Rabu, 02 Maret 2016

Mahfud MD: Ini Lho, kalau Mau Menguatkan KPK



Ini Lho, kalau Mau Menguatkan KPK
Oleh: Moh Mahfud MD

Ada materi undang-undang (UU) yang bisa diperbaiki jika ingin menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, sebelum itu, mari kita sambut dulu dengan penuh hormat keputusan pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang- Undang (RUU) Perubahan UU KPK.

Gerakan rakyat untuk menolak revisi UU-KPK itu hebat. Gerakan-gerakan itu pula yang berkali-kali berhasil menyelamatkan KPK sebagai anak kandung Reformasi. KPK memang dibangun sebagai lembaga perkasa dengan berbagai kewenangan khusus dan sifat superbody untuk memerangi korupsi.

Kehadiran KPK di dalam mozaik penegakan hukum kita semula disambut gembira dan gegap gempita. Koruptor harus diperangi oleh lembaga super karena sulit efektif kalau hanya dihadapi lembaga-lembaga biasa.

Di dalam konsiderans ”Menimbang” UU No 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga-lembaga biasa yang ada tidak optimal dan tidak efektif dalam memberantas korupsi.

Tetapi, begitu KPK mulai berhasil menangkap dan memenjarakan pejabat-pejabat korup, mulailah terjadi serangan-serangan terhadapnya. Banyak yang menempuh jalur hukum untuk membonsai KPK melalui gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sampai awal 2013 saja tidak kurang dari 12 kali UU KPK dimintakan judicial review. Tetapi, sampai saat itu pula MK selalu memenangkan penguatan KPK.

Serangan terhadap KPK tidak hanya melalui jalur hukum, tetapi juga melalui serangan fisik dan psikis terhadap KPK. Ada beberapa peristiwa yang mengancam kelangsungan KPK, tetapi selalu saja rakyat turun tangan menyelamatkannya. Hati nurani dan akal sehat publik mendorong munculnya gerakan spontan dari masyarakat untuk membela KPK sehingga KPK selalu selamat dari hantaman-hantaman yang destruktif terhadapnya.

Terakhir, pembelaan publik terhadap KPK berhasil menggagalkan pengesahan RUU tentang Perubahan UU KPK yang sudah disahkan Badan Legislasi DPR untuk dibahas dalam proses legislasi. RUU tersebut diprotes publik karena muatannya bertendensi dan sangat berpotensi untuk melemahkan KPK. Meski para pengusul dan pembela RUU mengklaim bahwa RUU tersebut dimaksudkan untuk menguatkan KPK, mereka tidak pernah bisa menjelaskan, bagian atau kalimat mana dari empat butir materi perubahan tersebut yang dimaksudkan untuk menguatkan KPK.

Sebaliknya, kalangan yang menolak RUU tentang perubahan tersebut bisa menunjukkan bahwa empat hal yang dirancangkan untuk perubahan justru malah melemahkan KPK. Saya sendiri sudah menulis panjang lebar melalui media ini pekan lalu bahwa untuk ide penataan penyadapan saja misalnya justru sangat jelas bisa melemahkan KPK.

Kita bersyukur, ternyata Presiden peka terhadap gerakan nurani masyarakat ketika menyatakan sikapnya dan mengajak DPR untuk bersikap sama dengannya yakni menunda pembahasan RUU revisi UU KPK itu. Meski istilah yang dipakai adalah menunda (bukan membatalkan), kita mensyukuri dan memberi apresiasi kepada Presiden yang telah menyatakan sikapnya itu dengan gagah berani sehingga DPR pun tak bisa menolaknya. Presiden telah mengambil langkah yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di alam yang demokratis sehingga layak diapresiasi.

Terbukti lagi untuk kesekian kalinya, gerakan suara nurani rakyat berhasil mengalahkan gerakan yang dinilai akan memundurkan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Gumpalan aspirasi rakyat telah menyelamatkan kembali KPK dari gempuran yang akan melumpuhkannya. KPK harus berterima kasih kepada rakyat yang selama ini telah membelanya habis-habisan. Rasa terima kasih itu harus diwujudkan dalam tindakan nyata untuk memerangi korupsi dengan serius.

Masyarakat Indonesia mengetahui dengan jelas kasus-kasus korupsi yang masuk dan ditangani KPK. Masyarakat juga tahu kasus-kasus mana yang terasa diambangkan atau seakan dihindari untuk disentuh. Jadi, KPK harus benar-benar profesional karena masyarakat sudah cerdas.

Yang tersisa dari ribut-ribut soal rencana revisi UU KPK ini adalah pengumuman resmi dari Presiden dan DPR bahwa RUU revisi tersebut hanya ditunda, bukan dicabut dari Prolegnas 2016. Rasanya ini masih menyandera UU KPK karena sewaktu-waktu bisa dimunculkan lagi. Maka itu, sebaiknya pemerintah dan DPR segera membuat kesepakatan bahwa revisi UU KPK dikeluarkan dari prolegnas, bukan hanya ditunda pembahasannya. Prolegnas itu sederhana, ia hanyalah kesepakatan antara pemerintah dan DPR tentang UU yang akan dibuat atau direvisi pada periode yang bersangkutan.

Ia pun hanya dituangkan dalam keputusan DPR dan bukan dituangkan dalam bentuk UU sehingga lebih mudah untuk mencabutnya. Meski begitu, upaya memperkuat KPK tak perlu terburu-buru dan materi penguatannya harus diubah. Ada dua hal yang dapat direkomendasikan jika memang ingin menguatkan KPK.

Pertama, arahkan perubahan UU No 30 Tahun 2002 agar untuk level dan skala tertentu hukum acara pembuktian korupsi menggunakan pembuktian terbalik. Asal mau, tidaklah sulit untuk membuat hukum acara yang seperti ini. Kedua, arahkan perubahan pada ancaman hukuman bagi tindak pidana korupsi seperti yang dimuat di dalam UU No 20 Tahun 2001 menjadi diancam dengan maksimal hukuman mati.

Tak perlu lagi disertai syarat ”jika korupsi dilakukan dalam keadaan krisis atau bencana”. Tentukan saja bahwa ancaman maksimal bagi pelaku korupsi adalah hukuman mati dan hukuman lain yang penerapannya diserahkan pada proses pengadilan sesuai dengan skala korupsi dan level koruptornya. Ke arah dua hal itulah, perubahan perlu dilakukan jika kita benar-benar ingin menguatkan KPK. []

KORAN SINDO, 27 Februari 2016
Moh Mahfud MD ;   Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar