Gus Dur dan
Banyolannya Sehari setelah Lengser
Di antara sikap dan
karakter Gus Dur yang mengagumkan adalah kesabaran dan ketabahannya saat
ditimpa musibah dan menghadapi suatu cobaan. Tentu bukan sabar dan tabah dalam
arti negatif berupa pasrah absolut atau lemahnya kemauan untuk bangkit,
melainkan sabar dan pasrah (nrimo) dalam konotasi yang positif. Selain itu yang
tak kalah mengagumkannya lagi dari tabiat Gus Dur ialah kemampuannya dalam
mempertahankan sikap humorisnya dalam berbagai situasi dan keadaan, tak kecuali
dalam situasi genting sekalipun Gus Dur senantiasa bisa mengeluarkan joke
segar yang menghibur khalayak.
Hal itu salah satunya
terungkap dan tampak terutama ketika detik-detik dan hari-hari pasca beliau
dilengserkan dari jabatan Presiden RI oleh MPR dalam Sidang Istimewa (SI) akhir
bulan Juli 2001. Beberapa kesaksian dari para tokoh maupun pemberitaan media
masa menyatakan bahwa meski mandatnya sebagai presiden telah dicabut MPR dalam
SI MPR Juli 2001, namun hal itu tidak membuat Gus Dur bersedih. Apalagi
meratapi atas hilangnya jabatan itu. Gus Dur masih tetap seperti dulu, baik
sebelum atau pun waktu menjadi presiden, yaitu suka guyon dan mbanyol.
Dan itu pula yang dia
tunjukkan ketika para kiai khos NU dari berbagai daerah dan pengurus DPP PKB
(kala itu) menemui Gus Dur di istana negara, sehari setelah dia dilengserkan.
Para Kiai itu, antara lain, Rais Syuriah PBNU, KH Muchit Muzadi, Mustasyar PBNU
KH Ahmad Idris Marzuki (alm) dan KH Cholil Bisri (alm), Ketua FKB MPR KH
Yusuf Muhammad dan beberapa kiai dan tokoh lainnya.
Dalam pertemuan
tersebut para Kiai maupun Gus Dur sama-sama menghindari membicarakan masalah
politik. Melainkan Gus Dur justru bercerita yang membuat ger-geran semua yang
hadir.
Dalam kesempatan kunjungannya,
para kiai dan tokoh-tokoh yang dekat dengan Gus Dur tersebut, dia bercerita,
"Bahwa dulu ada seorang kiai di Denanyar Jombang yang pandai mengobati
orang sakit. Tapi cara dan doa yang digunakan cukup unik."
"Suatu
hari", kata Gus Dur, "Kiai itu mengobati orang sakit gigi. Dia
mengambil paku, kemudian dimasukkan ke dalam mulut, persis di tempat gigi yang
sakit. Setelah itu sang kiai membaca surat an-Nas. Ketika sampai ayat terakhir
bunyinya bukan minal jinnati wan naas, tapi minal jinnati waras (sehat)."
Sudah barang tentu
sikap yang ditunjukkan Gus Dur yang tetap sabar dan tidak kehilangan sence of
humor-nya ini di luar dugaan semua yang hadir termasuk para kiai. Pasalnya,
pada waktu yang sama umumnya tokoh NU maupun PKB sedang dalam puncang emosi
lantaran tidak terima Gus Dur dilengserkan MPR melalui SI. Begitu pula warga
nahdliyyin yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia waktu itu sedang
dirundung kesedihan yang cukup mendalam menyaksikan pemimpin dan panutannya
dilengserkan di tengah-tengah periode masa khidmahnya sebagai Presiden RI
keempat.
Maksud kehadiran para
kiai yang datang menemui Gus Dur pun sebenarnya dalam rangka menunjukkan
solidaritas dan rasa simpati kalangan Kiai serta upaya untuk membesarkan hati
(menghibur) Gus Dur setelah sebelumnya berbagai usaha telah ditempuh para kiai
agar MPR tidak sampai menggelar SI yang berujung dengan dicabutnya mandat Gus
Dur sebagai presiden. Diantara upaya itu adalah pada 19 Juli 2001 para kiai
Jawa Timur yang di prakarsai PWNU Jawa Timur mennggelar pertemuan di Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri. Pertemuan tersebut di hadiri pula oleh Presiden KH
Abdurrahman Wahid. Kemudian pada 22 Juli 2001 juga diselenggarakan pertemuan
yang sama dengan skala yang lebih besar di Pesantren As Sidiqiyyah Jakarta
asuhan KH Nur Muhammad Iskandar. Kali ini melibatkan seluruh Kiai NU se
Indonesia.
Pertemuan-pertemuan
para kiai di atas dimaksudkan menghasilkan keputusan yang bisa menyejukkan bagi
kondisi negeri tempo itu dan tidak sebaliknya membuat negeri ini kian memanas.
KH Ali Maschan Musa,
Ketua PWNU Jawa Timur waktu itu, menyatakan bahwa dengan adanya forum pertemuan
para kiai tersebut pada intinya para kiai menginginkan persatuan bangsa
Indonesia tidak pecah. Dan salah satu syarat agar Indonesia tidak pecah adalah
Gus Dur tidak dijatuhkan. Pertemuan semacam ini, menurut Kiai Ali, pernah
dilakukan ketika presiden Soekarno mendapat banyak masalah. Ketika itu para
kiai membahas apakah Soekarno presiden yang sah apa tidak. Ketika diputuskan
bahwa Soekarno presiden yang sah, para kiai meminta jabatan itu diteruskan dan
rakyat Indonesia diserukan untuk mendukungnya. []
Disarikan dari
berbagai sumber, di antaranya:
1. Harian Surya,
Senin (30/7/2001)
2. Jawa Pos, Senin
(16/7/2001)
3. M Rofiq Madji,
Jurus Dewa Mabuk ala Gus Dur, Pustaka Tebu Ireng, 2012.
M Haromain, Pengajar
di pesantren Nurun Ala Nur, Bogangan Wonosobo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar