Rabu, 02 Maret 2016

Yudi Latif: Joey Alexander dan Politik Kreativitas



Joey Alexander dan Politik Kreativitas
Oleh: Yudi Latif

Di tengah mentalitas pecundang yang melumpuhkan prestasi bangsa di berbagai bidang, seorang musisi prodigy asal Bali, Joey Alexander, mengibarkan bendera Indonesia menjulang tinggi di belantika musik dunia. Untuk pertama kali dalam sejarah Grammy Awards, bocah berusia 12 tahun dinominasikan dalam dua kategori untuk pencapaian yang luar biasa dalam kreativitas improvisasi musik jazz. Bukan hanya itu, ia pun tampil di panggung utama Grammy Awards dan ditahbiskan sebagai simbol regenerasi musik dunia.

Joey tidak sendirian. Ada jutaan anak berbakat yang terus terpendam dalam lumpur waktu. Tidak seberuntung Joey yang dapat menemukan ekosistem kreativitas, berkat perjumpaannya dengan berbagai musisi melalui pengembaraan studi musiknya dari Bali, Jakarta, hingga New York; bahan-bahan batu mulia Indonesia lainnya tetap teronggok di tempatnya tanpa wahana yang memungkinkan bisa digosok menjadi permata.

Kisah tersebut menjelaskan kreativitas tidak semata-mata menyangkut soal bakat. Kreativitas adalah proses penciptaan melalui mana domain simbolik dalam kebudayaan berubah (nyanyian baru, ide baru, mesin baru). Kreativitas adalah segala tindakan, ide, atau produk yang mengubah domain budaya, atau yang mentransformasikan domain yang ada menjadi sesuatu yang baru.

Orang-orang berbakat hanya akan menjadi pribadi kreatif apabila menemukan ekosistem kreativitas yang dihasilkan oleh interaksi dari suatu sistem yang terdiri dari tiga elemen. Pertama, domain simbolik (biasanya disebut budaya) yang berisi seperangkat aturan, prosedur, pengetahuan, dan informasi (meme) simbolik; sebagai titik tolak sekaligus titik ubah dari kreativitas.

Kedua, bidang pendukung meliputi segala orang, institusi, dan jaringan yang bertindak sebagai penjaga pintu (gatekeepers) yang mendukung, menyaring, dan memvalidasi setiap inovasi untuk bisa masuk dan membawa perubahan dalam domain budaya. Penting dicatat bahwa suatu domain (budaya) tak bisa diubah tanpa dukungan (persetujuan) secara eksplisit atau implisit dari suatu bidang (field) yang bertanggung jawab atas hal itu. Ketiga, barulah faktor kehadiran orang kreatif, yakni seseorang yang pikiran dan tindakannya mengubah suatu domain atau membentuk domain baru (Mihaly Csikszentmihalyi, 2013).

Kurang berkembangnya kreativitas di negeri ini disebabkan kurangnya dukungan politik terhadap reproduksi pengetahuan dan pengembangan minat-bakat, pemuliaan warisan budaya, serta kegiatan riset dan pengembangan. Kegiatan riset berhenti sebagai kertas laporan penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga riset negara tanpa kemampuan membangun budaya riset dan inovasi.

Negeri ini juga hampir tidak melahirkan politik kebudayaan yang dapat memperluas bidang pendukung kreativitas, seperti gedung-gedung pertunjukan, sarana-sarana tekno-estetika, studio-studio seni, pusat-pusat inkubasi, komunitas-komunitas epistemik, gugus kendali mutu, jaringan media, galeri, kurator, dan kritik seni. Tanpa dukungan politik kreativitas yang dapat memfasilitasi pengembangan domain simbolik dan bidang pendukung, banyak anak berbakat yang lekas layu sebelum berkembang atau berhenti sebagai jago kandang.

Kreativitas merupakan jantung dari industri kreatif yang amat menentukan daya hidup bangsa di era globalisasi. Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class (2002) melukiskan peran esensial dari kreativitas dalam perekonomian kontemporer. Pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidaklah seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga manusia), tetapi bersandarkan pada inteligensia, pengetahuan, dan kreativitas. Kreativitas manusialah satu-satunya sumber daya yang tak terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.

Isu utamanya di sini bukanlah human capital dalam arti konvensional yang semata-mata diukur berdasarkan pendidikan formal, melainkan pada pemuliaan daya-daya kreatif lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas. Ekosistem kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan teknologi, talenta, dan toleransi—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya.

Adapun pelaku utama dari ekonomi kreatif (the creative economy) ini tak lain adalah anak-anak muda dengan etos kreatif kuat. Itulah sebabnya mengapa dalam perekonomian global hari ini banyak pengusaha sukses yang tumbuh dan berkembang dari orang-orang muda.

Pada titik inilah titik genting pertaruhan Indonesia masa depan. Mengapa demikian? Sebab, bentuk piramida penduduk Indonesia pada awal milenium ini membesar di tengah, mengindikasikan besarnya jumlah pemuda berusia kerja. Meski jumlahnya banyak, peran pemuda dalam berbagai bidang dan lapis kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi nasional masih terasa lemah, seiring rendahnya kapasitas daya saing mereka dalam kompetisi antarbangsa.

Karena itu, penciptaan ekosistem kreativitas bagi pengembangan sumber daya muda merupakan prioritas penting pembangunan. Tanpa kesungguhan dalam politik kreativitas, apa yang disebut bonus demografi bisa menjadi bencana demografi.

Apabila Joey yang berjuang sendiri dapat mengibarkan panji-panji kebesaran bangsa, mestinya negara dengan segala dukungan sumber daya dan personelnya yang berlipat ganda lebih berdaya memfasilitasi lahirnya generasi kreatif Indonesia. []

KOMPAS, 1 Maret 2016
Yudi Latif | Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar