Ini Lho,
kalau Mau Menguatkan KPK
Oleh: Moh
Mahfud MD
Ada
materi undang-undang (UU) yang bisa diperbaiki jika ingin menguatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, sebelum itu, mari kita sambut dulu dengan
penuh hormat keputusan pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan Rancangan
Undang- Undang (RUU) Perubahan UU KPK.
Gerakan
rakyat untuk menolak revisi UU-KPK itu hebat. Gerakan-gerakan itu pula yang
berkali-kali berhasil menyelamatkan KPK sebagai anak kandung Reformasi. KPK
memang dibangun sebagai lembaga perkasa dengan berbagai kewenangan khusus dan
sifat superbody untuk memerangi korupsi.
Kehadiran
KPK di dalam mozaik penegakan hukum kita semula disambut gembira dan gegap
gempita. Koruptor harus diperangi oleh lembaga super karena sulit efektif kalau
hanya dihadapi lembaga-lembaga biasa.
Di dalam
konsiderans ”Menimbang” UU No 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa KPK dibentuk
karena lembaga-lembaga biasa yang ada tidak optimal dan tidak efektif dalam
memberantas korupsi.
Tetapi,
begitu KPK mulai berhasil menangkap dan memenjarakan pejabat-pejabat korup,
mulailah terjadi serangan-serangan terhadapnya. Banyak yang menempuh jalur
hukum untuk membonsai KPK melalui gugatan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi. Sampai awal 2013 saja tidak kurang dari 12 kali UU KPK dimintakan
judicial review. Tetapi, sampai saat itu pula MK selalu memenangkan penguatan
KPK.
Serangan
terhadap KPK tidak hanya melalui jalur hukum, tetapi juga melalui serangan
fisik dan psikis terhadap KPK. Ada beberapa peristiwa yang mengancam
kelangsungan KPK, tetapi selalu saja rakyat turun tangan menyelamatkannya. Hati
nurani dan akal sehat publik mendorong munculnya gerakan spontan dari
masyarakat untuk membela KPK sehingga KPK selalu selamat dari hantaman-hantaman
yang destruktif terhadapnya.
Terakhir,
pembelaan publik terhadap KPK berhasil menggagalkan pengesahan RUU tentang
Perubahan UU KPK yang sudah disahkan Badan Legislasi DPR untuk dibahas dalam
proses legislasi. RUU tersebut diprotes publik karena muatannya bertendensi dan
sangat berpotensi untuk melemahkan KPK. Meski para pengusul dan pembela RUU
mengklaim bahwa RUU tersebut dimaksudkan untuk menguatkan KPK, mereka tidak
pernah bisa menjelaskan, bagian atau kalimat mana dari empat butir materi perubahan
tersebut yang dimaksudkan untuk menguatkan KPK.
Sebaliknya,
kalangan yang menolak RUU tentang perubahan tersebut bisa menunjukkan bahwa
empat hal yang dirancangkan untuk perubahan justru malah melemahkan KPK. Saya
sendiri sudah menulis panjang lebar melalui media ini pekan lalu bahwa untuk
ide penataan penyadapan saja misalnya justru sangat jelas bisa melemahkan KPK.
Kita
bersyukur, ternyata Presiden peka terhadap gerakan nurani masyarakat ketika
menyatakan sikapnya dan mengajak DPR untuk bersikap sama dengannya yakni
menunda pembahasan RUU revisi UU KPK itu. Meski istilah yang dipakai adalah
menunda (bukan membatalkan), kita mensyukuri dan memberi apresiasi kepada
Presiden yang telah menyatakan sikapnya itu dengan gagah berani sehingga DPR
pun tak bisa menolaknya. Presiden telah mengambil langkah yang sesuai dengan
tuntutan masyarakat di alam yang demokratis sehingga layak diapresiasi.
Terbukti
lagi untuk kesekian kalinya, gerakan suara nurani rakyat berhasil mengalahkan
gerakan yang dinilai akan memundurkan upaya pemberantasan korupsi di negeri
ini. Gumpalan aspirasi rakyat telah menyelamatkan kembali KPK dari gempuran
yang akan melumpuhkannya. KPK harus berterima kasih kepada rakyat yang selama
ini telah membelanya habis-habisan. Rasa terima kasih itu harus diwujudkan
dalam tindakan nyata untuk memerangi korupsi dengan serius.
Masyarakat
Indonesia mengetahui dengan jelas kasus-kasus korupsi yang masuk dan ditangani
KPK. Masyarakat juga tahu kasus-kasus mana yang terasa diambangkan atau seakan
dihindari untuk disentuh. Jadi, KPK harus benar-benar profesional karena
masyarakat sudah cerdas.
Yang
tersisa dari ribut-ribut soal rencana revisi UU KPK ini adalah pengumuman resmi
dari Presiden dan DPR bahwa RUU revisi tersebut hanya ditunda, bukan dicabut
dari Prolegnas 2016. Rasanya ini masih menyandera UU KPK karena sewaktu-waktu
bisa dimunculkan lagi. Maka itu, sebaiknya pemerintah dan DPR segera membuat
kesepakatan bahwa revisi UU KPK dikeluarkan dari prolegnas, bukan hanya ditunda
pembahasannya. Prolegnas itu sederhana, ia hanyalah kesepakatan antara
pemerintah dan DPR tentang UU yang akan dibuat atau direvisi pada periode yang
bersangkutan.
Ia pun
hanya dituangkan dalam keputusan DPR dan bukan dituangkan dalam bentuk UU
sehingga lebih mudah untuk mencabutnya. Meski begitu, upaya memperkuat KPK tak
perlu terburu-buru dan materi penguatannya harus diubah. Ada dua hal yang dapat
direkomendasikan jika memang ingin menguatkan KPK.
Pertama,
arahkan perubahan UU No 30 Tahun 2002 agar untuk level dan skala tertentu hukum
acara pembuktian korupsi menggunakan pembuktian terbalik. Asal mau, tidaklah sulit
untuk membuat hukum acara yang seperti ini. Kedua, arahkan perubahan pada
ancaman hukuman bagi tindak pidana korupsi seperti yang dimuat di dalam UU No
20 Tahun 2001 menjadi diancam dengan maksimal hukuman mati.
Tak perlu
lagi disertai syarat ”jika korupsi dilakukan dalam keadaan krisis atau
bencana”. Tentukan saja bahwa ancaman maksimal bagi pelaku korupsi adalah
hukuman mati dan hukuman lain yang penerapannya diserahkan pada proses
pengadilan sesuai dengan skala korupsi dan level koruptornya. Ke arah dua hal
itulah, perubahan perlu dilakukan jika kita benar-benar ingin menguatkan KPK.
[]
KORAN
SINDO, 27 Februari 2016
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar