Kisah Guru Asal Kairo
Dapat Berkah Mengajar di Pesantren
Alkisah, ada seorang
guru yang bernama Sayyid Ismail Fahmi Albadr, seorang dosen dan pengajar bantu
di Pesantren Al-Asy'ariyyah Kalibeber dan Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jawa
Tengah di Wonosobo (sekarang UNSIQ). Dia merupakan tenaga pengajar dari
Universitas Al-Azhar Kairo yang selama dua tahun sekitar 1991-1992 menjadi
tenaga pengajar bantu di kampus dan pesantren tersebut.
Sebagaimana
dikisahkan kembali oleh Elis Suyono dan Samsul Munir Amin dalam buku
biografinya KH Muntaha Alhafidz, Ustadz Fahmi (begitu ia kerap dipanggil)
bercerita, suatu ketika dia diberi beras 10 kilogram dan gula satu kilogram
oleh almaghfurlah KH Muntaha Alhafidz, pengasuh Pesantren Al-Asy'ariah dan
Rektor Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) waktu itu. Beras dan gula tersebut dibawa
dan diberikan sendiri oleh Mbah Muntaha ke rumah Ustadz Fahmi yang letaknya
tidak jauh dari kantor pondok.
Oleh istrinya, beras
dan gula pemberian Mbah Muntaha itu digunakan sebagaimana kebutuhan biasanya.
Beras itu dipakai untuk konsumsi keseharian keluarga Ustadz Fahmi yang
jumlahnya lima orang beserta istri dan anak-anaknya. Begitu pula gula yang satu
kilogram digunakan seperti biasanya untuk minim teh, susu, kopi dan kebutuhan
lainnya. Tapi berbeda dengan biasanya, meski beras dan gula tersebut sudah
dipakai dalam satu bulan, beras dan gula pemberian Mbah Mun itu belum habis
juga.
Geganjilan tersebut
membuat Ustadz Fahmi pada suatu waktu bertanya kepada istrinya, "Apakah beras
dan gula itu tak pernah digunakan sehingga selama satu bulan itu keluarganya
tidak pernah membeli beras dan gula?” tanya Ustad Fahmi.
Namun di luar dugaan,
istrinya menjawab, bahwa beras dan gula itu tetap digunakannya sebagaimana
kebutuhan kesehariannya. Ustadz Fahmi tentu saja heran, soalnya biasanya
keluarga yang semuanya berjumlah lima orang itu bisa menghabiskan beras sekitar
30 kg dan 3 kg gula untuk kebutuhan konsumsi selama satu bulan. Tatapi
kelaziman tersebut tidak berlaku pada kasus satu bulan itu.
Karena merasa
penasaran dengan keganjilan di atas, maka pada suatu kesempatan Ustadz Fahmi
menanyakan langsung hal itu kepada Mbah Muntaha, mengapa beras dan gula
pemberian beliau tidak habis-habis kendati tetap digunakan.
"Hadza min
barokatil Qur'an," jawab Mbah Muntaha. []
Disarikan dari Elis
Suyono dan Samsul Munir Amin, Biografi KH. Muntaha Alhafidz: Ulama
Multidimensi, diterbitkan: UNSIQ Wonosobo dan Pesantren Al-Asy'ariah Kalibeber.
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar