Senin, 30 Mei 2016

Cak Nun: Pancasila Oreng Madura



Pancasila Oreng Madura
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Kalau engkau merasa lelah oleh sesuatu di sekelilingmu atau mungkin malah di dalam dirimu yang samar-samar, yang remang-remang, yang beribu tafsir meliputinya, sehingga engkau memerlukan seminggu dua minggu, sebulan dua bulan atau bahkan setahun dua tahun untuk pada suatu saat tiba-tiba menemukan apa yang engkau cari — berikut ini kututurkan kepadamu sesuatu yang sebaliknya, yang gamblang segamblang-gamblangnya.

Seorang Bapak asal Madura lama tinggal di Saudi Arabia menjadi pelayan Haji, guru Sekolah Dasar dan pedagang serabutan, tatkala balik dan mau menghabiskan masa tuanya di Pulau Madura — ia tersinggung kepada petugas Kecamatan. Ia merasa dianggap tidak lagi hapal Pancasila oleh pegawai Negara itu.

“Sampiyan jangan meremehkan saya”, katanya agak keras nadanya, “jangan dipikir saya sudah berubah menjadi orang Arab, terus Sampiyan curigai tidak hapal Pancasila”.

“Maaf ini test standard saja, Pak, untuk setiap warga yang akan memperbarui KTP”, jawab pegawai Kecamatan, “anak-anak kecil sekarang ini banyak yang tidak hapal Pancasila, kami khawatir orang-orang tua juga lupa Pancasila”.

Si Bapak menaikkan volume suaranya. “Pancasila itu hidup mati saya, jiwa raga saya, syariat dunia akherat saya. Siapa saja yang meragukan bahwa saya tidak hapal Pancasila, saya anggap itu nantang carok sama saya!”

Pegawai kecamatan mencoba menenangkan. “Begini saja Pak, daripada kita nanti bertengkar sungguhan, lebih baik Bapak langsung sebut saja urut-urutan Pancasila….”

Belum selesai kalimat si pegawai, Bapak Madura kita langsung dengan tempo sangat cepat menyebut Pancasila: “Satu syahadat dua shalat tiga zakat empat puasa lima haji, Pak”

“Lhaaa ya thooo, Sampiyan tidak hapal Pancasila”.

“Tidak hapal bagaimana, kurang apa, sudah saya sebut satu persatu Pancanya Sila….”

“Yang Bapak sebut tadi itu Rukun Islam, bukan Pancasila”

Si Madura membantah. “Lhooo Pancasila itu ya Rukun Islam, Rukun Islam itu ya Pancasila”

“Ya ndak to Pak. Pancasila sendiri, Rukun Islam lain lagi”.

“Lho bagaimana Sampiyan ini. Kalau Pancasila tidak sama dengan Rukun Islam, `dak mau saya!”

“Lho kok ndak mau? Itu wajib bagi setiap warga Indonesia. Kalau Rukun Islam itu urusan kita sebagai orang Islam”.

“Tidak bisa. Pancasila adalah Rukun Islam, Rukun Islam adalah Pancasila. Hidup ini harus jelas dan tegas. `Dak bisa kaki kanan saya berjalan pakai Pancasila, kaki kiri saya melangkah dengan Rukun Islam”.

Si pegawai mencoba mengendorkan situasi. Ia tersenyum diramah-ramahkan kemudian bertanya, “Tapi maaf ya Pak, katanya Bapak punya istri dua….”

“Ya memang!”, si Madura menyahut spontan, “Mukeni dan Samiatun. Tapi mereka sudah satu dalam hati saya”.

“Tapi kan tetap dua”

“Dak bisa. Mukeni ya Samiatun, Samiatun ya Mukeni. Sampiyan ini `dak tahu cinta rupanya”.

Akhirnya si pegawai Kecamatan merasa bahwa ia tidak akan sanggup memperpanjang perdebatan dengan jenis orang seperti ini. Pasti akan nambah masalah, tidak mungkin mengurangi atau apalagi menyelesaikan masalah.

“Sebentar, Pak. Tolong tunggu sebentar saja di sini”.

Ia pamit. Berdiri, melangkah ke arah ruang dalam kantor Kecamatan. Menemui Pak Camat langsung.

Ternyata agak lama. Si Bapak Madura hampir saja naik pitam, ia sudah sempat pukul-pukul meja. Kalau si pegawai lebih lama lagi nongolnya, mungkin dari memukul-mukul meja meningkat menjadi menggebrak-gebrak meja, dan kecil kemungkinan untuk tidak memuncak menjadi menendang-nendang dan memecah meja.

Hampir saja ia lakukan itu, kalau saja tidak tiba-tiba ternyata Pak Camat sendiri yang keluar menemuinya.

Pak Camat menemuinya, mengulurkan tangan menyalaminya, menyapa dengan satu dua kata Bahasa Arab, si Madura hanya menjawab “shadaqallahul’adhim!”.

Tetapi diam-diam si Bapak Madura ini agak mulai melunak hatinya. Ia merasa terhormat karena Pak Camat sendiri berkenan langsung menemuinya. Bahkan kemudian ia terheran-heran, Pak Camat mengajaknya pergi dengan mobilnya. Ia agak salah tingkah.

Ternyata ke rumah seorang Kiai tidak jauh dari Kantor Kecamatan. Harap dimafhumi di Pulau Madura di setiap RT ada Musholla, di setiap RW ada Masjid dan di setiap Kelurahan ada Pesantren. Bapak Madura ini merasa lebih terhormat lagi karena akan bertemu langsung dengan Pak Kiai, apalagi ia ke situ bersama Pak Camat.

Alhasil mereka berdua berjumpa Pak Kiai. Ditemui di ruang tamu Pesantren. Dua orang santri menangani konsumsi untuk mereka. Pak Camat menyeret Pak Kiai ke pojok agak jauh, kemudian mereka berbisik-bisik. Si Bapak Madura terkejut karena tiba-tiba terdengar Pak Kiai tertawa terbahak-bahak.

Mereka berdua bergeser ke kursi tamu, duduk bertiga berhadapan. Pak Kiai kontak sambil masih agak tertawa bertanya kepada si Bapak Madura: “Coba Sampiyan sebutkan Pancasila….”

Si Bapak Madura langsung memamerkan pengetahuan dan hapalannya tentang Pancasila. “Pancasila satu syahadat dua shalat tiga zakat empat puasa lima haji”.

Pak Kiai tertawa lagi dan memuji Si Bapak Madura. “Shadaqallahul’adhim. Benar sekali Sampiyan ini”.
Pak Camat yang kaget. “Lho kok benar?”

Pak Kiai tertawa lagi. “Sampiyan ini sejak jadi Camat malas belajar. Tapi biasa Pemerintah memang begitu. Kalau rajin belajar itu namanya Santri, bukan Pemerintah”.

“Saya tidak mengerti, Pak Kiai”, kata Pak Camat.

“Lhoooo Allah Maha Benar dan benar juga yang dikatakan Bapak tadi itu. Pancasila yang pertama itu syahadat, artinya bersaksi bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Nomer dua kita shalat tiap hari lima kali untuk mendidik diri kita agar menjadi manusia yang adil dan beradab. Nomer tiga organisasi-organisasi masyarakat dan terutama partai-partai politik harus bersatu memberikan seluruh niat baiknya untuk membangun Negara. Parpol-parpol itu kita beri hak untuk menjadi arsitek dibangunnya sistem Negara. Untuk itu mereka harus menjaga Persatuan Indonesia, jangan bersaing untuk kepentingan, jangan menang-menangan satu sama lain, jangan mementingkan golongannya masing-masing untuk berkuasa. Sebab Sila keempat adalah bangunan Negara, milik Rakyat yang dipimpin oleh Permusyawaratan dan Perwakilan. Kalau empat Sila itu tidak terpenuhi, mana mungkin bangsa kita mencapai cita-citanya, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Duh-aduuuh, mestinya Sampiyan Pak Camat yang omong begini. Kalau saya ini Kiai tugasnya kan Nahwu Shorof. Lha Sampiyan Nahwu Shorof `dak tahu, Pancasila juga `dak ngerti….” []

Dari CN kepada anak-cucu dan JM
5 Pebruari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar