrasi
memberikan kebebasan beraspirasi dan berserikat. Karena itulah, terjadi
eksplosi aspirasi politik yang diwujudkan dalam bentuk partai politik, yang
jumlahnya sering sangat banyak. Eksplosi partai politik ini jika tidak disikapi
bijak, dengan segera memunculkan konflik politik yang dapat berkepanjangan.
Menghadapi
gejala seperti itu, perlu peningkatan toleransi bersama, akomodasi, dan
kompromi. Tanpa kesediaan saling akomodasi dan kompromi, aktualisasi politik
dapat menjadi zero-sum-politics --politik “menang-menangan”, yang sering
disebut sebagai politik pokok-e.
Untuk
mencegah terjerumusnya kekuatan politik ke dalam politik semacam itu, perlu
penguatan dan pemberdayaan kekuatan nonpolitik yang ada dalam masyarakat.
Kekuatan itu biasanya disebut sebagai “masyarakat madani” atau “masyarakat
sipil” (civil society).
Indonesia
kaya dengan berbagai organisasi dan kelompok masyarakat madani. Jika Tunisia
dapat sukses dengan demokrasinya, masyarakat madaninya harus ditumbuhkan dan
diberdayakan. Inilah tantangan yang juga tidak mudah bagi negara-bangsa
Tunisia. []
REPUBLIKA,
12 Mei 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar