Congratulation,
Ustad
Oleh: Emha Ainun Nadjib
ADA 10 tokoh sejarah dari
Jombang, Jawa Timur, yang di masa hidupnya menjadi penghuni panggung utama
sejarah Indonesia. Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi
keagamaan terbesar se-Nusantara sampai hari ini: Nahdlatul Ulama. Cak Durasim,
seniman besar yang kesenian pasemon-nya melawan Jepang menjadi benih dari
kesenian ludruk yang hidup sampai hari ini. Ludruk kemudian mengalami
penyempitan kapitalistik dan menjadi Srimulat, sementara Cak Durasim menjadi
syahid karena perlawanan politiknya terhadap kolonialisme dan imperialisme
kekuatan asing.
Kemudian
KH Wahid Hasyim, yang karena kelembutan sikapnya maka lawan-lawan politiknya
pun segan dan cinta kepadanya. Kemudian Asmuni bin Asfandi termasuk penghuni
utama hati dan kenangan hidup kita. Dan bapak beliau, Pak Asfandi, adalah
pendiri Gambus Misri. Ludruk lahir dari komunitas abangan, Gambus Misri lahir
dari komunitas santri. Ludruk pakai musik dan gamelan Jawa Timur, Gambus Misri
pakai musik Melayu setengah Arab. Ludruk mengambil lakon-lakon tradisional
Jawa, Gambus Misri ambil tema-tema dari sejarah Islam. Ludruk hidup sampai
sekarang, Gambus Misri harus terus-menerus repot dengan budaya Islam fiqh,
sampai akhirnya mati. Tetapi, itu tidak mengurangi nilai dan kemuliaan ijtihad
Pak Asfandi.
Lantas
Gus Dur, KH Abdurrahman Wahid, yang banyak umatnya menyebut “la roiba fiihi” —
tak ada keraguan sedikit pun tentangnya. Yang orang Mesir sangat mencintainya,
sehingga kejatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan dikaitkan dengan gagalnya
kesebelasan Mesir Pra-Piala Dunia memenangkan pertarungan melawan Aljazair.
Skor 1-1. Ini membuat nama Gus Dur jadi kacau. Kalau skor 1-0, maka angka hanya
Wahid. Kalau 1-1, jadinya Wahid-Wahid. Saking jengkelnya orang Mesir terhadap
kejatuhan Gus Dur, kalau di warung mereka selalu meneriakkan nama Gus Dur
keras-keras: “Gahwah wahid! Syay wahid! Thaam wahid….!!”
Gus Dur
terus Cak Nur. Nurcholish Madjid. Dunia pemerhati peta pemikiran dunia sebelah
mana tak kenal dia. Seorang pelopor pembaruan pemikiran Islam Indonesia. Waktu
usianya belasan tahun di Pesantren Gontor, ia sudah cas-cis-cus bahasa Inggris,
Arab, Jerman, Jepang. Sedemikian pandainya Cak Nur, sehingga batuk dan dehemnya
pun ilmiah, bahkan setiap helai rambutnya bisa memantulkan cahaya ilmu.
***
Apakah
Anda ingat Gombloh — country singer, perokok lokomotif sambung-menyambung namun
suaranya bisa melengking bagai Robert Plant atau qari Abdul Bashit bin Muhammad
Abdus Shomad? Lagunya, Gebyar-gebyar, sering kita perlakukan seolah-olah lagu
wajib nasional. Manusia sangat merdeka. Pencinta rakyat kecil dan membaur dalam
kehidupan mereka. Pernah honornya dibelikan ratusan BH, dibagi-bagikan di
perkampungan prostitusi. Bayangkan, Gombloh naik becak dengan tumpukan
keranjang BH. Dia sibuk melemparkan BH itu satu per satu ke setiap rumah
prostitusi.
Dan
Wardah Hafidz, putri seorang tokoh Masyumi, perempuan lembut berwajah imut-imut
dengan ekspresi seorang gadis pemalu, siswi Muallimat Muhammadiyah, jagoan
bahasa Inggris IKIP Malang dan tamatan Ballstate University, Muncie City,
Indianapolis, Amerika Serikat. Aktivis Urban Poor Consortium yang sering bikin
geger Jakarta dan membuat Sutiyoso pusing kepala. Kekalahan Wardah dari
Sutiyoso hanya pada jumlah uangnya. Pemberontak dari skala yang terkecil sampai
yang terus lebih besar. Kakaknya, seorang aktivis yang keteguhan prinsipnya
membentur kemapanan rezim sehingga ia tampak sebagai orang yang bikin ribut di
sebuah kantong kepolisian Bandung — sehingga akhirnya dieksekusi di era
Soeharto.
***
Then,
tsumma al-‘asyirah, yang ke-10: tak lain tak bukan dialah Ustad Abu Bakar
Ba’asyir, arek Mojoagung, Jombang ujung timur, tetangganya Mojolegi, Mojosongo,
Mojongapit, dan seterusnya dalam lingkaran kenangan Majapahit. Keturunan Arab:
Mojopahit adalah negara multietnik, bahkan ketika Demak menggantikan
kekuasaannya, gubernur terakhir Majapahit adalah Nyoo Lay Waa — yang mati sial
ditawur dibunuh rakyatnya sendiri karena dianggap gagal mengembalikan kejayaan
Majapahit.
Beliau
dilahirkan di lingkar wilayah sensitivitas sejarah, penuh kenangan tentang
pertentangan dan perbenturan. Bahkan di zaman Belanda: dari Mojoagung inilah
akhirnya Kawedanan Jombang menjadi kabupaten, melalui peperangan yang tidak
ringan. Ustad Abu tamatan Pondok Modern Gontor Ponorogo. Bikin pesantren di
Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang kurikulumnya, filosofi, rangka keilmuan,
dan penyikapan zamannya disebut “Gontor Plus”. Mendidik santri-santrinya untuk
tidak sekadar menjadi ‘alim (mengetahui ilmu-ilmu agama). Pun tidak sekadar
menjadi ‘arif (pelajaran mendalami ‘irfan, pengetahuan keakhiratan yang
tahapan-tahapannya disebut ma’rifat). Santri-santri Ngruki juga dididik untuk
menjadi mujahid (pejuang), yang cita-citanya adalah jihad menuju derajat
tertinggi pencapaian dan kebahagiaan, yakni “almautu fi sabilillah”, mati di
jalan Allah.
Karena
itu, dari sudut tauhid, tasawuf, dan prinsip ubudiyah murni, yang tepat untuk
kita ucapkan kepada Ustad Abu adalah “Congratulation!” “Mabruuk!” “Barakallah”.
“Yarhamukallah”. Selamat bahwa beliau telah sukses menapak hampir ke puncak
kemuliaan hidup di pandangan Allah. Seorang yang berada bersama beliau dalam
keributan penangkapan di RSU Muhammadiyah Solo menceritakan, ketika itu ustad
ingin sekali ditembak polisi, supaya syahid fisabilillah.
Soal
penafsiran atas nilai-nilai Islam, pilihan-pilihan modus perjuangan yang
berbeda-beda, radikal atau moderat, konservatif atau liberal — sangat
dimerdekakan oleh Islam — itu soal lain. Yang juga baik menjadi pelajaran
bersama adalah bahwa jalan lurus dan kaku yang diterapkan Ustad Abu telah tidak
saja membuatnya masyhurun fis-sama (terkenal di langit), melainkan juga
masyhurun fil-ardl (terkenal di bumi).
***
Bagi
Ustad Abu, hanya ada tiga titik: Allah, dia, dan Amerika Serikat yang selalu
disebutnya “kafir”. Pernah saya usulkan beliau dimohon meluangkan waktu sehari
saja, saya minta “Abu Nawas” — seorang setengah ompong berambut putih berkumis
berjenggot tebal putih, sangat menggiurkan untuk nongol di layar TV — untuk
bersama Ustad Abu mendatangi Amien Rais di MPR, Akbar Tandjung di DPR, Megawati
di istana, juga sejumlah menteri. Ustad Abu diam saja, biar si Abu Nawas yang
omong menuntut pertanggungjawaban kenegaraan pihak-pihak tersebut atas warga
negaranya yang dimusuhi tetangga. Supaya fokusnya bukan hanya Ustad Abu,
melainkan melebar menjadi multifokus. Menjadi wacana pendidikan politik,
membangunkan kesadaran tentang martabat bangsa dan negara. Ini bukan hanya soal
Ustad Abu. Ini adalah soal semua umat Islam dan bangsa Indonesia.
Abu Bakar
Baasyir Abu Nawas saya pilih karena dia memang tidak punya sungkan, tidak
pedulian, bisa omong apa saja seenaknya. Ia pakai topi pejuang Afghanistan,
pakai gamis Arab yang dibuka bagian depannya, sehingga tampak kausnya yang
bertuliskan “CIA”. Malam sesudah pekerjaan-pekerjaan panjang itu, saya sarankan
ia menginap di satu hotel mewah, duduk-duduk di kafe dan minum bir atau wiski
seperti kebiasaannya. Lumayan orang akan berpikir: “Lho, kok Al-Qaeda minum
wiski?”
Tetapi,
hal itu tidak terjadi karena Ustad Abu sudah sangat khusyuk dan mendalam
konsentrasi prinsipnya. Thariqat atau strategi perjuangannya pun sudah tertanam
di lubuk hatinya. Beliau tidak bisa menerima “huruf” lain karena jiwanya sudah
dipenuhi huruf Al-Quran yang ditafsirkannya menjadi sebagaimana yang kini
disaksikan seluruh dunia. Ustad Abu tidak akan mundur. “Kalau saya dibunuh,
berarti saya syahid. Kalau saya dipenjara, berarti saya cuti. Dan kalau saya
dibuang, diasingkan, berarti saya tamasya.”
Bahkan
seorang pecinta ustad yang selalu berada di sekitar perjalanan beliau pernah
menabrak: apakah saya bersedia membuka pintu rumah saya untuk Ustad Abu kalau
beliau dikejar-kejar penguasa? Saya bilang tafadhdhol. Silakan. Kebetulan hari
berikutnya ada isu merebak bahwa pasukan Islam melakukan sweeping kepada turis
Amerika dan warga kulit putih lain. Seorang yang lain menelepon saya, apakah
pintu rumah saya terbuka untuk menampung teman-teman Amerika yang akan
di-sweeping? Saya bilang, “With all my pleasure”. Silakan. Saya membayangkan,
jika itu terjadi pada hari yang sama, mungkin ada baiknya saya belikan kartu
domino atau remi, agar ustad dan teman-teman Amerika bergurau menghiasi
persaudaraan sebagai sesama manusia.
Tetapi,
itu juga tidak terjadi karena penampung Ustad Abu hanya Allah, sementara
sweeping itu juga hanya isu.
***
Ada jihad,
ada ijtihad, dan ada mujahadah. Jihad pengertiannya sangat luas dan umum.
Tukang becak yang menggenjot pedal becaknya dengan landasan niat yang tepat
dalam konteks nafkah anak-istri, serta perwujudan rasa syukur dan tanggung
jawab kepada Allah yang menganugerahinya sepasang kaki dan tangan yang kokoh,
adalah mujahid (pelaku atau subjek jihad). Pekerjaan apa saja, dari mencangkul
sawah sampai menjalankan tugas sebagai presiden, adalah jihad — sepanjang
dikonsep dalam pertalian yang suci dan mulia dengan dunia dan Tuhan.
Cak Nur
secara lebih spesifik kita sebut mujtahid (pelaku atau subjek ijtihad),
meskipun ijtihad juga satu bentuk jihad. Ijtihad adalah jihad intelektual,
tradisi dan semangat inovasi di bidang pemikiran, eksperimentasi menuju
penemuan baru, perjuangan kasyful hijab (menguak rahasia) menuju
paradigma-paradigma baru. Adapun mujahadah adalah jihad spiritual: berdoa,
berwirid, hizib, mengenangkan terus-menerus suatu prinsip.
Abu Bakar
Baasyir apakah ngebom itu jihad? Mungkin. Jumlah tafsir terhadap Islam bisa
sebanyak jumlah pemeluknya. Ada tafsir kulit yang dangkal, ada tafsir daging
yang empuk, ada tafsir urat saraf yang lembut, ada tafsir tulang yang keras dan
kaku. Ada yang produk tafsir seluruhnya adalah tulang, ada yang seluruh sikapnya
adalah daging. Ada juga yang lengkap, dalam konteks “ini” ia daging, konteks
“itu” ia tulang.
Ada yang
menilai orang lain adalah kafir dan menyebutnya kafir, ada yang jelas orang di
depannya pincang kakinya tapi tak dipanggilnya: “Hai, pincang!” Semua dibuka
pintunya oleh Islam. La ikraha fiddin, tak ada paksaan dalam agama, Allah yang
menjadi Hakim Sejati. Bahkan semua yang dilakukan Amerika adalah juga jihad
dalam tafsir dan bahasa yang berbeda, dan satu di antara hasilnya adalah kedua
pihak menuduh yang lainnya teroris. Semua pihak terlibat dalam sejarah
penafsiran, dengan segala kejujuran dan kecurangannya, dengan hati suci serta
nafsu.
Karakter
utama Muhammad sendiri adalah kelembutan. Beliau bukan hanya tidak berkirim
surat “Kepada Yth. Raja Kafir”, bahkan juga bersedia menanggalkan gelar
“Rasulullah” dengan hanya mencantumkan “Muhammad bin Abdullah”. Ada firman
Allah “jadilhum billati hiya ahsan”: perlakukanlah musuhmu dengan
sebaik-baiknya. Bahkan iblis setan menyatakan dalam Al-Quran: sesungguhnya
mereka takut kepada Allah, sehingga mereka punya potensi juga untuk memperoleh
penghormatan. []
Pernah dimuat di Kolom, GATRA Nomor 51, 4 November 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar