Senin, 07 Maret 2016

BamSoet: SOP Penanganan Perkara dan Urgensi Mengawasi MA



SOP Penanganan Perkara dan Urgensi Mengawasi MA
Oleh: Bambang Soesatyo

Bahkan Harifin Tumpa yang pernah memimpin Mahkamah Agung (MA) selama empat tahun pun sudah mengakui ada yang salah dengan organisasi MA. Sebagai benteng terakhir bagi rakyat pencari keadilan, MA harus mau membuka diri dengan melakukan reformasi internal.

Sebab, benteng keadilan itu nyaris roboh. Kemiringan citra bangunan MA ibarat Menara Pisa di Kota Pisa, Italia. Miring permanen, namun tak juga roboh. Kalau kemiringan abadi Menara Pisa yang dibangun pada Agustus 1173 itu terus memancarkan keindahan arsitektur, kemiringan citra MA justru menyakitkan sanubari rakyat pencari keadilan.

Di benak publik Indonesia, MA memang nyaris roboh setelah Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata dan Tata Laksana Perkara Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (12/2). Andri diduga menerima suap setelah menjanjikan penundaan pengiriman putusan kasasi atas nama seorang terpidana.

Penundaan itu dimaksudkan agar pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana bisa ditunda. Adalah Harifin Tumpa, ketua MA periode 2009-2012, yang ikut merespons kasus penangkapan Andri. Dia langsung menunjuk kelemahan dengan menegaskan bahwa organisasi MA memang sudah salah sejak awal.

Kesalahan disain organisasi MA, yang mungkin memang disengaja, membuka peluang bagi oknumMA untuk“bermain” alias jual-beli perkara. Sebelumnya penanganan proses perkara terpusat di bagian kepaniteraan. Perubahan terjadi ketika dimunculkan gagasan tentang perlunya Sekretariat MA yang dipimpin sekretaris MA. Sekretaris MA diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul ketua MA.

Sebagai pembantu ketua MA, Sekretariat MA bertugas menyelenggarakan koordinasi dan pembinaan dukungan teknis, administrasi, organisasi, dan finansial kepada seluruh unsur di lingkungan MA dan pengadilan di semua lingkungan peradilan. Fungsi koordinasi kepaniteraan MA yang dilekatkan pada Sekretariat MA semula bertujuan mewujudkan sistem layanan satu atap.

Tetapi, ambisi layanan satu atap dalam praktiknya gagal. Proses penanganan perkara di MA justru menjadi sangat berbelit-belit. Ada catatan yang menyebutkan bahwa penanganan perkara di MA harus melalui tidak kurang dari 27 tahapan, terhitung sejak berkas diterima oleh Biro Umum MA sampai dikirim kembali ke pengadilan. Semua tahapan itu masih didominasi penanganan secara manual.

Penyelesaian perkara dari satu tahap ke tahap berikutnya masih dicatat secara manual dalam buku jurnal. Cara seperti ini tidak memberi perlindungan maksimal bagi keamanan dan kerahasiaan berkas perkara. Memang, untuk melayani publik, MA sudah menyediakan dan menerapkan sistem informasi penelusuran perkara dan info perkara (SIPP). Namun, sering ditemukan fakta bahwa muatan SIPP jarang diperbarui.

Sebagian besar dari tahaptahapan itu sudah berada di luar kontrol atau di luar pengawasan kepaniteraan MA. Segala sesuatunya harus diketahui atau dikonsultasikan ke Sekretariat MA. Akibat itu, manajemen perkara di MA memang dirasakan terlalu berliku dan membuka celah dagang perkara. Sebab, di setiap tahapan ada oknum yang mendapatkan peluang untuk tawar-menawar dengan para pihak yang beperkara.

Bagi Harifin Tumpa, kerumitan mekanisme penanganan perkara di MA inilah yang menjadi titik lemah. Kerumitan itu menciptakan banyak godaan bagi oknum di MA. Oknum pegawai yang tidak memahami teknis dan pertimbangan hukum berspekulasi dengan membuat penawaran kepada para pihak yang beperkara.

Kecenderungan itulah yang melatarbelakangi kasus penangkapan Andri Tristianto Sutrisna oleh KPK. Andri digambarkan sebagai oknum yang tidak mengerti apa yang menjadi tugas pokoknya. Apa yang dilakukannya benar-benar di luar wewenangnya. Karena itu, dia diduga sekadar jadi alat oleh pemutus perkara.

Urgensi Pengawasan

Belajar dari kasus penangkapan Andri, berbagai kalangan memberi rekomendasi kepada MA untuk segera melakukan reformasi internal. Pertama, harus ada kemauan dari seluruh jajaran MA untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Maka itu, reformasi MA harus dimulai dengan meningkatkan efektivitas manajemen penanganan perkara. Caranya, menerapkan sistem teknologi informasi (IT).

Sampai saat ini MA memang telah membangun teknologi informasi guna menekan peluang oknum melakukan jualbeli perkara. Namun, sistem ini baru maksimal dilaksanakan di tingkat pertama atau di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Artinya, celah bagi mafia kasus dan mafia perkara masih terbuka lebar di MA.

Sebab, pergerakan perkara di MA tidak terdeteksi publik Seharusnya MA tidak alergi terhadap teknologi sistem informasi. Zaman sudah dan terus akan berubah. Lagi pula, sudah hampir dua dekade berbagai institusi di Indonesia melakoni reformasi. MA seharusnya tidak menutup diri dari dorongan arus reformasi itu. Kedua, semua jajaran di MA harus bertekad menjadi orang baik dan jujur.

Konsekuensi logisnya, semua jajaran di MA harus bersedia diawasi oleh badan pengawas independen. Urgensi pengawasan oleh badan yang independen sangat nyata sebab pengawasan di internal MA sangat lemah. Benar bahwa MA sudah memiliki prosedur operasi standar atau SOP dalam penanganan perkara. Tetapi, lihatlah bahwa Andri masih bisa berspekulasi jual-beli wewenang.

Kasus Andri menjadi bukti paling faktual tentang lemahnya pengawasan di internal MA. Badan pengawas independen untuk MA sangat diperlukan, utamanya dalam memonitor dan mengawasi SOP penanganan perkara. Sudah waktunya MA terbuka untuk menerima badan pengawas independen itu. Pengawasan internal yang dilaksanakan oleh para atasan atau pimpinan MA sudah terbukti tidak efektif memerangi mafia kasus atau mafia peradilan.

Publik sudah telanjur berasumsi bahwa MA sarat mafia. Untuk apa MA harus terus memerangkap eksistensinya dengan cara yang tidak elegan seperti itu? MA harus keluar dari perangkap yang melecehkan prinsip keadilan itu. Ketika Andri ditangkap KPK, publik terus mencermati arah reaksi MA.

Respons MA terhadap kasus Andri memang tidak menggembirakan, bahkan sangat mengecewakanmasyarakat. Ketikapara pengamat mendorong MA untuk menyelidiki keterlibatan oknum MA lainnya di balik kasus Andri, seorang pejabat MA justru menyederhanakan kasus ini. Kasus Andri digambarkan sekadar sebagai sebuah kecelakaan.

Dengan reaksi yang demikian, MA masih diselimuti semangat menutup diri. Padahal, kasus Andri mencoreng kredibilitas seluruh jajaran di MA. Jika MA melokalisasi persoalan suap itu pada Andri seorang, sama artinya internal MA menyembunyikan terduga penerima suap lainnya. Kalau kecenderungan ini tidak dihentikan, MA memang tidak akan pernah bersih dari potensi pelanggaran etika dan tindak pidana korupsi.

Orang-orang MA dari generasi sekarang ke generasi berikutnya akan menerima kecenderungan yang menyimpang itu sebagai budaya kerja. Sudah barang tentu sangat membahayakan bagi masa depan dunia peradilan di negara ini. Hanya orang-orang MA yang bisa menegakkan lagi kemiringan bangunan citra MA.

Kalau MA dibiarkan terusmenerus ditekan dengan berbagai kasus bernuansa korup dan suap, MA bisa roboh dalam benak publik. Tidak ada alasan lagi bagi rakyat untuk memosisikan MA sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan.

Maka itu, tidak ada pilihan lain; MA harus berani melancarkan gerakan bersih-bersih internal. Hanya dengan cara itu, MA akan bisa meraih lagi kepercayaan rakyat. []

KORAN SINDO, 03 Maret 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI/ Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar