PKI
Bangkit Kembali?
Oleh:
Azyumardi Azra
Sudah
lebih dari setengah abad sejak peristiwa G30S/PKI yang diikuti penerbitan
Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan Partai Komunis
Indonesia, Marxisme, Leninisme, dan komunisme bentuk apa pun. Dalam kurun waktu
cukup panjang itu, kontroversi tentang PKI terus berlanjut dalam masyarakat
Indonesia.
Isu
kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) memenuhi ruang publik sejak
masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Media sosial khususnya memuat banyak
perbincangan, rumor, gosip, foto, atau gambar tentang kegiatan yang dianggap
sebagai upaya PKI bangkit. Sering perbincangan, rumor, gambar, atau foto yang
beredar di media sosial tidak masuk akal. Misalnya, ada gambar halte bus kota
palu arit dengan warna merah mencolok. Bagaimana mungkin membangun halte
seperti itu di ruang publik terbuka?
Sejumlah
pertemuan, seminar, dan simposium di tingkat nasional atau internasio- nal yang
diadakan kalangan advokasi HAM turut meningkatkan kecurigaan. Sekadar menyebut
contoh, medio April 2015 di Den Haag ada seminar bertajuk ”1965 Massacre:
Unveiling the Truth, Demanding Justice (Pembantaian: Mengungkap Kebenaran,
Menuntut Keadilan)”.
Perbincangan
besar lain adalah Simposi- um Nasional 1965 di Jakarta pada 18 April lalu.
Simposium ini menyimpulkan, negara terlibat pembantaian mereka yang dicurigai
terlibat PKI. Karena itu, negara harus menyelesaikannya melalui permintaan maaf
dan rekonsiliasi. Simposium ini mengundang reaksi keras. Kalangan purnawirawan
mantan petinggi TNI yang tidak setuju terhadap Simposium 1965 menyatakan bakal
menga- dakan simposium awal Juni 2016. Didukung Menteri Pertahanan Ryamizard
Ryacudu, mereka menyatakan Simposium 1965 tidak akomodatif.
Membuat
keadaan kian galau, pejabat tinggi negara menampilkan sikap berbeda. Presiden
Jokowi menyetujui pembongkaran ”kuburan massal” anggota dan simpatisan PKI.
Menhan menolak usulan itu. Berbeda dengan rumor dan gosip, Presiden menyatakan
belum atau tidak punya rencana meminta maaf kepada PKI. Presiden menegaskan,
PKI dan bentuk komunisme lain masih terlarang.
Sementara
polisi kian aktif menyita buku dan kaus bergambar palu arit dan menahan mereka
yang diduga terlibat karena konon Presiden Jokowi menginstruksikan kepolisian
melakukan represi terhadap upaya penyebaran komunisme. Namun, belakangan,
Presiden menegaskan agar aparat menghentikan represi dan menyatakan kebebasan
berpendapat harus menjadi prioritas dalam upaya pencegahan penyebaran paham
komunisme.
Pertanyaan
yang tetap perlu diajukan, apakah PKI atau bentuk lain komunisme bisa bangkit
kembali? Cukup banyak kalangan di Indonesia yang merasa pasti PKI bakal bangkit
kembali di era kebebasan sekarang. Sebaliknya, Wakil Presiden M Jusuf Kalla
menyatakan tak yakin PKI atau komunisme bisa bangkit lagi di Indonesia.
Wapres
beralasan, ideologi (komunisme) terbukti gagal di banyak negara. Menurut dia,
negara besar seperti Rusia dan negara Eropa Timur sudah tidak lagi menerapkan
paham tersebut. Komunisme di Tiongkok sudah berubah dengan menerapkan sistem
demokrasi pada tingkat tertentu. ”Satu-satunya negara komunis yang masih
tersisa hanyalah Korea Utara.”
Pernyataan
Wapres Kalla tidak menyederhanakan masalah. Berbagai kajian akademik-ilmiah
tentang subyek ini menghasilkan kesimpulan kurang lebih sama. Profesor Archie
Brown, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Oxford, dalam bukunya yang best
seller, The Rise and Decline of Communism (2011), menyimpulkan, komunisme telah
bangkrut dan tinggal sekadar ideologi kosong yang ilusif. Komunisme tak punya
peluang bangkit di suatu negara, apalagi di tingkat internasional.
Memang,
juga ada kontrawacana cukup luas tentang kegagalan atau kebangkrutan
kapitalisme yang dapat memberikan iklim kondusif bagi bangkitnya kembali
komunisme. Namun, kenyataan di lapangan menun- jukkan liberalisasi ekonomi,
karena globali- sasi yang terus meningkat, justru kian memperkuat kapitalisme—bahkan
di negara yang secara resmi masih menganut paham komunisme seperti Tiongkok.
Ekonomi
Indonesia yang terus tumbuh —meski sedikit melambat—telah melahirkan kelas
menengah cukup besar. Menurut berbagai estimasi, sedikitnya separuh dari seki-
tar 250 juta warga telah menjadi kelas menengah. Mereka hidup relatif cukup
(affluent) yang cenderung bersikap complacent—merasa senang, aman, dan tak mau
ambil risiko sehingga tidak tertarik pada ideologi komunisme yang berpotensi
revolusioner.
Dari
sudut ini, komunisme bisa memiliki peluang hanya jika kepincangan ekonomi,
kemiskinan, dan pengangguran kian meluas. Jika Indonesia ingin peluang PKI
bangkit kembali mengecil, tantangan dan tugas ke depan adalah mengatasi
kesenjangan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran. []
KOMPAS,
17 Mei 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar