Kamis, 26 Mei 2016

Buya Syafii: Fazlur Rahman dalam Simposium (I)



Fazlur Rahman dalam Simposium (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Undangan via e-mail dari Prof Alparslan Açikgenç (kakak kelas di Universitas Chicago abad yang lalu), saya terima pada 21 Januari 2016 untuk menghadiri sebuah simposium tentang pemikiran Fazlur Rahman (1919-1988) dalam bidang filsafat, agama, dan moral-etika yang diadakan di kampus Universitas Inönü, Malatya, Turki, pada 5-6 Mei 2016.

Mengingat usia, saya sempat ragu untuk hadir, tetapi karena panitia mengharapkan datang dengan sebuah makalah, akhirnya undangan dipenuhi. Apalagi, saya memang belum pernah ke Turki. Ini ditambah lagi adanya hubungan emosional dan intelektual dengan Fazlur Rahman yang membimbing saya sewaktu kuliah S-3 dalam kajian Islam di Universitas Chicago. Simposium kedua ini berlangsung dalam bahasa Turki; simposium pertama diadakan Istanbul pada 1997 saat Recep Tayyip Erdogan sebagai wali kotanya.

Mengapa pemikiran Fazlur Rahman tentang Alquran, Islam, dan masalah-masalah kemanusiaan masih perlu dikaji dan dibicarakan? Dari karya-karyanya, kita dapat menyimpulkan bahwa Fazlur Rahman adalah seorang penyelidik yang serius, tajam, dan berani mengenai Alquran dan disiplin-disiplin Islam lainnya, seperti filsafat, teologi, sufisme, pendidikan, baik yang klasik maupun yang modern.

Keprihatinannya yang mendalam tentang masalah ini didorong oleh kenyataan (menurut hasil bacaannya) karena sebegitu jauh belum ada sarjana Muslim yang telah berupaya secara sungguh-sungguh untuk menyelam ke dalam prinsip-prinsip moral-etika Alquran sebagai bagian dari pandangan dunianya yang menyeluruh dan komprehensif, secara sistematis atau sebaliknya. (Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982, hlm 154).

Klaim Alquran sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia harus dipahami secara benar sebagai sesuatu yang fungsional dan memiliki nilai-nilai praktis dalam membimbing kehidupan kolektifnya karena Kitab Wahyu ini “adalah sebuah dokumen yang secara jujur bertujuan buat [kepentingan] manusia.” (Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an. Minneapolis-Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hlm 1).

Atau dalam ungkapan Muhammad Asad, Alquran telah memberikan jawaban komprehensif terhadap pertanyaan, “Bagaimana semestinya saya berperilaku agar meraih kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan dalam kehidupan yang akan datang?” (Lihat Muhammad Asad, The Message of the Qur'an. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980, hlm 1).

Dalam sebuah kuliah di Chicago, Fazlur Rahman pernah berkata, “Apa pun yang kamu pelajari, timbang dia dengan Alquran.” Barangkali di sinilah letak perbedaan utama antara Fazlur Rahman dan para pemikir Muslim kontemporer.

Lebih jauh, Fazlur Rahman tidak saja berupaya memakzulkan konservatisme Islam yang demikian mewabah secara dalam di dunia Islam, “Dia juga membantah banyak dari upaya Barat dalam memahami Islam ... yang digambarkan sebagai suatu makhluk fatalistik, kuno, dan statis.” (Lihat Donald L Berry, Fazlur Rahman: A Life in Riview dalam Earle H Waugh and Frederick M Denny (ed), The Shaping of an American Islamic Discourse: A Memorial to Fazlur Rahman. Atlanta, Georgia: Scholars Press, 1998, hlm 41).

Entah karena apa, beberapa mantan mahasiswa Baratnya di Chicago menjadi Muslim, padahal Fazlur Rahman sama sekali bukanlah tipe seorang evangelis.

Kembali ke simposium. Ada tujuh pemakalah yang diundang dari berbagai perguruan tinggi; empat dari Turki, tiga dari luar: Alparslan Açikgenç (Turki), Ahmad Syafii Maarif (Indonesia), Ernest Wofl-Gazo (Universitas Amerika, Kairo), Mustafa Öztürk (Turki), Ibrahim Özdemir (Turki), Imtiyaz Yusuf (Thailand), dan Bekir Demirkol (Turki).

Simposium dibuka oleh Rektor Universitas Inönü Prof Cemil Celik. Hanya tiga makalah yang disampaikan dalam bahasa Inggris dengan tampilan terjemahan dalam bahasa Turki di layar: “Fazlur Rahman, the Qur'anic Moral-Ethical Fervor and the Process of the Revelation” (Ahmad Syafii Maarif), “Fazlur Rahman and the Moral Life in the Early 21st Century” (Ernest Wolf-Gazo), “Ismail al-Faruqi and Fazlur Rahman: Two Academic Friends United But Not Fully Parted in Addressing Modern Age Problems Facing the Muslim World” (Imtiyaz Yusuf).

Empat makalah dalam bahasa Turki dengan judul terjemahan bahasa Inggris: “My Experiences with Fazlur Rahman: An Intellectual Biography” (Bekir Demirkol), “Fazlur Rahman on Turkey” (Mustafa Öztürk), “Fazlur Rahman on the Morality-Law Relationship in the Tradition of Islamic Thought” (Alparslan Açikgenç), “The Concept of Morality in Fazlur Rahman” (Ibrahim Özdemir). Selama satu setengah hari simposium, semua makalah telah disampaikan dan dibicarakan dengan teratur dan penuh semangat. []

REPUBLIKA, 24 Mei 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar