Pengertian
Lembaga Tertinggi
Oleh:
Yudi Latif
Wacana
restorasi Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan Majelis
Permusyawaratan Rakyat menuai sokongan publik yang luas meski ada pihak-pihak
yang skeptis dan memperlihatkan ketidaksetujuan. Salah satu dalih keberatan
yang diungkapkan adalah pemberian kewenangan kepada MPR dalam menetapkan GBHN
tersebut berarti akan memulihkan kembali kedudukannya sebagai lembaga tertinggi
negara.
Bagi
sebagian orang, istilah lembaga tertinggi itu sangatlah menakutkan. Memang di
banyak negara, yang lazim dikenal adalah istilah lembaga/majelis tinggi (upper
house) dan lembaga rendah (lower house). Namun, di Indonesia, menyebut DPR
sebagai lembaga rendah mungkin dirasa merendahkan martabat. Maka, lembaga
rendah itu jadilah disebut lembaga tinggi, sedangkan lembaga tinggi dinamakan
lembaga tertinggi.
Itu
sekadar kelakar, betapa repotnya bangsa ini dalam perkara istilah. Sesungguhnya
tidak terlampau bermasalah apabila MPR tidak disebut lembaga tertinggi. Yang
penting, kedudukan dan kewenangan MPR haruslah mencerminkan representasi
kedaulatan rakyat yang paling luhur dan paling lengkap.
Para
penyusun UUD 1945 menganut konsepsi kedaulatan (sovereignty) yang menekankan
perlunya negara memiliki rumusan ”kedaulatan tertinggi” sebagai ekspresi
tertinggi rakyat secara keseluruhan; bukan ekspresi sebagian dari kekuatan
rakyat. Hal itu berbeda dengan teori kedaulatan dari James Madison yang
memandang kedaulatan rakyat sebagai suatu yang harus dibagi secara terpisah.
Lokus kedaulatan rakyat itu memusat di MPR, hampir menyerupai konsepsi
kedaulatan rakyat di negara Inggris yang memusat di parlemen.
Atas
dasar itulah barangkali mengapa MPR lazim disebut sebagai lembaga tertinggi
negara meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam pasal-pasal UUD 1945.
Namun, harus segera diingat bahwa pengertian tertinggi di sini tidaklah berarti
bahwa MPR bisa berbuat sewenang-wenang dan menentukan segala hal karena
kewenangannya dibatasi UUD. Pengertian tertinggi di sini terutama terkait
dengan fungsi khusus dari MPR.
Untuk
memperjelas hal itu, baiklah kita menengok pandangan Prof Maria Farida Indrati
S dalam Ilmu Perundang-undangan (Kanisius, 2007). Dalam pandangannya, fungsi
MPR (sebelum amandemen) bisa dibedakan dalam dua kualitas: ”Fungsi I:
Menetapkan Undang-undang Dasar; Fungsi IIa: Menetapkan garis-garis besar
daripada haluan negara; IIb: Memilih Presiden dan Wakil Presiden.” Lantas ia
jelaskan lebih lanjut, bahwa: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menjalankan
fungsi yang pertama mempunyai kedudukan yang lebih utama daripada dalam
menjalankan fungsi yang kedua, oleh karena dalam menjalankan fungsi yang
pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kualitas sebagai ’konstituante’,
yaitu menetapkan undang-undang dasar yang hanya dilaksanakan apabila negara
benar-benar menghendaki, jadi tidak secara teratur, sedangkan dalam menjalankan
fungsi yang kedua itu dapat dilaksanakan secara teratur dalam jangka waktu lima
tahun sekali, yaitu pada waktu Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang.”
Pengertian
MPR sebagai lembaga tertinggi negara terutama erat kaitannya dengan fungsi
pertama, yakni fungsinya sebagai ”konstituante”. Pemahaman seperti ini bisa
kita temukan di berbagai literatur hukum tata negara pada dekade-dekade awal
kemerdekaan, seperti bisa dilihat dalam karya Mr Assaat (1951), GJ Wolhoff
(1955), dan Muhammad Yamin (1956). Sayangnya, karya-karya klasik itu sepertinya
kurang bisa diakses oleh generasi ilmuwan yang lebih belakangan.
Menurut
GJ Wolhoff, dalam Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Timun
Mas NV, 1955), MPR dikatakan sebagai lembaga tertinggi negara karena merupakan
”Kongres seluruh bangsa Indonesia” yang bertindak sebagai perwakilan tertinggi
dari seluruh elemen kekuatan rakyat (bangsa) dan berfungsi sebagai lembaga
konstituante (organ yang menetapkan konstitusi). Sebagai lembaga konstituante,
MPR mengendalikan kekuasaan tertinggi untuk menetapkan dasar-dasar negara,
sistem pemerintahannya, seluruh sistem hukum pada umumnya, serta garis-garis
besar kebijakan politik (Wolhoff, 1955: 18, 68).
Senada
dengan itu, Mr Assaat, dalam Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Dalam Masa
Peralihan (Bulang Bintang, 1951), menyatakan bahwa MPR dikatakan sebagai
lembaga tertinggi negara karena merupakan lembaga pembentuk undang-undang dasar
(konstituante). ”Undang-undang dasar adalah induk dari segala peraturan. Oleh
sebab itu undang-undang dasar ditetapkan oleh kekuasaan yang tertinggi dalam
negara” (Assaat, 1951: 5).
Selain
itu, dikatakan pula bahwa MPR merupakan badan yang melakukan kedaulatan
tertinggi dalam negara, maka kebijakan dasar sebagai prinsip direktif haluan
negara juga sepatutnya ditetapkan oleh MPR. ”Bahwa hak menetapkan garis-garis
besar dari pada haluan negara itu diberikan kepada Madjelis Permusjawaratan
Rakjat, badan jang melakukan kedaulatan tertinggi dalam negara....” (Assaat,
1951; 14).
Singkat
kata, tidak perlu lagi dipersoalkan bahwa pengembalian fungsi MPR dalam
menetapkan GBHN berarti akan merehabilitasi kedudukannya sebagai lembaga
tertinggi. Karena diberi nama apa pun, dengan sendirinya, selama masih diberi
kewenangan menetapkan UUD, selama itu pula MPR berfungsi sebagai lembaga
tertinggi negara. []
KOMPAS,
22 Maret 2016
Yudi Latif | Steering Committee, Konvensi Nasional tentang Haluan
Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar