Kamis, 03 Maret 2016

Buya Syafii: Kuliah Umum di Jabatan Pengajian Melayu (II)



Kuliah Umum di Jabatan Pengajian Melayu (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sekali Islam bertapak dan menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di rantau ini, gesekan yang berlaku kemudian dengan agama Kristen melalui dukungan kuasa penjajah rupanya tidak mampu mengubah perimbangan kuantitatif itu hampir di seluruh nusantara. Memang, ada kantong-kantong Kristen di daerah-daerah tertentu di Indonesia, tetapi jumlah pemeluknya sekitar 10 persen.

Sekali pun menang dalam angka kuantitatif, Islam nusantara (Indonesia) dari sisi kualitas masih jauh tertinggal di belakang; pendidikan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Sebagian besar umat Islam Indonesia barulah mengenyam pendidikan sekolah dasar, itu pun belum tentu tamat.

Kemajuan ekonomi pasti berkaitan rapat dengan masalah pendidikan. Selama tingkat pendidikan umat Islam masih tetap seperti sekarang ini, akan sukar dibayangkan kondisi ekonomi mereka bakal membaik.

Di ranah paham agama, hampir seluruh umat Islam Indonesia menganut mazhab Suni dan sejak meledaknya Revolusi Iran pada bagian akhir abad yang lalu, pemeluk Syi'i mulai menampakkan kegiatannya di beberapa daerah. Tetapi, kekhawatiran pemerintah bahwa akan terjadi perebutan pengaruh antara Arab Saudi yang mengaku mewakili Suni dengan Iran sebagai pusat Syi'i tidak punya dasar sama sekali.

Indonesia terlalu besar untuk bisa “dipermainkan” oleh dua negara itu. Oleh sebab itu, sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam, jangan dilebih-lebihkan karena akan membingungkan dan membodohi rakyat.

Kita kembali ke nusantara. Dalam proses pertarungan dengan agama Hindu, khususnya beberapa abad yang silam, sarjana kiri Belanda WF Wertheim memberikan kesaksian berikut ini, "Dalam skala yang besar Islam telah memberikan sumbangan untuk memanusiakan banyak sekali kebiasaan Asia. Gagasan persamaan manusia (memang) tidak menjurus kepada penghapusan budak, tetapi sebagaimana halnya agama Kristen juga, mengarah kepada perlakuan yang lebih baik terhadap budak dan anak angkat... yang mengandung sebuah pengakuan tentang prinsip persamaan utama antara orang merdeka dan budak." (Lihat WF Wertheim, Indonesia Society in Transition: A Study of Social Change. The Hague: W van Hoeve Publishers, 1969, hlm 196).

Jadi, selama berabad-abad, rakyat nusantara, terutama yang berada di bawah penguasa Hindu harus puas dalam posisi sebagai wong cilik (rakyat kecil). Sistem kasta telah membagi manusia berkelas-kelas, dibatasi dinding yang tebal dan dinding itu pantang dilangkahi atau para dewa akan murka.

Doktrin tentang persamaan manusia yang dikenalkan Islam ini jelas menjadi daya pikat tersendiri bagi penduduk nusantara atau dalam bahasa Jawa mereka merasa diwongke (diorangkan). “Dalam pengertian ini,” tulis Wertheim, “Islam dapat dipandang sebagai pemicu gejolak sosial bagi proses revolusioner yang terjadi pada abad ke-20.” (Ibid, hlm 198).

Maka, lahirnya SI (Sarekat Islam) pada 1912 dan Muhammadiyah pada tahun yang sama adalah pertanda dari proses revolusioner itu di ranah politik dan di ranah sosial, agama, dan kebudayaan.

Dengan modal Islam yang menyatu dengan semangat priayi lokal, jauh sebelum memasuki abad ke-20, yaitu sejak kedatangan Kompeni India Timur (VOC) ke nusantara pada permukaan abad ke-17, “Belanda telah menghadapi perlawanan umat Islam Indonesia,” tulis HJ Benda. (lihat Continuity and Change in Southeast Asia. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1972, hlm 83).

Sekali pun perlawanan itu pada akhirnya kandas, serangan sporadis pihak Muslim sungguh menyulitkan pihak Belanda dalam upaya melakukan konsolidasi sistem kolonialnya. “Sering sekali,” tulis Benda selanjutnya, “konsolidasi ekspansi kekuatan mereka diancam oleh pemberontankan-pemberontakan lokal yang diilhami Islam, baik yang dipimpin oleh penguasa-penguasa Indonesia yang telah mengikuti iman Nabi atau di tingkat desa oleh ulama fanatik....” (Ibid).

Di antara perang perlawanan terhadap Belanda itu, tercatatlah Perang Paderi (1821-1837) di Sumatra Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Yogyakarta/Jawa Tengah, dan yang terpanjang berdarah-darah adalah Perang Aceh (1873-1912). Dengan demikian, kedatangan penjajah ke nusantara sama sekali ditolak, apa pun alasannya. Tetapi, pada ujungnya, mengapa harus kalah?

Setidak-tidaknya, ada dua alasan mengapa kekalahan itu harus berlaku: (1) Pada abad-abad itu Indonesia sebagai bangsa belum lagi terbentuk, modal yang tersedia adalah kerajaan-kerajaan atau kelompok-kelompok perlawawan sporadis yang tidak ada hubungan satu sama lain. Pihak penjajah memahami kerapuhan internal ini. Maka, untuk memperparah situasi dijalankanlah politik devide et impera (pecah-belah dan kuasai). Indonesia sebagai bangsa adalah gejala pada 1920-an dengan leburnya semangat kedaerahan untuk menjadi satu bangsa.

(2) Kualitas persenjataan Belanda yang modern tidak bisa dilawan oleh kekuatan pribumi yang belum bersatu itu. Dan, pada skala global, sejak merosotnya kekuasaan Turki Usmani pada akhir abad ke-17, pihak Eropa menjadi semakin leluasa dan ganas untuk melumpuhkan dunia Islam, termasuk kawasan nusantara. []

REPUBLIKA, 01 Maret 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar