Jumat, 11 Maret 2016

Azyumardi: Agama dan Nasionalisme



Agama dan Nasionalisme
Oleh: Azyumardi Azra

Hubungan antara agama dan nasionalisme tidak selalu serasi; dan karena itu masih terus menjadi perbincangan dan baik di kalangan akademisi maupun praktisi politik, khususnya yang berorientasi keagamaan. Penyebaran gagasan tentang nasionalisme yang bersumber dari Eropa ke banyak wilayah Dunia Muslim sejak awal abad 20 berujung pada pembentukan banyak negara-bangsa (nation-state) berpenduduk mayoritas Muslim seusai Perang Dunia II.

Tetapi, pembentukan nation-state tidak mengakhiri perdebatan tentang agama dan nasionalisme. Sebaliknya, kontestasi, pergumulan dan pergolakan politik tentang kedua entitas ini terus berlanjut sampai hari ini dan ke depan. Dinamika yang terjadi dalam masyarakat keagamaan berbarengan dengan perubahan politik pada tingkat lokal, nasional dan internasional membuat perdebatan tentang agama dan nasionalisme kembali mengemuka.

Banyak masyarakat agama di berbagai negara dan benua mengalami peningkatan kecintaan (attachment) pada agama—memunculkan antusiasme baru yang pada gilirannya mendorong apa yang sejak akhir dasawarsa 1980-an disebut sebagai ‘kebangkitan agama’ (religious revival). Fenomena ini melanda komunitas keagamaan Protestan di Amerika, kalangan Muslim di banyak negara, kaum Hindu di India atau juga Budha di Srilanka dan Thailand.

Pada pihak lain, nasionalisme bangkit kembali. Kebangkitan ini membuktikan kekeliruan ahli seperti Daniel Bell akhir 1960an tentang akhir nasionalisme (the end of ideology) atau lebih belakangan Francis Fukuyama tentang akhir sejarah yang hanya menyisakan demokrasi (the end of history). Gejala ini bisa dilihat dalam tumbuhnya nasionalisme bernyala-nyala berbarengan meningkatnya gelombang demokrasi (democracy wave) yang akhirnya membuat Uni Soviet dan Yugoslavia berkeping-keping menjadi negara-negara baru.

Indonesia dengan wilayah begitu luas dan etnis yang sangat beragam alhamdulillah selamat dari perpecahan. Gelombang keempat demokrasi yang melanda Indonesia beriringan krisis moneter, keuangan dan politik sejak akhir 1997 dan berlanjut sepanjang 1998-1999 tidak berujung pada apa yang disebut sebagai ‘balkanisasi’, yaitu disintegrasi Indonesia menjadi sejumlah negara seperti terjadi di Semenjung Balkan, Eropa Timur.

Indonesia tetap bertahan. Meski masih menyisakan sejumlah agenda reformasi politik, Indonesia relatif berhasil dalam konsolidasi demokrasinya. Indonesia dengan penduduk mayoritas Muslim menjadi show case, contoh keberhasilan, kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. Melihat Dunia Islam lebih luas, sulit menemukan negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang berhasil dalam transisi dan konsolidasi demokrasinya.

Tetapi juga jelas, liberalisasi politik melalui demokratisasi di Indonesia sekaligus  mendatangkan sejumlah tantangan baru, termasuk dalam hal hubungan antara agama, khususnya Islam dengan nasionalisme. Di kalangan umat Islam Indonesia bangkit kembali kembali gagasan tentang pembentukan negara Islam (dawlah Islamiyyah) atau setidaknya perubahan UUD 1945 dengan mengembalikan ‘Piagam Jakarta’ yang memungkinkan pemberlakuan syari’ah Islam oleh negara.

Pada saat yang sama, gagasan dan usaha menggusur integrasi Islam-nasionalisme Indonesia seperti terlihat dalam dasar negara Pancasila dengan transnasionalisme politik Islam juga menguat. Berbagai gerakan berakar di Timur Tengah atau tempat lain yang ingin mendirikan khilafah—entitas politik Islam universal tunggal—baik secara ‘damai’ maupun radikal dan teroristik kian menampilkan diri secara terbuka. Mereka cukup aktif memasarkan ideologi masing-masing sekaligus merekrut para pendukung.

Subyek dan isyu semacam ini menjadi pembahasan dalam diskusi panel yang diselenggakan Baytul Muslimin Indonesia (Bamusi), organisasi sayap Islam PDIP, akhir Februari (28/2/2016). Diskusi panel cukup ‘kolosal’, menghadirkan 14 pembicara yang mencakup tokoh ormas Islam mainstream seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan al-Washliyah, dan juga kelompok minoritas semacam Ahmadiyah, Syiah, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), akademisi dan pengamat. Para panelis mencakup antara lain, KH Hasyim Muzadi, Yunahar Ilyas, Jalaluddin Rakhmat, Ismail Yusanto, Yudi Latif, dan penulis Resonansi ini.

Para pembicara umumnya sependapat, pada dasarnya tidak ada masalah serius menyangkut hubungan antara Islam dan nasionalisme di Tanah Air. Kedua entitas ini telah terintegrasi sehingga negara-bangsa Indonesia sudah final dengan empat prinsip pokok; UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Meski demikian, penulis Resonansi ini mengingatkan integrasi Islam dan nasionalisme itu tidak bisa dipandang selesai (taken for granted). Sebaliknya senantiasa perlu penguatan keempat prinsip dasar dan sekaligus meningkatkan aktualisasi sistem dan nilainya dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Tanpa itu,   boleh jadi kian banyak warga yang kehilangan kepercayaannya pada integrasi Islam dan nasionalisme Indonesia. []

REPUBLIKA, 10 Maret 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar