Posisi
Tap MPR Sekarang
Oleh: Moh
Mahfud MD
Masih
saja banyak yang kaget ketika dikatakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (Tap MPR) yang berlaku sekarang ini tidak bisa dicabut oleh MPR sendiri.
Padahal kedudukan dan wewenang MPR sudah berubah seiring dengan amendemen UUD
1945 (1999-2002). Tegasnya, MPR sekarang tidak bisa lagi mengeluarkan atau
mencabut Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di
bawah UUD dan di atas UU.
Itulah
sebabnya, ketika ada ide untuk menghidupkan GBHN melalui Tap MPR, masalahnya
menjadi sulit. Ini karena MPR tidak bisa lagi mengeluarkan Tap seperti dulu.
Itu pulalah sebabnya, ketika ada ide agar Tap MPR tertentu dicabut, maka
jawabannya, ”Sekarang secara konstitusional MPR tidak bisa mencabut Tap MPR”.
Mengapa
begitu? Mengapa pula di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan masih disebutkan Tap MPR sebagai peraturan
perundang-undangan level kedua? Inilah yang harus dipahami. Menyusul reformasi
tahun 1998 yang spektakuler itu muncul gagasan bahwa UUD 1945 harus diubah
(diamendemen).
Alasannya,
banyak lope holes atau lubang-lubang di dalam UUD 1945 itu yang menjadi pintu
masuk terjadinya otoriterisme. Buktinya, setiap pemerintahan yang dibentuk
berdasarkan UUD 1945 selalu menjadi otoritarian.
Terlepas
dari persoalan, apakah alasan itu benar atau tidak dan apakah ide itu rasional
atau emosional, terjadilah perubahan UUD 1945 melalui mekanisme konstitusional
yang sah. Yang melakukan perubahan adalah MPR periode 1999-2004 yang, demi demokratisasi,
berani mengamputasi kekuasaan dan kewenangannya sendiri.
Dari
antara sekian banyak perubahan, yang sangat mendasar adalah perubahan struktur
ketatanegaraan dari yang semula vertikal-struktural menjadi
horizontal-fungsional. Kalau dulu, menurut Angka III Penjelasan UUD 1945, MPR
merupakan lembaga tertinggi negara maka sekarang ia disejajarkan dengan lembaga
negara yang lain dalam poros-poros hasta as politika (delapan poros kekuasaan).
Kalau
dulu, menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, MPR adalah pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakyat, sekarang kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, tidak
lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Kalau dulu, menurut Pasal 3 UUD 1945, MPR
diberi wewenang menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan
Negara, sekarang ia hanya diberi wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Itu pun
dengan mekanisme yang sulit.
Dengan
sistem ketatanegaraan yang demikian, MPR tidak bisa lagi membuat atau mencabut
Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan level kedua di bawah UUD atau satu
tingkat di atas UU. Itulah sebabnya ketika mengatur tentang wewenang Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam Pasal 24C, UUD hanya memberi kewenangan kepada MK untuk
menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD, bukan menguji UU terhadap Tap MPR
atau menguji Tap MPR terhadap UUD. Tepatnya, sejak amendemen UUD 1945, MPR
tidak boleh lagi membuat Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi daripada UU.
Soalnya:
bagaimana nasib Tap-Tap MPR yang sudah ada dan berlaku sejak sebelum amendemen?
Untuk menyelesaikan ini maka di dalam Pasal I Aturan Tambahan UUD ditegaskan
bahwa MPR ditugasi untuk meninjau kembali dan memosisikan ulang semua Tap
MPR(S) yang sudah ada dalam ke dalam tata hukum baru pada Sidang MPR tahun
2003.
Berdasar
itu MPR membuat Tap MPR No. I/MPR/2003 yang memosisikan semua Tap MPR(S) yang
masih ada ke dalam tata hukum Indonesia. Tap No. I/MPR/ 2003 adalah Tap
terakhir MPR yang masih berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pelaku
sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Di dalam
Tap No. I/MPR/ 2003 semua Tap MPR(S), sejumlah lebih dari 130 Tap, yang sudah
ada berdasar UUD sebelumnya ditentukan nasibnya. Ada yang dinyatakan masih
tetap berlaku permanen, ada yang dinyatakan berlaku sampai waktu atau keadaan
tertentu, dan yang terbanyak (104 Tap) dinyatakan tak berlaku lagi. Ada
dua Tap MPR yang dinyatakan tetap berlaku penuh yakni Tap No. XXV/MPRS/1966
yang berisi pembubaran PKI dan larangan penyebaran Komunis/Marxisme- Leninisme
dan Tap MPR No. XVI/MPR/1998 berisi Politik Ekonomi.
Setelah
keluarnya Tap MPR No. I/MPR/2003 maka tugas MPR lama, yakni MPR yang masih
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, menjadi berakhir dalam membuat
Tap MPR. Itulah sebabnya Tap MPR No. I/MPR/2003 sering disebut sebagai Tap
Sapujagat, yakni Tap terakhir yang menyapu (memosisikan lagi) Tap-tap MPR
produk MPR model lama. MPR tidak bisa lagi membuat Tap baru atau mencabut Tap
lama yang sudah diposisikan menurut tata hukum baru itu.
UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak lagi
mencantumkan Tap MPR(S) sebagai peraturan perundang-undangan. Tetapi karena
berdasar Tap No. I/MPR/ 2003 ternyata masih ada Tap-tap MPR yang dinyatakan
tetap berlaku maka pada tahun 2011 diundangkanlah No. 12 Tahun 2011 yang
memasukkan lagi Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan level kedua.
Penempatan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan level kedua menurut UU
No. 12 Tahun 2011 hanya dimaksudkan untuk memberi posisi pada Tap MPR yang
sudah ”telanjur” ada dan masih diberlakukan berdasar konstitusi yang baru.
Artinya, MPR tetap tidak boleh membuat Tap MPR baru dan mencabut Tap MPR yang
sudah ada. Ibaratnya, pemberlakuan Tap MPR No. I/MPR/2003 merupakan langkah
konstitusional untuk memasukkan semua Tap MPR ke dalam satu lemari besi untuk
kemudian kuncinya dibuang sehingga tak bisa dibuka lagi. []
KORAN
SINDO, 21 Mei 2016
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar