KH Subchi Parakan:
Kiai Bambu Runcing, Guru Jenderal Soedirman
Revolusi kemerdekaan
Indonesia ditopang oleh perjuangan kaum santri dan barisan Kiai yang
menyelamatkan negeri. Sayangnya, kisah perjuangan para kiai dan santri,
tenggelam dalam narasi sejarah Indonesia. Salah satunya, Kiai Subchi Parakan,
yang dikenal dengan "Kiai Bambu Runcing". Bagaimana kisah hidup dan
perjuangan Kiai Subchi?
Kiai Subchi lahir di
Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sekitar tahun 1850. Subchi, atau sering
disebut dengan Subeki, merupakan putra sulung Kiai Harun Rasyid, penghulu
masjid di kawasan ini. Subchi kecil bernama Muhammad Benjing, nama yang
disandang ketika lahir. Setelah menikah, nama ini diganti menjadi Somowardojo,
kemudian nama ini diganti ketika naik haji, menjadi Subchi.
Kakek Kiai Subchi,
Kiai Abdul Wahab merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Suroloyo
Mlangi, Yogyakarta. Kiai Abdul Wahab inilah yang menjadi pengikut Pangeran
Dipanegara, dalam periode Perang Jawa (1825-1830). Ketika laskar Dipanegara
kalah, banyak pengikutnya yang menyembunyikan diri di kawasan pedesaan untuk
mengajar santri. Jaringan laskar kiai kemudian bergerak dalam dakwah dan
kaderisasi santri.
Kiai Wahab kemudian
mengundurkan diri untuk menghindar dari kejaran Belanda. Ia menyusuri Kali
Progo menuju kawasan Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung,
hingga singgah di kawasan Parakan. Kawasan Parakan merupakan titik penting arus
transportasi kawasan Kedu, yakni sebagai persimpangan Banyumas, Kedu,
Pekalongan dan Semarang. Keluarga Kiai Abdul Wahab kemudian menetap di Parakan,
sebagai tempat bermukim untuk menggembleng santri dan menyiapkan perlawanan terhadap
penjajah.
Pasukan Belanda
henti-hentinya mengejar pengikut Dipanegara di berbagai pelosok Jawa, terutama
Yogyakarata, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika Ibunda Kiai Subchi mengandung,
Belanda masih sering mengejar keturunan Kiai Wahab, serta santri-santri yang
diduga menjadi pengikut Dipanegara. Pada tahun 1885, Subchi kecil berada di
gendongan ibundanya untuk mengungsi dari kejaran pasukan Belanda.
Subchi kecil dididik
oleh orangtuanya, dengan tradisi pesantren yang kuat. Ia kemudian nyantri di
pesantren Sumolangu, asuhan Syekh Abdurrahman Sumolangu (ayahanda Kiai Mahfudh
Sumolangu, Kebumen). Dari ngaji di pesantren inilah, Kiai Subchi menjadi
pribadi yang matang dalam ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan.
Parakan: Simpul
Perjuangan Laskar Santri
Parakan merupakan
sebuah kota kecil di Kabupaten Temanggung. Kota ini, memiliki arti penting
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada awal abad 20,
Temanggung menjadi basis pergerakan Sarekat Islam (SI). Kaum santri yang
tinggal di Parakan, menjadi tulang punggung kaderisasi SI. Bahkan, di Parakan
juga pernah diselenggarakan Kongres Sarekat Islam, yang dihadiri oleh HOS
Tjokroaminoto. Pada 1913, anggota Sarekat Islam di Parakan, berjumlah 3.769
orang. Cabang SI Temanggung dibuka pada 1915, dengan jumlah anggota 4.507
(Thamrin, 2008).
Di Parakan,
Temanggung, masa sebelum kemerdekaan sangat memprihatinkan bagi rakyat. Hal
ini, karena kondisi ekonomi sangat sulit dan politik pemerintah Hindia Belanda
yang memeras rakyat dengan tanam paksa, maupun sistem kerja paksa. Ketika
Jepang menduduki Jawa, warga Temanggung juga menanggung beban yang sulit.
Kewajiban Romusha menjadi beban yang sangat berat bagi rakyat Parakan di
Temanggung. Pemberlakukan romusha menjadikan warga terlantar, hidup sengsara,
lahan pertanian terbengkalai, hingga sebagian warga menderita busung lapar
karena sulitnya memperoleh makanan. Bahkan, kain karung goni sebagai penutup
tubuh, menjadi pemandangan biasa pada masa itu (Darban, 1988). Warga Parakan,
Temanggung juga banyak yang direkrut sebagai romusha. Mereka dikirim ke Banten,
serta ke wilayah Malaysia dan Myanmar.
Pada masa
kemerdekaan, Parakan Temanggung menjadi simpul pergerakan untuk melawan
penjajah. Ketika Pemerintah Hindia Belanda berusaha menggunakan strategi pemisahan
wilayah, berupa garis demarkasi Van Mook, warga Temanggung juga bergerak untuk
melawan diskriminasi politik yang dilancarkan Hindia Belanda. Pada saat itu,
dibentuklah Barisan Muslimin Temanggung (BMT). Barisan ini dipelopori oleh
kiai-santri, yang bertujuan untuk memobilisasi kekuatan rakyat melawan
penjajah. BMT didirikan pada 30 Oktober 1945 di masjid Kauman Parakan.
Sebelum adanya BMT,
warga Parakan Temanggung bergerak dalam jaringan Barisan Keamanan Rakyat (BKR).
Warga Parakan yang tergabung dalam BKR sempat melakukan serangan terhadap
sembilan bekas Tentara Jepang yang akan menuju Ngadirejo. Ketika melewati
Parakan, pasukan Jepang diserbu oleh warga yang terkonsolidasi dalam BKR.
Peristiwa penyerangan ini, dikenal sebagai Peristiwa Batuloyo (Gunardo, 1986).
Setelah adanya
Barisan Muslimin Temanggung, operasi warga untuk melawan penjajah semakin
gencar. Santri-santri yang tergabung dalam barisan ini, menjadi bertambah
semangat dengan dukungan kiai, terutama Kiai Subchi Parakan. Beberapa kali, BMT
berhasil menyerbu patroli militer Belanda yang lewat kawasan Parakan.
Perjuangan heroik BMT dan dukungan Kiai Subchi, mengundang simpatik dari
jaringan pejuang santri dan militer. Beberapa tokoh berkunjung ke Parakan,
untuk bertemu Kiai Subchi dan pemuda BMT: Jendral Soedirman (1916-1950), Kiai
Wahid Hasyim (1914-1953), Kiai Zaenal Arifin (Hizbullah), Kiai Masykur
(Sabilillah), Kasman Singadimedja (Jaksa Agung), Mohammad Roem, Mr.
Wangsanegara, Mr. Sujudi, Roeslan Abdul Gani dan beberapa tokoh lainnya.
Ketika pasukan
Belanda menyerbu kembali Jawa pada Desember 1945, barisan santri dan kiai
bergerak bersama warga untuk melawan. Pertempuran di Ambarawa pada Desember
1945 menjadi bukti nyata. Bahkan, Jendral Sudirman berkunjung ke kediaman Kiai
Subchi untuk meminta doa berkah dan bantuan dari Kiai Subchi. Jendral Sudirman
sering berperang dalam keadaan suci, untuk mengamalkan doa dari Kiai Subchi.
Dari narasi ini, dapat diketahui bahwa Jenderal Sudirman merupakan santri Kiai
Subchi.
Kiai Bambu Runcing,
Kiai Penggerak
Kiai Subchi dikenal
sebagai seorang yang murah hati, suka membantu warga sekitar yang kekurangan.
Jiwa bisnisnya tumbuh seiring dengan kesuburan tanah di lereng Sindoro –
Sumbing. Pertanian menjadi andalan, dengan pelbagai macam tanaman yang menjadi
ladang pencaharian warga. Saat ini, Parakan dikenal sebagai kawasan andalan
dengan hasil tembakau terbaik di Jawa. Kiai Subchi, pada waktu itu, sering
membagikan hasil pertanian, maupun menyumbangkan lahan kepada warga yang tidak
memilikinya. Inilah kebaikan hati Kiai Subchi, hingga disegani warga dan
memiliki kharisma kuat.
Ketika barisan Kiai
mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, Kiai Subchi turut serta dengan mendirikan
NU Temanggung. Beliau menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, didampingi Kiai Ali
(Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil
dan sekretaris. Nama terakhir merupakan ayahanda Kiai Muhaiminan Gunardo, yang
menjadi tokoh pesantren dan NU di kawasan Temanggung-Magelang. Kiai Subchi juga
sangat mendukung anak-anak muda untuk berkiprah dalam organisasi. Pada 1941,
Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) mengadakan pengkaderan di Temanggung, yang
langsung dipantau oleh Kiai Subchi.
Kiai Subchi dikenal
sebagai kiai 'alim dan pejuang yang menggelorakan semangat pemuda untuk
bertempur melawan penjajah. Kiai ini, dikenal sebagai "Kiai Bambu
Runcing", karena pada masa revolusi meminta pemuda-pemuda untuk
mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing, kemudian diberi asma' dan doa
khusus. Dengan bekal bambu runcing, pemuda-pemuda berani tampil di garda depan
bertarung dengan musuh. Bambu runcing inilah yang kemudian menjadi simbol
perjuangan warga Indonesia untuk mengusir penjajah.
Dalam catatan Kiai
Saifuddin Zuhri (1919-1986), Kiai Subchi menjadi rujukan askar-askar yang
berjuang di garda depan revolusi kemerdekaan. "Berbondong-bondong
barisan-barisan laskar dan TKR menuju Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki
dua gunung pengantin Sindoro dan Sumbing. Di antaranya yang terkenal adalah
Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan
Kiai Masykur", Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung
Tomo, "Barisan Banteng" di bawah pimpinan dr. Muwardi, Laskar Rakyat
di bawah pimpinan Ir. Sakiman, Laskar Perindo di bawah pimpinan Krissubbanu dan
masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini, baik TKR maupun badan-badan
kelaskaran berbondong-bondong menuju Parakan".
Kiai Subchi dikenal
sebagai sosok sederhana, zuhud dan sangat tawadhu'. Ketika banyak pemuda
pejuang yang sowan untuk minta doa dan asma', Kiai Subchi justru menangis
tersedu. "KH Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, dan KH Masjkur pernah
mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, Kiai Subchi menangis karena banyak yang
meminta doanya. Ia merasa tidak layak dengan maqam tersebut. Mendapati
pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH. Zainul Arifin, akan
keikhlasan sang kiai. Tapi, Kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing
itu, dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya sudah benar", catat
Kiai Saifuddin Zuhri dalam memoarnya "Berangkat dari Pesantren".
Kiai Subchi merupakan
teladan dalam kedermawanan, pengetahuan dan perjuangan. Sosok Kiai Subchi
menjadi panutan bangsa ini untuk mengawal negeri, mengawal NKRI. Selayaknya,
negara mengakuinya sebagai Pahlawan Bangsa. []
Referensi:
1.
Ahmad Adaby Darban, Sejarah Bambu
Runcing, Laporan Penelitian: Fakultas Sastra UGM, 1988.
2.
_________________________, Fragmenta
Sejarah Islam di Indonesia, Surabaya: JP Books, 2008.
3.
Ahmad Baso, Islam Nusantara,
Jakarta: Pustaka Afid, 2015.
4.
Amran Habibi, Sejarah Pencak Silat
Indonesia: Studi Historis Perkembangan Persaudaraan Setia Hati Terate di Madiun
Periode 1922-2000. Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009
5.
Husni Thamrin,dkk, Geger Doorstoot:
Perjuangan Rakyat Temanggung1945-1950, Temanggung: Dewan Harian Cabang,
2008.
6.
Muhaiminan Gunardo, Bambu Runcing
Parakan, Yogyakarta: Kota Kembang,1986.
7.
Nur Laela, Perjuangan Rakyat
Parakan-Temanggung dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia
(1945-1946), Skripsi UIN Yogyakarta, 2014.
[]
Munawir Aziz, periset
Islam Nusantara, pengurus LTN PBNU (Twitter: @MunawirAziz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar