Saat
Bulan dan Matahari Asyik Bermadu
Oleh:
Sindhunata
Gerhana
adalah fenomena keindahan alam. Karena itu, para perupa yang hidupnya bergelut
dengan keindahan tak ingin ketinggalan menangkap fenomena itu dalam kanvas
mereka. Beberapa karya mereka dapat dinikmati dalam pameran berjudul Kala Rahu
di Bentara Budaya Yogyakarta, 11-20 Maret ini.
Kita
mengalami pagi dan malam sebagai kejadian biasa setiap hari. Karena biasa, kita
jadi lupa bahwa sesungguhnya keduanya adalah hal luar biasa yang dianugerahkan
Sang Pencipta. Gerhana matahari membuat pagi tidak lagi biasa dan kita
dibuatnya jadi kagum akan keindahan karunia semesta. Diah Yulianti
menggambarkan gerhana matahari sebagai remang-remang yang hening dan sunyi,
yang bukan cahaya fajar atau senja. Remang-remang itu adalah suasana persujudan,
di mana manusia berada dalam situasi yang tak dimengertinya. Mereka tertelan ke
dalam misteri dan tak tahu harus berbuat apa, kecuali sujud dan menyembah
kebesaranNya.
Seakan
bukan kebetulan, gerhana matahari kali ini jatuh bersamaan dengan perayaan umat
Hindu, Saka 1938, hari raya Nyepi, yang mengajak manusia masuk ke dalam
keheningan diri. Dalam suasana hening dan sepi itu, I Made Palguna
menggambarkan bukan hanya matahari, bulan juga merupakan misteri. Bulan
hanyalah kecil, tetapi kali ini bulan mampu menutupi matahari yang besar hingga
gelaplah sebagian wilayah bumi. Maka gerhana matahari juga mengundang kita
untuk mengagumi kebesaran bulan. Tanpa bulan tiada gerhana matahari. Kita
diajak merenungkan kembali tentang perlunya malam bagi siang, seperti perlunya
bulan bagi matahari. Tataplah bulan dan di sana akan kita melihat ada makhluk
seperti lelaki dan wanita, ikan-ikan, dan cahaya terang. Di bulan pun ternyata
ada kehidupan.
Putu
Sutawijaya menggambarkan matahari itu sebagai lelaki, yang kuat dan gagah,
mengendap-endap mencari bulan. Ketika bulan ditemukan, suasana pun menjadi
gelap seketika. Bumi harus mau mengalah, ia harus merelakan pagi menjadi
sejenak malam karena di sana matahari dan bulan sedang asyik terbenam dalam
persanggamaan. Bumi harus rela untuk sejenak ditinggalkan terang agar raja
siang dan ratu malam, dua penguasa jagad raya itu, dapat asyik berpadu di
gelapnya malam.
Inilah
kisah gerhana di Tanah Jawa. Waktu itu para dewa di kahyangan sedang meminum
tirta amerta, air kehidupan. Tanpa sepengetahuan mereka, menyusuplah di sana
Kala Rahu, asura, yang berupa raksasa. Ulahnya ini ketahuan oleh Batara Surya,
dewa matahari, dan Batara Candra, dewa bulan. Keduanya berteriak sehingga
membuat para dewa tersadar akan kehadiran Kala Rahu. Batara Wisnu segera
memanahkan senjata cakranya, menebas leher Kala Rahu. Panah itu terlambat
karena Kala Rahu sudah telanjur menenggak air kehidupan sampai di lehernya.
Maka, hanya badan Kala Rahu yang mati dan jatuh ke bumi, sementara kepalanya
tetap hidup selamanya. Kala Rahu menaruh dendam terhadap Batara Surya dan
Batara Candra dan ingin selalu menelan mereka. Setiap kesempatan pelampiasan
dendamnya itu tiba, terjadilah di dunia ini gerhana matahari atau gerhana
bulan.
Jadi,
gerhana matahari terjadi karena Kala Rahu, "raksasa menakutkan" itu.
Karena itu, Hermanu melukiskan datangnya gerhana sebagai pratanda bahwa alam
akan bergejolak. Badai, hujan petir menyambar-nyambar, dan tanah longsor.
Bahkan, gerhana itu adalah prawarta bakal terjadi huru-hura. Karena itu,
gerhana mengingatkan agar manusia janganlah terlena. Kala Rahu bukan sekadar
raksasa yang menelan matahari, melainkan kekuatan tak kelihatan yang terus
berusaha untuk menggelapkan hidup kita dan menjerumuskan kita ke dalam
kekacauan dan kegelapan. Tidakkah "gerhana kegelapan hidup" itu juga
sedang terjadi dalam hidup sosial kita sekarang ini? Kegelapan yang membuat
kita kehilangan arah, saling menubruk, dan membuat kita membabi buta
mempertahankan kepentingan diri kita sendiri. Untuk itu, mungkin kita
diingatkan akan kedatangan Kala Rahu dengan gerhananya sekarang ini.
Bergerak
cepat
Subandi
Giyanto menggambarkan Kala Rahu itu bergerak cepat, bahkan lebih cepat dari
gerak senjata cakra Batara Wisnu yang hendak mematikannya. Maksudnya, sejenak
saja kita terlena, kegelapan akan menelan kita. Tampaknya itulah yang kini
terjadi di negeri ini. Kekuatan gelap itu demikian berkuasa di antara kita dan
kekuatan baik terlambat atau tak sanggup lagi menghadapinya. Maka, keserakahan,
ketamakan, dan kerakusan merajalela di mana-mana. Hilanglah segala rasa malu,
hilang pula tata tepa selira dalam hidup bernegara. Kekuatan gelap itu menyusup
ke mana saja, juga ke dalam tubuh agama, dan menjadikan orang-orang beragama
berperilaku dalam kemunafikan dan kekerasannya. Sejenak saja kegelapan itu
melanda kita, tak dapat lagi kita mengendalikannya. Itulah kekuatan Kala Rahu
yang menjadikan gerhana. Maka, seharusnya kita waspada terhadap
"sejenaknya gelap" yang melanda kita.
Kala Rahu
adalah ibarat bagi kuasa gelap yang mau menelan apa saja di bumi ini. Maka,
Kala Rahu juga bisa "terjelma" dalam diri orang-orang berdasi. Itu
yang digambarkan oleh Gunawan Bonaventura. Karena diliputi kuasa gelap,
orang-orang berdasi ini bisa menelan apa saja, emas, batubara, kelapa sawit,
minyak, palawija, padi, sapi, unggas, dan sebagainya. Dengan memukul lesung,
Kala Rahu bisa diusir. Akan tetapi, tak semudah itu mengusir kuasa gelap yang
meliputi orang-orang berdasi itu. Mereka tak takut akan suara apa pun.
Jangankan suara kentungan dan kendang, suara rakyat pun tak mereka dengar.
Telinga mereka sudah tuli akan sinyal bahwa bahaya kegelapan sedang melanda
negeri ini. Mereka terus menguntal "matahari kekayaan rakyat ini".
Orang-orang berdasi itulah gerhana mengerikan bagi negeri ini.
Demikianlah
gerhana adalah saat paling tepat untuk mengajak kita menjadi eling lan waspada.
Itulah yang ingin dikatakan oleh Waljiono dengan patung Mbilungnya. Mbilung,
gambaran rakyat jelata, menjalankan semadi gerhana. Dengan semadinya, ia tidak
ingin menjadi sakti atau hebat. Ia hanya ingin pasrah kepada "kekuatan"
yang tak dapat dikuasainya. Ia ingin semeleh dan sujud kepada matahari pada
saat gerhana. Justru dengan sujud dan semadi seperti ini, matahari berkenan
menyerahkan diri kepadanya dan tinggal di telapak tangannya. Inilah simbol bagi
persatuan manusia dengan alam semesta.
Dan
akhirnya, Herjaka mengingatkan kita, setelah gerhana, pasar menjadi ramai
seperti semula. Irama hidup berjalan seperti irama matahari. Tak ada sesuatu
yang istimewa di muka bumi, seperti matahari pun tak merasa istimewa ketika
memberikan cahayanya kepada manusia setiap hari. Sejauh pasar ramai
berkumandang, matahari pun setia bersinar terang. []
KOMPAS, 12 Maret 2016
Sindhunata | Wartawan; Penanggung Jawab Majalah Basis Yogyakarta;
Kurator Bentara Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar