Moga
Golkar Tetap ”Setya”
Oleh:
Budiarto shambazy
Selamat
untuk Setya Novanto yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode
2016-2019 pada munaslub di Bali. Tak mengejutkan Setya Novanto, yang sempat
populer dalam kasus ”papa minta saham” yang memaksanya mundur dari jabatan
Ketua DPR, malah sukses menduduki posisi puncak ”Partai Beringin” itu.
Secara
hukum, kasus tersebut masih tanda tanya apakah terjadi pelanggaran hukum
pidana? Setya Novanto, yang beberapa kali diperiksa Kejaksaan Agung, berulang
kali membantah mencatut nama Presiden Joko Widodo. Dalam posisi mengambang
berlama-lama seperti itu, Setya Novanto justru memimpin partai tertua di
republik ini. Tak terhindarkan ada kesan di publik bahwa Golkar keliru memilih
ketua umum.
Maka tak
terelakkan pula ada pandangan Golkar kini dipimpin sosok lightweight. Dengan
sendirinya timbul tanda tanya besar tentang masa depan partai yang kursinya
nomor dua terbesar di DPR ini.
Terlebih
lagi, Golkar terpuruk dalam perolehan total suara dalam pilkada serentak 9
Desember 2015. Dua partai pecahan Golkar, yakni Gerindra dan Nasdem, misalnya,
malah berada dalam posisi tiga besar bersama Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) dalam total peroleh suara tersebut.
Kekalahan
telak itu bisa diduga akibat perpecahan internal Golkar yang berkepanjangan,
yang berpengaruh terhadap pemilih tak mencoblos lagi Partai Beringin. Apalagi
perpecahan tersebut terkesan frontal, pelik, dan terkadang melibatkan pula
kekuatan fisik seperti perebutan penguasaan kantor mereka.
Sempat
muncul spekulasi Setya Novanto merupakan calon pilihan Presiden Joko Widodo,
menimbulkan spekulasi pemerintah ikut campur dalam Munaslub Bali. Namun,
Presiden Joko Widodo membantah keras spekulasi tersebut.
Suka atau
tidak, tiba-tiba Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto menyatakan mendukung
Joko Widodo sebagai presiden pada Pilpres 2019. Berakhir sudah tradisi Golkar
mencalonkan ketua umum sendiri sebagai presiden, yang dirintis Jusuf Kalla dan
dilanjutkan Aburizal Bakrie.
Masih
belum cukup, Setya Novanto menyatakan pula Golkar hengkang dari Koalisi Merah
Putih (KMP). Makin terbukti anggapan bahwa Golkar, yang berperanan menjalin
hubungan erat dan mesra antara partai-partai di KMP sejak masa Pileg dan
Pilpres 2014, kurang mampu menjalankan peranan sebagai partai oposisi.
Buat
sebagian kalangan, sikap Golkar mengedepankan ”pragmatisme politik”, filosofi
yang mengatakan yang terpenting kebijakan apa pun harus berjalan tanpa perlu
dipertanyakan caranya. Dengan kata lain, pertimbangan teoretis dan ideologis
menjadi soal nomor dua.
Buat
kalangan lainnya, sikap Golkar sudah mengarah pada ”oportunisme politik” yang
lebih absurd. Di sini berlaku filosofi ”yang penting mengambil kesempatan untuk
mencapai tujuan, tanpa mempertimbangkan sebab-sebab atau akibat-akibatnya”.
Suka atau
tidak, pragmatisme dan oportunisme makin hari makin tampak dalam praktik
politik kepartaian kita. Politik kita, seperti kata Harold Lasswell,
semata-mata hanya soal ”siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana”.
Mungkin
PDI-P dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang antara lain dapat dikategorikan
sebagai partai yang agak memperhitungkan prinsip-prinsip ideologis
(masing-masing sukarnoisme dan Islam) dewasa ini. Namun, kalau soal masuk
kabinet untuk mendapat jatah menteri, semua partai berebut atas nama
pragmatisme dan oportunisme.
Seorang
tokoh Golkar, Rully Chairul Azwar, dalam buku Politik Komunikasi Partai Golkar
di Tiga Era, dari Partai Hegemonik ke Partai Berorientasi Pasar (2009)
menempatkan partainya sebagai kekuatan politik yang pandai berselancar
mengarungi ombak politik. Golkar berhasil merebut suara terbanyak pada
pemilu-pemilu ”abu-abu” ala Orde Baru, bahkan sempat menjadi juara pada Pilpres
2004.
Hegemoni
itu tak hanya dominan pada masa Orde Baru, sampai kini pengaruh politik Golkar
terasa kental di berbagai bidang kehidupan negara/masyarakat. Contohnya
ikonisasi Presiden Soeharto yang oleh Golkar akan dicalonkan kembali menjadi
Pahlawan Nasional, manuver yang dianggap brilian oleh sisa-sisa Orde Baru.
Golkar
satu-satunya partai yang mampu bertahan dalam waktu paling lama dalam sejarah
kepartaian karena tiga faktor. Faktor pertama adalah kepemimpinan yang relatif
stabil dan berkesinambungan dalam menjaga kelangsungan status quo menghadapi berbagai
tantangan dan perubahan yang menghadang.
Kepemimpinan
Suprapto Sukowati, Amir Murtono, Sudharmono, Wahono, dan Harmoko dalam periode
1969-1998 berkarakteristik hegemonik berkat dukungan rezim BA (bureaucratic
authoritarian) Orde Baru. Stabilitas dan kesinambungan tetap terjaga pula pada
masa kepemimpinan Akbar Tandjung (1998-2004) sebagai solidarity maker yang
dibuktikan lewat sukses memenangi Pemilu 1999 dan 2004.
Dan,
kepemimpinan Jusuf Kalla sejak Rapimnas Bali 2004 sampai kini memperlihatkan
kembali kelenturan Golkar. Suka atau tidak, Aburizal Bakrie berhasil mengantar
Golkar menjadi pemenang kedua Pileg 2014.
Faktor
kedua, konflik dan konsensus internal terkelola relatif mulus. Jangan lupa,
perpecahan internal yang berujung pada Munaslub Bali 2016 terjadi juga karena
ikut campur invisible hands dari kalangan pemerintah. Faktor ketiga, Golkar
memiliki massa loyal yang berciri modern alias nontradisional.
Sekali
lagi, selamat untuk Setya Novanto. Semoga seluruh jajaran Golkar, termasuk mereka
yang pulang dengan tangan hampa dari Munaslub Bali 2016, tetap ”setya” kepada
Ketua Umum Golkar yang baru. []
KOMPAS,
21 Mei 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar