Senin, 16 Mei 2016

Sejarah Tercetusnya Fatwa Ciremai



Sejarah Tercetusnya Fatwa Ciremai

Tradisi bahstul masa'il di kalangan ulama dan kiai Nusantara ternyata sudah berjalan jauh sebelum Jam'iyyah NU ini berdiri (1926). Meski dalam skala yang lebih kecil dan sederhana, forum semacam musyawarah di antara para kiai untuk memutuskan status hukum suatu masalah yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim Nusantara sudah sekian lama ditempuh para kiai kendati tidak membawa nama institusi tertentu.

Salah satu fatwa yang sudah lahir jauh sebelum NU terbentuk, tepatnya ketika warga pribumi Nusantara sedang gencar-gencarnya mengalami tekanan dan eksploitasi dari penjajah Belanda tahun 1880-an ialah “Fatwa Ciremai”. Dinamai fatwa Ciremai karena lokasi musyawarah yang melibatkan beberapa kiai Jawa Barat dan Jawa Tengah wilayah pesisir utara tersebut dilaksanakan di puncak Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat. Mereka yang terlibat mencetuskan fatwa Ciremai ini adalah KH Abdul Jamil (Ayahanda Kiai Abbas Buntet Pesantren, wafat 1919 M), Kiai Shaleh Banda, Kiai Said Gedongan (Cirebon) dan Kiai Sholeh Darat Semarang.

Fatwa Ciremai yang diinisiasi oleh KH Abdul Jamil dari Buntet pesantren, ini dimaksudkan terutama untuk mengantisipasi Dutch Islamic Policy atau kebijakan Belanda mengenai Islam. Pemerintahan kolonial Belanda melalui kebijakan tersebut memiliki tujuan hendak melumpuhkan gerakan perjuangan yang dikobarkan kalangan pesantren, setelah sebelumnya strategi Belanda dalam menghadapi berbagai perlawanan kaum santri di beberapa daerah cukup menguras anggaran dana.

Melalui siasat Dutch Islamic Policy, Belanda berupaya memecahkan persatuan di kalangan ulama, haji, santri, pedagang dan masyarakat umum dengan menumbuhkan perbedaan-perbedaan berlatar belakang sentimen keagamaan, kedaerahan, suku dan adat secara tajam.  Taknik ini mulai dilaksanakan tahun 1889, di mana selaku policy maker-nya adalah Snouck Hurgronje. 

Menghadapi penjajah Belanda dengan segala bentuk rekayasanya, khususnya Dutch Islamic Policy, para kiai tetap konsisten dan konsekuen tak mau bergeser sedikit pun dari sikap final non-cooperative. Tidak mau bekerja sama adalah bentuk sikap final para kiai terhadap setiap penjajah. 

Di antara hasil keputusan musyawarah Ciremai adalah:

1.     Menggalangkan umat Islam untuk tidak menjadi pegawai kolonial Belanda. Hukumnya haram menjadi pegawai Belanda.
2.     Menolak budaya Belanda/Barat dalam mengganjal timbulnya golongan priyayi yang dididik kehidupan Barat. (hukumnya haram meniru busana Barat).
3.     Untuk mengganjal terbentuknya sekte adat, pengembangan tarekat digalakkan.

Setelah pemerintah kolonial Belanda mengetahui isi fatma Ciremai dan bahaya-bahaya yang akan timbul akibat fatwa tersebut terhadap kewibawaan dan kemapanan pemerintahannya, buru-buru mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang hadir bermusyawarah di gunung Ciremai. KH Abdul Jamil, Kiai Sholeh Banda, Kiai Manshur, Kiai Said Gedongan dan Kiai Sholeh Darat Semarang ditangkap Belanda dan dijatuhi hukuman kerja paksa membetulkan jalan disaksikan masyarakat. []

Disarikan dari:  Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara, LKiS: 2014

(M Haromain)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar