Agama dan Nasionalisme
Oleh: Azyumardi Azra
Hubungan antara agama dan nasionalisme tidak selalu serasi; dan
karena itu masih terus menjadi perbincangan dan baik di kalangan akademisi
maupun praktisi politik, khususnya yang berorientasi keagamaan. Penyebaran
gagasan tentang nasionalisme yang bersumber dari Eropa ke banyak wilayah Dunia
Muslim sejak awal abad 20 berujung pada pembentukan banyak negara-bangsa
(nation-state) berpenduduk mayoritas Muslim seusai Perang Dunia II.
Tetapi, pembentukan nation-state tidak mengakhiri perdebatan
tentang agama dan nasionalisme. Sebaliknya, kontestasi, pergumulan dan
pergolakan politik tentang kedua entitas ini terus berlanjut sampai hari ini
dan ke depan. Dinamika yang terjadi dalam masyarakat keagamaan berbarengan
dengan perubahan politik pada tingkat lokal, nasional dan internasional membuat
perdebatan tentang agama dan nasionalisme kembali mengemuka.
Banyak masyarakat agama di berbagai negara dan benua mengalami
peningkatan kecintaan (attachment) pada agama—memunculkan antusiasme baru yang
pada gilirannya mendorong apa yang sejak akhir dasawarsa 1980-an disebut
sebagai ‘kebangkitan agama’ (religious revival). Fenomena ini melanda komunitas
keagamaan Protestan di Amerika, kalangan Muslim di banyak negara, kaum Hindu di
India atau juga Budha di Srilanka dan Thailand.
Pada pihak lain, nasionalisme bangkit kembali. Kebangkitan ini
membuktikan kekeliruan ahli seperti Daniel Bell akhir 1960an tentang akhir
nasionalisme (the end of ideology) atau lebih belakangan Francis Fukuyama
tentang akhir sejarah yang hanya menyisakan demokrasi (the end of history).
Gejala ini bisa dilihat dalam tumbuhnya nasionalisme bernyala-nyala berbarengan
meningkatnya gelombang demokrasi (democracy wave) yang akhirnya membuat Uni
Soviet dan Yugoslavia berkeping-keping menjadi negara-negara baru.
Indonesia dengan wilayah begitu luas dan etnis yang sangat beragam
alhamdulillah selamat dari perpecahan. Gelombang keempat demokrasi yang melanda
Indonesia beriringan krisis moneter, keuangan dan politik sejak akhir 1997 dan
berlanjut sepanjang 1998-1999 tidak berujung pada apa yang disebut sebagai
‘balkanisasi’, yaitu disintegrasi Indonesia menjadi sejumlah negara seperti
terjadi di Semenjung Balkan, Eropa Timur.
Indonesia tetap bertahan. Meski masih menyisakan sejumlah agenda
reformasi politik, Indonesia relatif berhasil dalam konsolidasi demokrasinya.
Indonesia dengan penduduk mayoritas Muslim menjadi show case, contoh
keberhasilan, kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. Melihat Dunia Islam lebih
luas, sulit menemukan negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang berhasil
dalam transisi dan konsolidasi demokrasinya.
Tetapi juga jelas, liberalisasi politik melalui demokratisasi di
Indonesia sekaligus mendatangkan sejumlah tantangan baru, termasuk dalam
hal hubungan antara agama, khususnya Islam dengan nasionalisme. Di kalangan
umat Islam Indonesia bangkit kembali kembali gagasan tentang pembentukan negara
Islam (dawlah Islamiyyah) atau setidaknya perubahan UUD 1945 dengan
mengembalikan ‘Piagam Jakarta’ yang memungkinkan pemberlakuan syari’ah Islam
oleh negara.
Pada saat yang sama, gagasan dan usaha menggusur integrasi
Islam-nasionalisme Indonesia seperti terlihat dalam dasar negara Pancasila
dengan transnasionalisme politik Islam juga menguat. Berbagai gerakan berakar
di Timur Tengah atau tempat lain yang ingin mendirikan khilafah—entitas politik
Islam universal tunggal—baik secara ‘damai’ maupun radikal dan teroristik kian
menampilkan diri secara terbuka. Mereka cukup aktif memasarkan ideologi masing-masing
sekaligus merekrut para pendukung.
Subyek dan isyu semacam ini menjadi pembahasan dalam diskusi panel
yang diselenggakan Baytul Muslimin Indonesia (Bamusi), organisasi sayap Islam
PDIP, akhir Februari (28/2/2016). Diskusi panel cukup ‘kolosal’, menghadirkan
14 pembicara yang mencakup tokoh ormas Islam mainstream seperti NU,
Muhammadiyah, MUI dan al-Washliyah, dan juga kelompok minoritas semacam
Ahmadiyah, Syiah, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), akademisi dan pengamat.
Para panelis mencakup antara lain, KH Hasyim Muzadi, Yunahar Ilyas, Jalaluddin
Rakhmat, Ismail Yusanto, Yudi Latif, dan penulis Resonansi ini.
Para pembicara umumnya sependapat, pada dasarnya tidak ada masalah
serius menyangkut hubungan antara Islam dan nasionalisme di Tanah Air. Kedua
entitas ini telah terintegrasi sehingga negara-bangsa Indonesia sudah final
dengan empat prinsip pokok; UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Meski demikian, penulis Resonansi ini mengingatkan integrasi Islam
dan nasionalisme itu tidak bisa dipandang selesai (taken for granted).
Sebaliknya senantiasa perlu penguatan keempat prinsip dasar dan sekaligus
meningkatkan aktualisasi sistem dan nilainya dalam kehidupan
berbangsa-bernegara. Tanpa itu, boleh jadi kian banyak warga yang kehilangan
kepercayaannya pada integrasi Islam dan nasionalisme Indonesia. []
REPUBLIKA, 10 Maret 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar