Selasa, 03 Mei 2016

Dua Kiai "Gila" Beda Zaman



Dua Kiai "Gila" Beda Zaman
Oleh: Muhammad Faishol

Kharisma dan kewibaan Gus Dur sebagai salah satu kiai NU yang paling berpengaruh tampaknya tak pernah pudar ditelan zaman. Keharuman spiritual yang eksotis, begitu lekat dan fenomenal. Namun di balik nama besarnya, ternyata maqom tersebut tidak diperoleh dengan instan. Ada beberapa kebiasaan ‘gila’ yang istiqomah dilakukan Gus Dur semasa hidup.

Gus Dur adalah sosok yang sederhana. Bahkan menurut pengakuan putri-putrinya, tak jarang Gus Dur tidak punya uang untuk keluarga, meskipun sebenarnya banyak yang memberi kepada mantan Ketua PBNU itu. Hal ini berkaitan dengan salah satu prinsipnya, ‘Terima Kasih’. Diterima lalu dikasihkan orang lain, begitulah Gus Dur. Setiap hari ada saja orang yang meminta sumbangan, hampir semua diberi. Dari kebiasaan tersebut, ternyata banyak orang yang tuman (ketagihan) meminta uang. Tak pelak, hal ini membuat Allisa Wahid sering protes. “Pak, mereka cuma bohongin Bapak,” ujar  putri sulung mantan Presiden RI ke-4 itu.

Gus Dur hanya menjawab, “Ini uang titipane rakyat. Perkara rakyat itu bohong, itu urusan dia dengan Allah.” Berapapun nominal uang yang disimpan, dengan entengnya Gus Dur memberikannya kepada orang lain. Ternyata, kebiasaan ‘gila’ itu sudah menjadi tradisi kiai-kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Hampir sama dengan Gus Dur, ada sosok lain yang menyerupai yakni KH Marzuki Mustamar. Ada cerita begini. Usai memberikan ceramah pengajian di daerah Pasuruan, salah satu Syuriyah PWNU Jatim ini dihampiri banyak orang, bukan karena ingin memberikan “salam tempel”, justru sebaliknya, banyak orang yang meminta uang. Tanpa berfikir panjang, amplop yang didapat usai ngisi pengajian dibuka, dan dibagi-bagikan dengan nominal yang cukup besar tentunya. Menurut pengakuan sopirnya, kebiasaan seperti ini tidak terjadi sekali dua kali dilakukan oleh kiai kelahiran Blitar ini. Alhasil, tak jarang kiai pulang ke rumah tanpa membawa apa-apa. Menurut pihak lain, David Rahmat Hakiki, salah satu jamaah yang biasa sowan ke ndalem mengatakan, “Abah iku melebune due’ cepet, metune yo cepet, mergane sering nggak peritungan nak soal uang (Abah itu masuk-keluarnya uang cepet. Pasalnya, sering tidak diperhitungkan nominal uang yang akan diberikan kepada orang lain). Ah, disaat banyak orang mengejar dunia, ternyata masih ada dua sosok manusia ‘gila’ yang mau membagi-bagikan uangnya kepada orang lain.

Untuk urusan keluarga, ternyata ada beberapa kesamaan antara dua sosok kiai kharismatik ini. Menurut Allisa Wahid di salah satu acara televisi nasional saat memberikan testimoninya dalam nuansa Hari Ayah (Father’s Day) yang biasa diperingati pada pekan ketiga bulan Juni beberapa tahun silam. Dirinya menuturkan bahwa Gus Dur bukan hanya milik anak-anak kandungnya. Anak ideologisnya banyak, sehingga dimanapun berada Allisa akan merasa aman-aman saja. Namun, ada satu hal yang menurutnya ‘nggak enak’ jadi putrinya Gus Dur. Yaitu, selama hidup hanya dua-tiga kali Gus Dur memiliki waktu penuh untuk liburan, selebihnya prioritas Gus Dur untuk Islam, Indonesia, baru yang terakhir keluarga.

Begitu juga dengan Abah Yai Marzuki, sapaan akrab santri Pondok Pesantren Sabilurrosyad saat memanggil nama kiai yang memiki tujuh anak ini. Meskipun jadwalnya padat untuk memberikan ceramah di pelbagai kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Ternyata hal ini tidak mengurangi keistiqomahannya untuk mengajar santri di pesantren miliknya di daerah Gasek Kecamatan Sukun Kota Malang. Pokonya ada waktu pas di ndalem, entah itu ba’da shubuh, dhuhur, ashar, maghrib, isya’ selalu menyempatkan untuk ‘ngajar’ santri-santrinya.

Suatu ketika, menurut penuturan salah satu santri Sabilurrosyad,  Jum’at 19 Februari 2016, dari hasil pemeriksaan laboratorium Rumah Sakit Islam (RSI) Unisma salah satu putri kandung beliau, Rosa Rahmania (Ning Ocha) divonis terserang Demam Berdarah (DB). Tak pelak, hal ini mengharuskan putrinya tersebut di opname. Saat para santri banyak yang ingin jenguk, lah tiba-tiba Kiai Marzuki malah tepuk tangan tanda santri harus segera ke masjid karena akan ngaji. Sontak, para santri juga bingung, putrinya lagi sakit kok malah ngaji. Inilah kebiasaan dua kiai kharismatik, yang mendahulukan kepentingan umat, dibanding kepentingan keluarga dan pribadinya.

Kegilaan yang terakhir yaitu kesetiaan dua kiai ini kepada satu istrinya. Selama hidupnya, Gus Dur sebenarnya punya banyak alasan dan kesempatan untuk melakukan poligami. Namun, dia tidak melakukan itu. Sampai akhir hayat, Gus Dur memilih setia kepada Sinta Nuriyah, kendati tidak dikaruniai seorang pun anak laki-laki.

Bukan rahasia umum, banyak pihak di kalangan NU yang 'tidak rela' jika seorang kiai 'hanya' memiliki anak perempuan. Ya, Gus Dur yang memiliki empat anak perempuan sempat disarankan untuk menikah lagi, bahkan sering diperkenalkan dengan perempuan-perempuan lain untuk 'nikah siri' demi mempunyai keturunan laki-laki. Namun, dia menentang dan memilih 'kabur' dari perempuan-perempuan itu.

Salah satu cerita yang mungkin jarang orang tahu, suatu ketika saat Gus Dur sowan ke salah satu kiai sepuh di Problinggo, tiba-tiba shohibul bait (tuan rumah) memanggil seorang laki-laki yang dikuti beberapa orang lainnya. Mereka akhirnya terlibat obrolan dan guyonan bersama. Setelah ngobrol ngalor ngidul, kiai sepuh itu bilang, ”Bapak ini kepingin sekali bil barokah dari Gus Dur.”

Bil barokah? Apa pula maksud kiai ini? Gus Dur heran dan terkejut. Wong niat datang ke Probolinggo hanya sekedar sowan kok malah ditodong bil barokah segala, pikirnya.

“Bil barokah gimana yai?” tanya Gus Dur. Sang kiai menjelaskan, ”Ini anaknya minta dinikahkan sekarang juga dengan Gus Dur, dan ini orang tuanya yang datang sendiri. Kalau perlu nanti anaknya juga segera didatangkan.”

Setelah terdiam sebentar, dengan grogi Gus Dur berkata, “Yai kamar mandinya dimana? Saya izin ke belakang”. Gus Dur segera bangun dari duduknya, dan menyelinap keluar lewat pintu belakang. Langsung ‘ngacir’ untuk pulang karena takut dinikahkan.

Begitu juga dengan Kiai Marzuki, menurut cerita, kiai yang juga santri dari Almaghfurlah KH Masduqi Mahfudh ini memiliki pandangan yang lebih ringkas terkait poligami. Baginya, keinginan seorang menikah lebih dari satu istri, hendaknya melalui berbagai pertimbangan, bukan semata kepentingan libido. Dirinya mengakui dan membenarkan bahwa Islam tidak melarang umatnya untuk menikah lebih dari satu istri. Akan tetapi hal tersebut hendaknya dipikir secara matang. Menurutnya, tidak fair rasanya saat menikah dengan istri pertama hidup prihatin, masih mempersiapkan landasan keluarga, serta ekonomi yang penuh duka sementara setelah sukses menikah lagi dan istri selanjutnya tinggal menikmati kesuksesan tersebut.

Kiai Marzuki sendiri mengaku butuh waktu 10 tahun untuk bisa merasakan hidup cukup seperti saat ini. Apalagi dalam beberapa kasus (tidak semua), kebanyakan keberadaan istri kedua mendapat perhatian lebih dibanding istri pertama. Padahal, untuk bisa melahirkan anak-anak yang cerdas dan berakhlak mulia harus diawali dengan kondisi calon ibu yang memiliki kesiapan fisik dan psikis yang baik. ”Bagaimana akan lahir anak yang cerdas dan memiliki banyak keunggulan kalau sang ibu merasa tidak bahagia dikala hamil,” ungkapnya. Malahan, ketika rutinan ngaji wetonan di Pesantren Sabilurrosyad, Kiai Marzuki memberi peringatan tegas kepada salah satu putranya, Habib Nur Ahmad, yang saat itu juga sedang mengikuti wetonan, ”Habib, engkok lek atene nikah, kudu gawe surat peryataan bermaterai ben nggak wayuh (Habib nanti kalau mau menikah harus membuat surat peryataan bermaterai agar nantinya tidak poligami)” ujar Kiai Marzuki yang sontak membuat ratusan santri tertawa terpingkal-pingkal.

Yah, dua orang kiai beda zaman ini ternyata hanya ‘tergila-gila’ dengan seorang istri, bukan banyak istri. []

Penulis adalah Wartawan Kombis Jawa Pos Radar Malang dan Redaktur Pelaksana Media Santri NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar