Dua Kiai
"Gila" Beda Zaman
Oleh: Muhammad
Faishol
Kharisma dan kewibaan
Gus Dur sebagai salah satu kiai NU yang paling berpengaruh tampaknya tak pernah
pudar ditelan zaman. Keharuman spiritual yang eksotis, begitu lekat dan
fenomenal. Namun di balik nama besarnya, ternyata maqom tersebut tidak
diperoleh dengan instan. Ada beberapa kebiasaan ‘gila’ yang istiqomah dilakukan
Gus Dur semasa hidup.
Gus Dur adalah sosok
yang sederhana. Bahkan menurut pengakuan putri-putrinya, tak jarang Gus Dur
tidak punya uang untuk keluarga, meskipun sebenarnya banyak yang memberi kepada
mantan Ketua PBNU itu. Hal ini berkaitan dengan salah satu prinsipnya, ‘Terima
Kasih’. Diterima lalu dikasihkan orang lain, begitulah Gus Dur. Setiap hari ada
saja orang yang meminta sumbangan, hampir semua diberi. Dari kebiasaan
tersebut, ternyata banyak orang yang tuman (ketagihan) meminta uang. Tak pelak,
hal ini membuat Allisa Wahid sering protes. “Pak, mereka cuma bohongin Bapak,”
ujar putri sulung mantan Presiden RI ke-4 itu.
Gus Dur hanya
menjawab, “Ini uang titipane rakyat. Perkara rakyat itu bohong, itu urusan dia
dengan Allah.” Berapapun nominal uang yang disimpan, dengan entengnya Gus Dur
memberikannya kepada orang lain. Ternyata, kebiasaan ‘gila’ itu sudah menjadi
tradisi kiai-kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Hampir sama dengan
Gus Dur, ada sosok lain yang menyerupai yakni KH Marzuki Mustamar. Ada cerita
begini. Usai memberikan ceramah pengajian di daerah Pasuruan, salah satu
Syuriyah PWNU Jatim ini dihampiri banyak orang, bukan karena ingin memberikan
“salam tempel”, justru sebaliknya, banyak orang yang meminta uang. Tanpa
berfikir panjang, amplop yang didapat usai ngisi pengajian dibuka, dan
dibagi-bagikan dengan nominal yang cukup besar tentunya. Menurut pengakuan
sopirnya, kebiasaan seperti ini tidak terjadi sekali dua kali dilakukan oleh
kiai kelahiran Blitar ini. Alhasil, tak jarang kiai pulang ke rumah tanpa
membawa apa-apa. Menurut pihak lain, David Rahmat Hakiki, salah satu jamaah
yang biasa sowan ke ndalem mengatakan, “Abah iku melebune due’ cepet, metune yo
cepet, mergane sering nggak peritungan nak soal uang (Abah itu masuk-keluarnya
uang cepet. Pasalnya, sering tidak diperhitungkan nominal uang yang akan
diberikan kepada orang lain). Ah, disaat banyak orang mengejar dunia, ternyata
masih ada dua sosok manusia ‘gila’ yang mau membagi-bagikan uangnya kepada
orang lain.
Untuk urusan
keluarga, ternyata ada beberapa kesamaan antara dua sosok kiai kharismatik ini.
Menurut Allisa Wahid di salah satu acara televisi nasional saat memberikan
testimoninya dalam nuansa Hari Ayah (Father’s Day) yang biasa diperingati pada
pekan ketiga bulan Juni beberapa tahun silam. Dirinya menuturkan bahwa Gus Dur
bukan hanya milik anak-anak kandungnya. Anak ideologisnya banyak, sehingga
dimanapun berada Allisa akan merasa aman-aman saja. Namun, ada satu hal yang
menurutnya ‘nggak enak’ jadi putrinya Gus Dur. Yaitu, selama hidup hanya
dua-tiga kali Gus Dur memiliki waktu penuh untuk liburan, selebihnya prioritas
Gus Dur untuk Islam, Indonesia, baru yang terakhir keluarga.
Begitu juga dengan
Abah Yai Marzuki, sapaan akrab santri Pondok Pesantren Sabilurrosyad saat
memanggil nama kiai yang memiki tujuh anak ini. Meskipun jadwalnya padat untuk
memberikan ceramah di pelbagai kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Ternyata
hal ini tidak mengurangi keistiqomahannya untuk mengajar santri di pesantren
miliknya di daerah Gasek Kecamatan Sukun Kota Malang. Pokonya ada waktu pas di
ndalem, entah itu ba’da shubuh, dhuhur, ashar, maghrib, isya’ selalu
menyempatkan untuk ‘ngajar’ santri-santrinya.
Suatu ketika, menurut
penuturan salah satu santri Sabilurrosyad, Jum’at 19 Februari 2016, dari
hasil pemeriksaan laboratorium Rumah Sakit Islam (RSI) Unisma salah satu putri
kandung beliau, Rosa Rahmania (Ning Ocha) divonis terserang Demam Berdarah
(DB). Tak pelak, hal ini mengharuskan putrinya tersebut di opname. Saat para
santri banyak yang ingin jenguk, lah tiba-tiba Kiai Marzuki malah tepuk tangan
tanda santri harus segera ke masjid karena akan ngaji. Sontak, para santri juga
bingung, putrinya lagi sakit kok malah ngaji. Inilah kebiasaan dua kiai
kharismatik, yang mendahulukan kepentingan umat, dibanding kepentingan keluarga
dan pribadinya.
Kegilaan yang
terakhir yaitu kesetiaan dua kiai ini kepada satu istrinya. Selama hidupnya,
Gus Dur sebenarnya punya banyak alasan dan kesempatan untuk melakukan poligami.
Namun, dia tidak melakukan itu. Sampai akhir hayat, Gus Dur memilih setia
kepada Sinta Nuriyah, kendati tidak dikaruniai seorang pun anak laki-laki.
Bukan rahasia umum,
banyak pihak di kalangan NU yang 'tidak rela' jika seorang kiai 'hanya'
memiliki anak perempuan. Ya, Gus Dur yang memiliki empat anak perempuan sempat
disarankan untuk menikah lagi, bahkan sering diperkenalkan dengan
perempuan-perempuan lain untuk 'nikah siri' demi mempunyai keturunan laki-laki.
Namun, dia menentang dan memilih 'kabur' dari perempuan-perempuan itu.
Salah satu cerita
yang mungkin jarang orang tahu, suatu ketika saat Gus Dur sowan ke salah satu
kiai sepuh di Problinggo, tiba-tiba shohibul bait (tuan rumah) memanggil
seorang laki-laki yang dikuti beberapa orang lainnya. Mereka akhirnya terlibat
obrolan dan guyonan bersama. Setelah ngobrol ngalor ngidul, kiai sepuh itu
bilang, ”Bapak ini kepingin sekali bil barokah dari Gus Dur.”
Bil barokah? Apa pula
maksud kiai ini? Gus Dur heran dan terkejut. Wong niat datang ke Probolinggo
hanya sekedar sowan kok malah ditodong bil barokah segala, pikirnya.
“Bil barokah gimana
yai?” tanya Gus Dur. Sang kiai menjelaskan, ”Ini anaknya minta dinikahkan
sekarang juga dengan Gus Dur, dan ini orang tuanya yang datang sendiri. Kalau
perlu nanti anaknya juga segera didatangkan.”
Setelah terdiam
sebentar, dengan grogi Gus Dur berkata, “Yai kamar mandinya dimana? Saya izin
ke belakang”. Gus Dur segera bangun dari duduknya, dan menyelinap keluar lewat
pintu belakang. Langsung ‘ngacir’ untuk pulang karena takut dinikahkan.
Begitu juga dengan
Kiai Marzuki, menurut cerita, kiai yang juga santri dari Almaghfurlah KH
Masduqi Mahfudh ini memiliki pandangan yang lebih ringkas terkait poligami.
Baginya, keinginan seorang menikah lebih dari satu istri, hendaknya melalui
berbagai pertimbangan, bukan semata kepentingan libido. Dirinya mengakui dan
membenarkan bahwa Islam tidak melarang umatnya untuk menikah lebih dari satu
istri. Akan tetapi hal tersebut hendaknya dipikir secara matang. Menurutnya,
tidak fair rasanya saat menikah dengan istri pertama hidup prihatin, masih
mempersiapkan landasan keluarga, serta ekonomi yang penuh duka sementara
setelah sukses menikah lagi dan istri selanjutnya tinggal menikmati kesuksesan
tersebut.
Kiai Marzuki sendiri
mengaku butuh waktu 10 tahun untuk bisa merasakan hidup cukup seperti saat ini.
Apalagi dalam beberapa kasus (tidak semua), kebanyakan keberadaan istri kedua
mendapat perhatian lebih dibanding istri pertama. Padahal, untuk bisa
melahirkan anak-anak yang cerdas dan berakhlak mulia harus diawali dengan
kondisi calon ibu yang memiliki kesiapan fisik dan psikis yang baik. ”Bagaimana
akan lahir anak yang cerdas dan memiliki banyak keunggulan kalau sang ibu
merasa tidak bahagia dikala hamil,” ungkapnya. Malahan, ketika rutinan ngaji
wetonan di Pesantren Sabilurrosyad, Kiai Marzuki memberi peringatan tegas
kepada salah satu putranya, Habib Nur Ahmad, yang saat itu juga sedang
mengikuti wetonan, ”Habib, engkok lek atene nikah, kudu gawe surat peryataan
bermaterai ben nggak wayuh (Habib nanti kalau mau menikah harus membuat surat
peryataan bermaterai agar nantinya tidak poligami)” ujar Kiai Marzuki yang
sontak membuat ratusan santri tertawa terpingkal-pingkal.
Yah, dua orang kiai
beda zaman ini ternyata hanya ‘tergila-gila’ dengan seorang istri, bukan banyak
istri. []
Penulis
adalah Wartawan Kombis Jawa Pos Radar Malang dan Redaktur Pelaksana Media
Santri NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar