Pertama Kali ke Luar Negeri
Oleh: Komaruddin Hidayat
Sebagai orang kampung dari keluarga miskin, pengalaman pertama
kali ke luar negeri dengan pesawat terbang sungguh merupakan pengalaman tak
terlupakan. Bahkan sejak proses mengurus paspor hatiku sudah berbunga-bunga.
Waktu itu saya mewakili Pengurus Besar HMI menghadiri seminar
kebudayaan Islam di Kuala Lumpur, Malaysia. Persisnya pada bulan April 1980.
Saya datang bertiga bersama Sahar L Hasan, sekarang aktivis Partai Bulan
Bintang (PBB), dan Harry Azhar Azis yang sekarang menduduki jabatan sebagai
ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Karena Malaysia dan Indonesia sama-sama menggunakan bahasa Melayu,
yang paling mengesankan adalah naik pesawat terbang ke luar negeri sekalipun
jarak penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur hanya dua jam. Saya bertemu dengan dua
sosok intelektual dan aktivis Malaysia yang sangat populer dan disegani.
Pertama Prof Naquib al-Attas, kedua Anwar Ibrahim. Saya membeli dua buah buku
Naquib yang berulang kali saya baca ulang karena isinya yang cukup mencerahkan,
yaitu Islam and Secularism serta Islam dan Peradaban Melayu.
Prof Naquib melakukan kritik epistemologis sangat mendasar
terhadap filsafat Barat yang telah memengaruhi dunia Islam. Dia menawarkan
agenda Islamisasi ilmu pengetahuan untuk menangkal proses sekularisasi
pemikiran yang meracuni generasi muda Islam. Adapun di buku kedua, Naquib
menjelaskan sumbangan bahasa dan peradaban Melayu terhadap penyebaran Islam di
Indonesia.
Dikatakannya, terjadi hubungan simbiosis antara penyebaran Islam,
bahasa Melayu, dan dinamika perdagangan yang pada urutannya baik Islam maupun
bahasa Melayu dengan cepat menyebar ke wilayah Nusantara dengan pusatnya di
kota-kota pantai. Budaya pantai yang egaliter juga sejalan dengan karakter
Islam dan bahasa Melayu, berbeda dari budaya pedalaman serta karakter bahasa
Jawa atau Sunda yang mempertahankan strata sosial.
Dengan ditetapkannya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia,
komunikasi sosial berlangsung egaliter dan bahasa Indonesia juga menjadi
pengikat kohesi berbangsa dengan masyarakatnya yang sangat majemuk. Salah satu
efek pengalaman pertama ke luar negeri yang saya rasakan kala itu adalah
munculnya keinginan dan lamunan, kapan bisa ke luar negeri berikutnya?
Bagi keluarga yang berkecukupan, liburan ke luar negeri tentu
bukan acara yang menghebohkan. Tapi bagi saya yang masih berstatus mahasiswa,
bisa ke Malaysia atas sponsor donatur HMI merupakan kebanggaan tersendiri yang
ternyata menjadi pemula untuk jalan-jalan ke
luar negeri pada tahun-tahun berikutnya.
Sampai hari ini saya ingat-ingat sedikitnya 40 negara pernah saya
kunjungi, baik sebagai wartawan, undangan seminar maupun untuk rekreasi. Sayang
sekali saya tidak membuat catatan tertulis dan lengkap saat menjelajahi
berbagai kota dunia dan bertemu dengan orang-orang yang menginspirasi hidup
saya. Misalnya sebagai tamu Muammar Qadafi, diterima dalam kemah di halaman
istananya. Ketika pulang diberi uang lalu saya belikan dasi dan parfum karena
uang Libya sulit dibelanjakan di luar negaranya.
Dulu hubungan antara Indonesia dan Malaysia saya rasakan hangat
dan akrab. Sama-sama rumpun Melayu yang memiliki banyak kesamaan. Indonesia
dianggap saudara tua yang disegani. Banyak guru dan dosen Indonesia diundang ke
sana untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Tapi dengan
berjalannya waktu, Malaysia yang saat ini berpenduduk sekitar 30 juta banyak
membuat terobosan dalam bidang pendidikan yang pada urutannya mendongkrak
perbaikan ekonomi negaranya.
Sebagai bagian dari negara persemakmuran Inggris, bahasa Inggris
masih dipertahankan, bahkan dijadikan bahasa pengantar dalam pembelajaran di
kampus, sehingga sangat membantu mempermudah kerja sama keilmuan dengan
negara-negara Barat, terutama Inggris dan Australia. Ini berbeda dari
Indonesia yang pernah dijajah Belanda, yang kemerdekaannya diraih melalui
pertempuran, sehingga bahasa Belanda pelan-pelan hilang. Di samping pula bahasa
Belanda memang tidak menonjol sebagai bahasa ilmiah dan bahasa diplomasi dalam
panggung global. []
KORAN SINDO, 18 Maret 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar