Selamat Datang Bunga Rendah Rasa Berdebar
Oleh:
Dahlan Iskan
Sebenarnya ini keberhasilan besar. Besar
sekali: pemerintah berhasil memaksa bank menurunkan bunga pinjaman. Betul.
Pemerintah betul.
Sudah terlalu lama dunia perbankan menikmati
bunga tinggi. Sampai laba perbankan di Indonesia luar biasa tingginya. Termasuk
tertinggi di dunia. Bank-bank asing pun ikut berbahagia.
Mestinya peristiwa ”bunga rendah” ini disambut
gegap gempita. Terutama oleh dunia usaha. Ini luar biasa. Ini bersejarah.
Inilah saatnya penganut aliran ”bunga rendahlah
yang mendorong ekonomi” berkibar. Mengalahkan penganut aliran ekonomi pasar.
Presiden, Wapres, dan Menko Perekonomian kali ini kompak. Kebetulan Menko
Perekonomiannya, Darmin Nasution, memang dari aliran ”bunga rendah” ini.
Bacalah bukunya. Yang terbit saat Darmin
mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur Bank Indonesia. Tiga tahun lalu.
Buku yang sangat bagus. Terlihat jelas di situ. Dia berideologi bunga rendah.
Saya sendiri ikut bergembira. Tapi, saya masih
harap-harap cemas. Sedap-sedap ngeri. Di satu pihak, saya sangat senang.
Di pihak lain, saya tahu: keberhasilan bunga
murah memerlukan banyak syarat. Salah satunya: inflasi harus juga rendah.
Bisakah pemerintah membuat inflasi rendah? Dan
stabil? Dan dalam waktu yang panjang?
Menurut hukum ekonomi yang lazim, pemerintahlah
yang lebih dulu membuktikan bisa membuat inflasi rendah. Ini berarti pemerintah
terbukti bisa menjaga harga-harga tidak naik.
Setelah itu terbukti, dunia perbankan harus
menurunkan bunga. Kalau bandel, barulah dipaksa.
Kali ini rupanya hukum itu akan dibalik: suku
bunga dulu yang harus rendah. Nantilah. Inflasi akan ikut rendah.
Tentu ini bukan tontonan. Tapi, cerita yang
dibalikkan itu menarik untuk disaksikan. Dengan berdebar. Menanti akhir dari
cerita itu.
Skenario 1: Bunga turun, ekonomi bergairah,
produksi naik, infrastruktur beres, logistik efisien, dan seterusnya.
Inflasi pun akan rendah. Bunga rendah pun bisa
terus dipertahankan. Bahkan dibuat lebih rendah lagi.
Itu skenario happy ending. Meski awalnya
berdebar, akhirnya membuat penonton tersenyum. Bahagia.
Skenario 2: Bunga rendah, ekonomi bergairah.
Tapi, produksi tidak naik. Infrastruktur tidak oke. Jalan macet, listrik
mati-mati, pelabuhan ruwet, birokrasi lambat. Akibatnya, harga-harga naik.
Inflasi tinggi.
Kalau skenario 2 ini yang terjadi, itulah
skenario tragic ending. Dalam waktu dua tahun dunia perbankan sesak napas.
Termehek-mehek. Tidak kuat lagi.
Ekonomi runtuh secara mendasar.
Perbankan, yang semula dipaksa ibarat dokter yang harus menyembuhkan
pasien, justru dia sendiri yang sakit.
Dunia perbankan sudah berhasil takluk.
Ditaklukkan. Masa depan perbankan sepenuhnya menunggu kinerja ekonomi
pemerintah.
Kalau pemerintah berhasil menjaga inflasi
maksimum 3,5 persen, dunia perbankan selamat. Kalau sebaliknya, dunia perbankan
wasalam.
Mampukah pemerintah menciptakan inflasi
maksimum 3,5 persen? Bisakah pemerintah meningkatkan produksi di segala bidang?
Lalu mengendalikan harga-harga? Dalam waktu yang panjang?
Seharusnya bisa. Terutama karena ini: harga
minyak mentah dunia turun begitu rendahnya. Tapi, kenaikan harga-harga beras,
daging, cabai, dan sejenisnya membuktikan hal yang sebaliknya.
Sungguh berat tugas pemerintah saat ini.
Meningkatkan produksi bukanlah masalah sepele.
Peningkatan produksi tidak sama dengan ”citra
meningkatnya produksi”. Yang satu berada di dunia nyata. Yang satunya di dunia
fatamorgana.
Pidato, ancaman, gertakan, dan hukuman tidak
berpengaruh langsung ke peningkatan produksi. Baik produksi pertanian,
lebih-lebih lagi produksi industri.
Kalau produksi bisa meningkat, pasar dalam negeri
penuh dengan barang produksi sendiri. Lalu bisa ekspor. Dampaknya pada
penguatan ekonomi luar biasa.
Saya menyambut gembira datangnya rezim suku
bunga murah. Meskipun melalui pemaksaan. Saya bangga dengan skenario 1. Tapi,
saya juga menyiapkan napas cadangan untuk jaga-jaga terhadap skenario 2. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar