Musim Politik
Basuki
Oleh:
Budiarto Shambazy
Kita
memasuki musim politik yang "tidak biasa" sehubungan dengan Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta yang baru akan berlangsung Februari 2017. Musim politik
menjadi tidak biasa karena situasi dan kondisi politik nasional beberapa bulan
terakhir sudah mulai panas sekalipun Pilgub DKI masih lama.
Sikon
(situasi dan kondisi) menjadi panas karena Gubernur DKI merupakan jabatan vital
dan strategis, terutama sebagai administrator ibu kota negara yang layak
dipandang sebagai "Indonesia kecil" ini. Ada fenomena baru: jika
sukses memimpin ibu kota, sang gubernur sudah "naik kelas" untuk
memimpin sebagai Presiden Indonesia.
Suka atau
tidak, itulah yang dijalani Presiden Joko Widodo yang melompat dari Jalan
Merdeka Selatan ke Jalan Merdeka Utara. Terlebih lagi Jokowi memenangi Pilgub
DKI 2012 berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang sekarang
Gubernur DKI.
Jadi, ada
anggapan upaya Basuki terpilih kembali menjadi Gubernur DKI sebagai batu
loncatan untuk menuju ke panggung nasional. Basuki sekurang-kurangnya
diasumsikan akan mendampingi Jokowi sebagai wapres tahun 2019.
Tidak ada
yang keliru dengan ambisi memasuki panggung nasional. Dalam politik berlaku
pepatah "gantungkanlah cita-citamu setinggi langit biru".
Dan, kita
melihat pula sejumlah bacagub/bacawagub lain yang tentu saja mematok target
yang serupa. Sebagai informasi, kini telah beredar lebih dari 30 nama yang
sudah mendaftarkan diri sebagai bacagub/bacawagub ke sejumlah partai.
Masih ada
waktu beberapa bulan bagi partai untuk menyesuaikan diri dalam penjaringan
bakal calon gubernur/bakal calon wakil gubernur (bacagub/bacawagub). Politik
tak mudah diduga akhir ceritanya, yang bahagia jadi kecewa atau sebaliknya.
Bukan
mustahil PDI-P, misalnya, akan mendukung duet Basuki-Djarot Saiful Hidayat pada
saat-saat terakhir atas perintah Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Juga
bisa terjadi lagi, Gerindra kembali membujuk Basuki "pulang ke
rumah".
Musim
politik yang tidak biasa ini menjadi panas karena kita warga Jakarta
berkesempatan menyaksikan puluhan nama bacagub/bacawagub yang beredar di media
massa ataupun media sosial. Banyak di antaranya nama-nama beken, seperti Wali
Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah
Ganjar Pranowo, pengusaha muda Sandiaga Uno, Ketua Umum Partai Bulan Bintang
Yusril Ihza Mahendra, musisi Ahmad Dhani, dan seterusnya.
Pilgub
belum terjadi, tetapi prosesnya telah menjadi sebuah political catwalk yang
ingar bingar. Setiap bacagub/bacawagub unjuk diri dengan pernyataan, tampilan,
taglines, dan program yang layak jual.
Yusril,
misalnya, memperkenalkan program pemprov akan membeli sampah dari warga
Jakarta. Teguh Santosa menyajikan tagline siap 24 jam bekerja untuk melayani
warga.
Akan
lebih banyak manfaatnya bagi kita warga Jakarta mendengar, melihat, dan
mempelajari program-program mereka. Akan lebih banyak mudaratnya bagi kita
warga Jakarta dicekoki fitnah-fitnah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan)
yang murahan.
Melihat
Pilgub DKI 2012, fitnah-fitnah SARA sudah tidak laku lagi. Warga ibu kota
Jakarta sudah lama rasional dan akan memilih pemimpin yang bekerja melayani
kepentingan mereka sehari-hari.
Musim
politik yang tidak biasa ini menjadi panas karena melibatkan pula pemerintah
pusat, KPK, dan BPK yang berkaitan dengan reklamasi Teluk Jakarta dan pembelian
lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Entah sudah berapa puluh orang, termasuk
Basuki, yang telah dipanggil menjadi saksi KPK.
Namun,
kini kita warga Jakarta menjadi paham bahwa reklamasi yang diputuskan sejak era
Orde Baru itu ada positif dan negatifnya. Kita juga menjadi tahu bahwa di lahan
RS Sumber Waras itu akan dibangun rumah sakit kanker berkapasitas 1.000 tempat
tidur.
Musim
politik yang kali ini tidak biasa menjadi panas karena sosok Basuki sebagai
petahana. Oleh sebab itu, adalah wajar Basuki berada dalam posisi defensif
diserang para bacagub/bacawagub.
Sama
seperti sejumlah pemimpin daerah yang terbilang sukses, Basuki masuk dalam
kategori pemimpin yang otentik. Pemimpin yang otentik itu bersikap dan berkata
apa adanya, kurang sempurna karena bukan malaikat, dan sukar berubah.
Bagi
sebagian warga, Basuki dipandang sebagai "figur pemecah belah" (a
dividing figure). Namun, sekurang-kurangnya jika merujuk pada pengumpulan
dukungan lewat KTP yang diorganisasi oleh kelompok relawan Teman Ahok, tak sedikit
pula warga Jakarta yang ingin Basuki terpilih kembali.
Begitulah
musim politik yang tidak biasa yang sedang kita masuki ini. Inilah "musim
politik Basuki" yang akan kita jalani sampai akhir masa jabatan Oktober
2017 atau terus berlanjut setelah itu? []
KOMPAS,
30 April 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior Kompas
Coba kalian baca juga nih mengenai Perbedaan Pemilu 2014 dan 2019
BalasHapus