Pesona
Istanbul
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Maret
1985 saya pertama kali menginjak Istanbul, Turki, dengan tujuan meneruskan
studi pascasarjana di Universitas Istanbul, sebagaimana dokumen yang saya
terima dari kedutaan Turki di Jakarta.
Saya ke
Turki atas tawaran Menteri Agama Munawir Sjadzali. Setiba di Istanbul, setelah
istirahat sejenak di hotel, saya langsung mendatangi pemimpin Universitas
dengan menunjukkan surat pengantar Kedutaan Turki di Jakarta. Sebuah kampus
megah dan klasik. Namun, yang membuat kaget dan kecewa, ternyata bahasa
pengantarnya bahasa Turki.
Menurut
penjelasan pimpinan fakultas, dibutuhkan waktu dua tahun untuk mendalami bahasa
Turki guna membaca dan menulis karya ilmiah setingkat disertasi. Saya putuskan
untuk mencari kampus lain, tetapi mesti diproses dari awal lagi. Maka saya
menghadap duta besar RI di Ankara, Marsekal Abdulrachim Alamsyah.
Dengan
gesit dia langsung mencari informasi, bahkan langsung membuat janji dengan
rektornya, yaitu kampus Middle East Technical University (METU), Ankara.
Keesokan harinya kami ke kampus. Hatiku langsung jatuh cinta. Sebuah kampus
besar, dikelilingi hutan, terdapat lapangan sepak bola, banyak lapangan tenis,
dan gedung-gedung fakultas serta asrama mahasiswa.
Saya
mendaftar ke fakultas sosial, jurusan filsafat, namun mesti menunggu karena
pembukaan semester baru tiga bulan lagi. Di negara orang, tiga bulan waktu
berjalan terasa sangat lama. Untuk pulang ke Jakarta biaya tidak ada. Membaca
kegundahan saya, Pak Dubes yang sangat baik hati ini menawari saya tinggal di
rumah dinas.
Jadi,
selama tiga bulan saya isi dengan kursus bahasa Turki, bahasa Inggris, dan
rajin olahraga badminton serta tenis bersama teman-teman KBRI Ankara. Tiba
harinya masuk kuliah dan tinggal di asrama, layaknya tinggal di kota kecil,
international small city. Semua kebutuhan akomodasi, konsumsi, dan kesehatan
gratis.
Belasan
bus kampus antar-jemput karyawan dan mahasiswa hilir-mudik setiap hari di
METU-Ankara. Yang paling berat adalah pisah dengan keluarga. Beasiswa setiap bulan
hanya sekitar USD100. Jika untuk ukuran gaya hidup sewaktu di pesantren, tentu
ini sudah mewah. Ini hanya standar untuk mahasiswa bujangan, mengingat semua
fasilitas belajar terpenuhi.
Tetapi
sebagai mahasiswa yang berkeluarga dengan dua anak, sungguh ini suatu tantangan
baru, mengingatkan saya waktu tahun 1974 mengadu nasib ke Jakarta dengan
kondisi miskin. Untunglah saya berdua dengan Amin Abdullah dari UIN Yogyakarta
yang juga pejuang kehidupan bermental tahan banting. Pernah juga terpikir pulang
melamar kuliah ke Kanada atau AS.
Tetapi,
saya pikir temanteman akan menilai kami lari dari gelanggang perang. Tidak
konsisten dengan niat dan tekad untuk studi ke Turki. Di lain sisi,
membayangkan untuk menyelesaikan program master dan doktor dengan beasiswa
kecil dan pisah dari keluarga, hati dan pikiran ini ngelangut. Ternyata kuliah
di luar negeri dan pisah dari keluarga itu sangat berat.
Yang
membuat saya tetap optimistis dan semangat adalah, pertama, melihat dari dekat
Kota Istanbul yang begitu indah dan menyimpan kekayaan sejarah luar biasa.
Turki satu-satunya negara muslim yang tidak pernah dijajah Barat, bahkan
menaklukkan sebagian wilayah Eropa. Kedua, sikap Pak Dubes yang selalu siap
membantu mencari solusi setiap ada problem, termasuk mencarikan tiket pulang ke
Tanah Air setiap liburan musim panas.
Ketiga,
suasana dan fasilitas kampus METU yang memungkinkan kami belajar serius. Kota
Istanbul semula bernama Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium atau
Kerajaan Katolik Romawi Timur, yang direbut oleh pasukan Sultan Muhammad
Al-Fatih pada 1453. Drama peperangan yang berlangsung 50 hari ini sangat
heroik, masing-masing mengerahkan pasukan dan strategi perang yang selalu
menjadi kajian sejarah sampai hari ini, bahkan di Istanbul terdapat museum
panorama penaklukan Konstantinopel itu dalam film tiga dimensi.
Pengunjung
serasa berada di tengah medan pertempuran. Kejatuhan Konstantinopel ke tangan
kekuasaan Islam seakan sebagai perimbangan dengan jatuhnya Granada pusat Islam
di Spanyol yang jatuh ke tangan penguasa Katolik. Meski saya tamat S-3 dari METU
pada 1990, setiap ada kesempatan saya dengan senang hati berkunjung ke Turki,
khususnya Istanbul yang penuh pesona.
Belum
lama ini, April 2016, saya ke Istanbul menemani Wapres Jusuf Kalla menghadiri
Konferensi Tingkat Tinggi OKI, yang dihadiri sekitar 30 kepala negara
anggotanya. Tiga buah Jembatan Bosporus yang menghubungkan daratan Asia dan
Eropa memperteguh posisi Kota Istanbul sebagai penghubung budaya Barat dan
Timur, menyimpan warisan sejarah era Yunani, Katolik, Islam, dan peradaban
kontemporer yang kesemuanya masih bisa dilihat dan dirasakan. []
KORAN
SINDO, 29 April 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar