Rabu, 11 Mei 2016

Buya Syafii: UIN Sunan Kalijaga dan Energi Intelektualnya



UIN Sunan Kalijaga dan Energi Intelektualnya
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sebagai anak kampung di pedalaman Sumatra Barat yang sempat belajar di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta pertengahan abad ke-20, saya memandang Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), berdiri pada 1951, cikal-bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai pusat pendidikan tinggi Islam yang ikonik.

Apalagi, kakak sesuku saya, almarhum Prof DR M Sanusi Latief (1928-1994), kuliah dan kemudian menjadi dosen di lembaga ini. Bagi anak kampung seperti saya, mimpi untuk dapat kuliah di PTAIN adalah sebuah kemewahan yang luar biasa.

Kultur kampung yang serbatertinggal telah membawa saya kepada penilaian yang agak berlebihan ini. Namun, saya tidak menyesal karena memang perasaan itulah yang bergayut di benak saya ketika itu.
Namun, apa daya, kematian ayah dan kesulitan ekonomi, hasrat untuk belajar di PTAIN tidak pernah jadi kenyataan sekalipun beberapa tahun kemudian saya sempat menjadi dosen tak tetap di sana. Ringkas cerita, dari PTAIN berubah menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pada 1960, sebelum terbentuk Universitas Islam Negeri (UIN) sejak 2004, saya merasa dekat dengan lembaga ini.

Terbersit harapan agar UIN akan muncul sebagai perguruan tinggi Islam dengan keadaban politik yang tinggi dan penuh wibawa, di sisi kualitas akademiknya yang terus maju dan berkembang.

Apa itu keadaban politik? Tidak lain dari suasana politik kampus dalam kultur saling percaya di antara pihak yang terlibat di mana kepentingan akademik mengalahkan kepentingan golongan dan subkultur umat Islam. Juga, wawasan keislaman para dosennya telah melampaui kotak-kotak umat yang ada di akar rumput.

Apalagi, menurut sumber UIN, sejak 2004 lembaga ini mulai memasuki periode transformasi. Salah satu wujudnya tentu saja bahwa dalam proses pemilihan pimpinan, misalnya, kriteria utama harus berdasarkan merit system, menyerahkan pimpinan strategis kepada mereka dengan kualitas kompetensi dan komitmen yang mumpuni demi kemajuan lembaga.

Dalam teori politik dikenal sebagai meritokrasi, sebuah sistem yang memberikan posisi tertinggi kepada orang yang paling mampu. Pertimbangan latar belakang golongan dan subkultur menjadi tidak relevan.

Saya tidak tahu apakah selama periode transformasi sejak 12 tahun yang lalu UIN Sunan Kalijaga sudah melangkah ke jurusan itu atau tetap berkutat dalam lingkaran setan subkultur politik yang “merendahkan” pertimbangan akademik dan moral. Situasi akan semakin runyam jika menteri yang membawahi UIN adalah seorang partisan, tidak menghargai statuta sebuah lembaga senat universitas yang semestinya punya final say dalam perkara penting lembaga.

Jika itu yang berlaku, slogan periode transformasi lebih baik diganti menjadi periode involusi yang menyesakkan napas bagi semua orang yang ingin mengucapkan selamat tinggal kepada citra subkultur dengan tingkat keadaban yang masih medioker.

UIN Yogyakarta sekarang telah memiliki beberapa doktor dan guru besar dengan latar belakang pendidikan tinggi hasil ramuan Barat dan Timur. Ini sebuah kelebihan yang nyaris tidak ditemui sampai 1980-an dalam jumlah yang memadai.

Dengan modal intelektual seperti ini, semestinya lembaga ini mampu berperan setidak-tidaknya pada tingkat nasional karena buah pemikirannya dinlai berkualitas tinggi yang sangat diperlukan oleh bangsa ini, sebuah bangsa Muslim terbesar secara kuantitatif di muka bumi.

Sejauh pantauan saya, barulah sejumlah kecil doktor dan guru besar lembaga ini yang sudah didengar suaranya oleh publik secara luas. Bukan untuk berbangga-bangga, melainkan pada saat bangsa ini masih rentan secara moral di tengah politik kekuasaan yang rakus maka suara kampus semua UIN dan IAIN di seluruh Tanah Air diharapkan menawarkan pencerahan yang terus menerus kepada kita semua.

Suara itu bukan suara golongan atau subkultur, melainkan suara Islam kenabian yang halus, cerdas, menyentuh, dan universal. Sebagai lembaga tinggi dalam kajian keislaman, UIN secara teori punya otoritas untuk menyuarakan pesan kenabian itu jika saja ada kesadaran untuk itu.

Ramuan antara kearifan Timur dan Barat dengan baik dilukiskan dalam bahasa puitis Iqbal di bawah ini:

Di Barat, intelek adalah sumber kehidupan.
Di Timur, cinta adalah dasar kehidupan.
Melalui cinta, intelek tumbuh berkenalan dengan realitas,
Dan intelek memberikan stabilitas kepada kerja cinta,
Bangunlah dan letakkan fondasi sebuah dunia baru,
Dengan mengawinkan intelek pada cinta.

(Dikutip oleh William O Douglas dalam Hafeez Malik (ed), Iqbal: Poet-Philosopher of Pakistan. New York and London: Columbia University Press, 1971, hlm X).

Mungkin, harapan saya terlalu tinggi kepada UIN. Tetapi, itulah tantangan yang mesti dijawab dan ke arah itulah energi intelektual para dosennya mesti dikerahkan, bukan kepada yang lain. []

REPUBLIKA, 10 Mei 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar