Kita dan Wajah Suram Arab
Oleh: Komaruddin Hidayat
Sehabis menyaksikan gerhana matahari total di Palu, 9 Maret lalu,
saya makan siang satu meja di rumah dinas gubernur Sulawesi Tengah bersama
Jusuf Kalla dan Imam Daruquthny, intelektual Muhammadiyah; serta Farid Masdar
Mas'udi, kiai intelektual Nahdlatul Ulama.
Jusuf Kalla (JK) mengatakan, para ilmuwan jauh-jauh hari sudah
bisa menghitung, tanggal, jam, dan tempat kapan dan di mana gerhana matahari
total bisa disaksikan. Ratusan ilmuwan asing berdatangan ke Palu untuk
menyaksikan fenomena alam langka ini. Ternyata perhitungannya tepat. Jarak
putar bulan dan matahari bisa dihitung secara ilmiah.
Lalu, dia bertanya kepada dua intelektual Muhammadiyah dan NU itu,
apakah susahnya umat Islam Indonesia menentukan datangnya Ramadhan dan Idul
Fitri? Tolonglah Muhammadiyah dan NU bermusyawarah mencari titik temu. Tentu
masing-masing harus saling mengalah untuk memperoleh kesepakatan. Bukankah
masalah khilafiah hukum selalu memungkinkan ditafsir ulang karena masuk wilayah
ijtihadi? Anehnya, meskipun Muhammadiyah dan NU berbeda dalam menentukan awal
Ramadhan dan Idul Fitri, mereka sepakat kembali merayakan tahun baru Hijriah.
Ini tidak konsisten.
Dunia Arab
Menurut JK, kita mesti bersyukur, perbedaan dalam menentukan awal
Ramadhan di Indonesia tentu saja tidak separah perbedaan yang terjadi di dunia
Arab yang mengarah pada peperangan sesama Muslim. Jangankan bagi orang awam,
para pengamat ahli Timur Tengah pun merasa kesulitan meramalkan kapan dunia
Arab akan meraih kedamaian. Infrastruktur dan kebudayaan Arab yang dibangun
ratusan tahun hancur hanya dalam hitungan dekade dan akan memakan waktu lama
untuk memulihkan kembali. Itu pun kalau bisa.
Begitu banyak variabel yang membuat suasana politik Timur Tengah
kian semrawut dan menyedihkan. Sedikitnya, menurut JK, terdapat tujuh akar
persoalan pokok yang saling berkaitan yang tak mudah diselesaikan bersamaan.
Pertama, sentimen sukuisme yang mengakar kuat di dunia Arab sejak
ratusan tahun lalu yang sewaktu-waktu berpotensi menimbulkan konflik dan
peperangan. Kedua, kemunculan konflik baru gerakan rakyat pseudo-demokrasi
versus penguasa tiran. Gerakan rakyat ini berhasil menumbangkan Presiden
Tunisia Zainuddin bin Ali, disusul jatuhnya Presiden Mesir Hosni Mubarak, lalu
pemimpin Libya Moammar Khadafy, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, dan
sebelumnya dengan sebab yang berbeda didahului kejatuhan penguasa Irak Saddam
Hussein. Semua itu merupakan tsunami politik di Arab yang membuat wajah Timur
Tengah dan Islam semakin suram, menakutkan, dan sekaligus mengenaskan.
Ketiga, konflik kelompok Sunni dan Syiah juga telah memicu krisis
politik yang berkepanjangan di Timur Tengah, yang diwakili terutama oleh Arab
Saudi dan Iran, yang hal ini juga menambah runcing fraksi di Palestina, antara
Fatah dan Hamas. Keempat, ditemukannya sumber minyak tidak saja menjadi sumber
kemakmuran, tetapi juga sumber konflik, baik sesama negara di Timur Tengah
maupun kekuatan luar yang ikut berebut ladang minyak.
Kelima, konflik historis antara keluarga Hasyimiyah di Jordan yang
dikalahkan keluarga Saudi setelah bubarnya Kerajaan Usmani, yang sekarang
menjadi penguasa dua kota suci Mekkah dan Madinah. Keenam, kehadiran dan peran
Israel yang didukung Barat, terutama Amerika Serikat, telah menjadi bisul yang
selalu membuat suhu politik dunia Arab panas serta mengakibatkan derita
berkepanjangan rakyat Palestina. Ketujuh, tidak adanya pemimpin kuat yang
disegani di dunia Arab yang mampu menjembatani dan mendamaikan konflik sesama
mereka serta memiliki lobi dan pengaruh kuat dalam panggung internasional.
Setelah keruntuhan Kesultanan Usmani akibat kalah dalam Perang
Dunia I, dunia Islam Arab mengalami krisis kepemimpinan politik dan peradaban.
Wilayah Arab dikapling-kapling oleh Inggris dan Perancis dengan batas wilayah
yang tidak solid karena kebanyakan merupakan padang pasir. Namun, setelah tahun
1930-an ditemukan ladang-ladang minyak, perbatasan antarnegara berubah menjadi
sangat penting. Meskipun mayoritas masyarakat Arab berbicara dengan bahasa yang
sama, memeluk agama yang sama, ternyata kesamaan bahasa, agama, dan daratan
tidak bisa menjadi pemersatu. Kabah di Mekkah yang menjadi kiblat sembahyang
dan pusat umrah serta haji seluruh umat Islam belum mampu menjadi pemersatu
masyarakat Arab. Fanatisme etnis dan kepentingan dinasti tetap saja memunculkan
persaingan sengit.
Krisis Suriah yang berlangsung lima tahun terakhir kian menambah
suram wajah Arab. Lebih dari 5 juta jiwa warga Suriah eksodus ke luar negeri,
mayoritas ke Turki. Sekitar 300.000 jiwa tewas akibat konflik bersenjata.
Ironisnya lagi, ratusan ribu imigran ini sebagian justru ditampung di
negara-negara Eropa non-Muslim, korban dari peperangan sesama Muslim. Di tempat
yang baru ini, tak mudah bagi mereka untuk beradaptasi dengan budaya dan hukum
setempat sehingga menimbulkan masalah sosial.
Selama ini, keberadaan negara Israel saja sudah cukup membuat
gaduh dunia Arab, kini ditambah lagi dengan kelahiran NIIS yang seakan menjadi
saudara kandung Israel dalam membuat babak belur dunia Timur Tengah. NIIS tidak
pernah menyerang Israel yang jelas-jelas melakukan agresi terhadap Palestina.
Mengakhiri bincang-bincang seputar kegaduhan yang terjadi di Timur Tengah, JK
mengutip tulisan George Friedman dalam bukunya, The Next 100 Years, ketika
terjadi kekacauan di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, pemenangnya tetap
saja Amerika Serikat.
Muslim non-Arab
Baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam, ketika ketiga agama itu
berkembang di luar ranah kelahirannya, telah mendorong lahirnya budaya dan
peradaban baru, produk akulturasi dan sinkretisme antara nilai keagamaan dan
budaya lokal. Sejarah mencatat, puncak peradaban Islam di abad tengah justru
tumbuh berkembang di Iran, Irak, Spanyol, dan Turki. Di empat wilayah ini,
Islam bertemu terutama dengan filsafat Yunani yang sangat menekankan pemikiran
rasional, termasuk masalah ketuhanan dan kenegaraan.
Merasa tertantang oleh pendekatan filosofis-rasional dan radikal
warisan Aristotelianisme, lahirlah pemikir-pemikir Muslim bintang zaman,
misalnya Farabi, Alkindi, Ibnu Sina, Imam Ghozali, Ibnu Rusyd, dan beberapa
nama lain. Mereka bersikap kritis apresiatif terhadap peradaban non-Arab yang
pada urutannya melahirkan peradaban sintetik dengan basis keislaman. Zaman itu
sering dipandang sebagai masa keemasan peradaban Islam. Jadi, yang dinamakan
peradaban Islam sarat dengan muatan unsur peradaban non-Arab dan non-Islam,
dengan cirinya yang humanis, rasional, dan universal.
Kehadiran Islam ke Indonesia yang kemudian dipeluk mayoritas
rakyat sungguh merupakan keajaiban sejarah. Banyak teori yang memberikan
penjelasan rasional mengapa wilayah Nusantara menjadi kantong umat Islam
terbesar di dunia. Salah satunya adalah melalui jalur perdagangan. Rempah-rempah
menjadi daya tarik pedagang Muslim dari Timur Tengah datang ke Nusantara sambil
menyebarkan agama. Jika teori ini betul, faktor anugerah alam memiliki peran
signifikan dalam penyebaran Islam di Indonesia. Sesungguhnya tak hanya Islam,
agama lain dan ideologi dunia pun berkembang subur di bumi Nusantara ini.
Dengan kata lain, sejak dulu bumi Nusantara ini telah menarik orang luar datang
ke sini terutama dengan motif ekonomi yang diikuti penyebaran agama, entah
Hindu-Buddha, Islam, atau Kristen. Bahkan, sekarang Konghucu pun ditetapkan
sebagai agama. Yang juga fenomenal, ideologi komunisme yang anti agama pun
pernah berkembang luas di Indonesia yang kini digantikan oleh ideologi
kapitalisme global.
Jadi, di bumi Nusantara ini sejak ratusan tahun memang telah
terjadi kontestasi antar-agama dan ideologi asing. Dalam hal agama, Islam
tampil sebagai pemenangnya. Namun, dalam panggung ekonomi, posisi Islam
tergeser. Meskipun demikian, jangan sampai kontestasi antar-komunitas agama dan
ideologi lalu mengarah pada konflik dan saling menghancurkan seperti yang
terjadi di dunia Arab. Sekali perang dan saling bunuh dimulai, tak pernah akan
dilupakan oleh masing-masing pihak serta sulit untuk dihentikan. Berarti kita
menciptakan neraka untuk diri kita sendiri. Sebaliknya, mari menjadikan
kehidupan beragama di Indonesia yang menempuh jalan moderat dan damai menjadi
inspirasi dan kontribusi pada dunia. []
KOMPAS, 28 Maret 2016
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar