Kuliah
Umum di Jabatan Pengajian Melayu (IV)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Energi
intelektual Indonesia, termasuk yang berasal dari kaum santri, menjelang dan
beberapa tahun pascaproklamasi dicurahkan kepada upaya bagaimana mengisi
kemerdekaan Tanah Air, di dalamnya pemikiran tentang apa sebaiknya dasar
filsafat bagi sebuah negara merdeka itu telah diperdebatkan.
Karena,
Indonesia telah menetapkan demokrasi sebagai sistem politik nasional. Pada 1955
diselenggarakan pemilu pertama yang berlangsung aman, damai, langsung, dan
relatif jujur.
Kejadian
ini menyiratkan optimisme publik akan hari depan Indonesia yang adil, makmur,
dan demokratis. Pemilu 1955 diadakan dua tahap; satu untuk memilih anggota
parlemen, dan dua untuk memilih anggota Majelis Konstituante. Pemilu ini
menghasilkan empat partai besar: PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia) didirikan pada November 1945 dengan bidang
utamanya, Muhammadiyah dan NU, tetapi pada 1952, NU memisahkan diri dengan
mengubah dirinya menjadi partai. Namun, hasil pemilu ini ternyata tidak
mendekatkan Indonesia kepada tujuan kemerdekaannya. Sengketa politik di
kalangan elite adalah penyebab utama mengapa semua itu terjadi.
Pemilu
kedua baru diadakan pada 1971, menunggu 16 tahun sesudah 1955. Apa artinya ini?
Sekalipun Indonesia secara konstitusional menganut prinsip kedaulatan rakyat,
dalam realitas yang berlaku adalah prinsip kedaulatan tuanku; rakyat tidak lagi
berdaulat. Demikianlah pemilu-pemilu berikutnya sampai pada 1999 hanyalah
pemilu dalam nama, tidak dalam pengertian substansial karena siapa pemenangnya
telah diketahui sebelum pertarungan.
Rezim
militer mana pula di muka bumi yang suka dengan demokrasi? Jika pun demokrasi
dicantumkan dalam konstitusi, semua hanyalah sebagai tipuan agar rakyat merasa
dihitung.
Pergumulan
tentang masalah dasar negara ini baru tuntas pada 1980-an setelah Pancasila
secara paksa diwajibkan menjadi dasar, tidak saja bagi parpol, tetapi juga buat
semua organisasi kemasyarakatan, termasuk Muhammadiyah dan NU, sekalipun
setelah jatuhnya rezim militer Soeharto warga diberi kebebasan lagi untuk
menetapkan dasar partai dan organisasinya masing-masing.
Sebagian
besar mereka memilih Pancasila sebagai dasar itu, Muhammadiyah pada 2000
kembali mencantumkan Islam sebagai dasar organisasinya. Perbincangan tentang
masalah dasar organisasi ini cukup alot diperdebatkan dalam Muktamar
Muhammadiyah di Surakarta pada 1985 yang pada ujungnya menempatkan Pancasila
sebagai dasar mengggantikan Islam yang sudah tercantum sejak 1959. Sebagai
catatan penting, selama 47 tahun (1912-1959), dalam AD (Anggaran Dasar)
Muhammadiyah, masalah dasar ini tidak ditemukan.
Namun, ada
fenomena revolusioner di kalangan intelektual muda Muslim pada 1980-an itu yang
tidak lagi sibuk memikirkan masalah dasar negara karena bagi mereka Pancasila
sudah cukup. Fenomena ini berlangsung sampai sekarang (2016).
Dengan
demikian, tantangan yang harus dijawab adalah bagaimana menerjemahkan
nilai-nilai Pancasila itu ke dalam format yang konkret, khususnya yang
menyangkut tegaknya keadilan sosial di Indonesia, sesuatu yang telantar sejak
proklamasi kemerdekaan. Sejak berkuasanya rezim militer pada 1966 sampai hari
ini, yang berlaku sebenarnya adalah sistem ekonomi neoliberal yang memicu
timbulnya kesenjangan sosioekonomi yang semakin parah antara si kaya dan rakyat
jelata.
Kaum
intelektual Muslim yang sudah bahagia dengan Pancasila tampaknya tidak berdaya
menghadapi gelombang masif neoliberalisme itu. Jika gempuran neoliberalisme ini
tidak dibendung, akibat buruknya sudah berada di depan mata: Indonesia tidak
mungkin menjadi sebuah negara yang adil dan berdaulat penuh!
Manakala
keadilan tidak kunjung datang, kemerdekaan bangsa hanyalah untuk mereka yang
diuntungkan oleh sistem ekonomi neoliberal yang sama sekali telah mengkhianati
nilai-nilai luhur Pancasila yang telah diterima oleh mayoritas mutlak rakyat
Indonesia. Di sinilah terletaknya ironi Indonesia merdeka itu.
Apakah
sistem ekonomi antinilai Pancasila ini akan terus berlanjut? “Resonansi” ini
tidak bisa menjawabnya. Namun, jika kemerdekaan bangsa yang dulu diperjuangkan
dengan susah payah melalui penjara ke penjara dan pembuangan yang ditimpakan
atas banyak tokoh nasionalis, semestinya kaum intelektual Indonesia sekarang
mau bahu membahu dengan sikap berani sebagai wakil bangsa merdeka untuk
menghalau serbaneoliberalisme ini agar tersingkir dari bumi Pancasila. []
REPUBLIKA,
15 Maret 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar