Selasa, 22 Maret 2016

(Tokoh of the Day) Sayid Utsman bin Yahya, Petamburan - Jakarta



Sayid Utsman bin Yahya Petamburan


Kalau ada kitab tua sedang dibaca lansia berpakaian santri di Jakarta, maka kitab itu tidak lain adalah karya Sayid Usman bin Yahya. Karya-karya Sayid Usman sangat populer di kalangan masyarakat Jakarta. Karya yang mengajarkan doa, fiqih, tajwid, dan juga aqidah, menjadi panduan praktis pengamalan agama Islam untuk masyarakat.

Karyanya yang dicetak dan beredar di kalangan masyarakat luas, umumnya berbahasa Arab Melayu atau Arab Pegon. Doa-doa dan kutipan berbahasa Arab juga umumnya diterjemahkan dengan terjemahan gantung yang juga berbahasa Arab Melayu.

“Sayid Usman itu orang alim. Kalau dia menulis kitab Sifat Dua Puluh itu, tentunya dia sudah membaca kitab-kitab yang besar-besar. Untuk mengajarkan kitab-kitabnya, seorang guru pun harus juga sudah membaca atau mengaji kepada guru-guru yang lebih alim,” kata KH Hasbullah (87) Pondok Pinang, Kebayoran Lama.

Awal Desember 1822 M, Sayid Usman lahir di Pekojan. Ayahnya bernama Sayid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Ibunya bernama Aminah binti Syekh Abdurrahman Al-Mishri yang tidak lain salah seorang ulama terkemuka di zamannya. Sejak kecil ia gemar menuntut ilmu. Menginjak usia remaja, ia menunaikan ibadah haji di Mekkah lalu bertahan di sana selama 7 tahun. Di sana ia mengaji kepada ayahnya sendiri dan mufti Mekkah bermadzhab Syafi’i Sayid Ahmad Zaini Dahlan.

Pada 1848 M Sayid Usman bergerak menuju Hadhramaut. Di negeri ini ia berguru kepada Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar, Syekh Abdullah bin Husein bin Thahir, dan Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri. Lepas dari Hadhramaut, ia melanglang buana mengejar ilmu ke sejumlah negeri. Sayid Usman mengunjungi antara lain Mesir, Tunis, Istambul, Persia, dan Syiria, (Ulama Betawi, Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20, Ahmad Fadli HS).

Pada 1862 M, Sayid Usman tiba di tanah air. Belanda mengangkatnya sebagai mufti di Jakarta, menggantikan Syekh Abdul Ghani yang usianya semakin lanjut. Kecuali itu, ia diangkat Belanda sebagai adviseur honorer untuk urusan Arab di kantor Voor Inlandsche Zaken pada 1899 M. Di sini ia sebagai penasihat pemerintah Kolonial untuk urusan agama, bergaul dengan Snouck Hurgronye, KF Holle, dan LWC Van den Berg.

Atas jasanya, pemerintah kolonial Belanda menyematkan bintang penghargaan sebagai tanda jasa pemerintah terhadapnya. Sayid Usman juga mendapat honor bulanan sebesar 100 gulden, hanya 1/7 dari gaji yang diterima Snouck.

Selama hidup, Sayid Usman aktif berdakwah melalui media ceramah dan menulis. Ia membuka majelis hadir di kediamannya di bilangan Petamburan. Sementara produktivitasnya tidak perlu disangkal. Karyanya banyak sekali dicetak dan menjadi rujukan Bergama masyarakat Jakarta karena menggunakan bahasa masyarakat, Arab Melayu.

Kecuali itu, Sayid Usman tidak jarang terlibat polemik terbuka dengan ulama lain misalnya dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau perihal dua masjid di Palembang. Polemiknya diwujudkan dalam bentuk sebuah karya untuk menjawab atau mementahkan pandangan ulama lain dengan dasar argumentasi yang kuat.

Sayid Usman sendiri dikenal sebagai seorang faqih dan mutakallim yang memandang segala sesuatunya dari sudut disiplin Fiqih dan Ilmu Kalam. Untuk itu, sikapnya terhadap tarekat cenderung ketat. Ia hanya mengakui tarekat-tarekat muktabarah yang sesuai syariah saja seperti tarekat yang diajarkan Syekh Junaid Al-Baghdadi, Sadatul Alawiyin, Ghazaliyah, Qadiriyah, Naqshabandiyah, Khalwatiyah, juga Rifa’iyah.

Menyadari rendahnya pemahaman agama umumnya masyarakat, Sayid Usman melarang pelajaran taswuf di kalangan awam. Pasalnya dapat membawa kemudaratan atau salah paham. Begitu juga dengan ilmu Kalam. Dengan mengutip Az-Zawajir karya Ibnu Hajar, Ia dalam Sifat Dua Puluh-nya melarang keras orang belajar ilmu Kalam terlampau tinggi karena khawatir tergelincir paham.

Namun demikian Sayid Usman mengambil sikap penolakan nyata terhadap paham Wahabi dan penyebaran pahamnya. Menurut Fadli HS, Sayid Usman juga sangat anti gerakan Wahabi dan menganggap gerakan itu sangat radikal. Dalam bukunya Mustika Pengaruh buat Menyembuhkan Penyakit Keliru, ia berpendapat bahwa kaum Wahabi adalah paling berdusta.

Sayid Usman sangat berjasa dalam peningkatan pemahaman masyarakat Betawi khususnya terhadap ilmu syariah melalui karya tulisnya yang berbahasa Arab Melayu. Tidak kurang dari 120 karyanya dicetak dan disebarluaskan. Sebagian darinya berbahasa Arab. Karyanya menyentuh pelbagai isu yang berkembang di masyarakat mulai dari kisah Rasul, aqidah, fiqih haji, fiqih sembahyang, adab di rumah tangga, kumpulan doa keseharian, tajwid, gramatika, Falak, kamus, geografi, silsilah para nabi, hukum perkawinan, silsilah Alawiyah, tarekat-tarekat muktabarah, dan isu lainnya.

Karyanya seperti Sifat Dua Puluh, Babul Minan, Maslakul Akhyar, Irsyadul Anam hingga kini masih dibaca oleh para orang tua di Jakarta. Bahkan kitab Zuhral Basim yang memuat kisah hidup Nabi Muhammad SAW hingga dibaca setiap kali peringatan maulid atau Isra di langgar-langgar di Jakarta. Muridnya yang kemudian menjadi ulama besar ialah Guru Mughni Kuningan dan Habib Ali al-Habsyi Kwitang.

Sayid Usman dipanggil Allah pada pertengahan Januari 1914 M dan dikebumikan di TPU Karet. Pada masa Orde Baru makamnya kena gusur. Pihak kerabat memindahkannya ke sisi selatan masjid Al-Abidin, Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur. []

*) Tulisan ini diambil dari buku 100 Ulama Nusantara terbitan Lembaga Takmir Masjid PBNU, tahun 2015.

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar